Jangan Berani Manipulasi Suara Rakyat!

Sedangkan AyoJagaTPS itu bergerak secara independen sesuai laporan masyarakat. Kalau Anda buka situsnya itu, bakal ada pilihan untuk upload C1 di sana.

Sabtu, 20 April 2019 | 13:40 WIB
0
583
Jangan Berani Manipulasi Suara Rakyat!
Ilustrasi pencoblosan (Foto: Timlo.net)

Pelan tapi pasti! Itulah yang terjadi sehari setelah pencoblosan pada Pemilu 2019. Akhirnya, running text sejumlah televisi swasta yang sebelumnya menayangkan hasil Quick Count (QC) Pilpres 2019, sebagian sudah tidak ada lagi di TV. Alhamdulillah.

Angka dan prosentase perolehan suara paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin dan paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno yang dihasilkan 6 lembaga survei lokal yang terkesan pro capres petahana Jokowi ini. Angka pun bisa diubah.

Tayangan 6 lembaga survei lokal yang memenangkan paslon 01 dianggap telah meresahkan masyarakat. Karena, hasil survei ke-6 lembaga tersebut tidak sesuai dengan Real Count (RC) yang sebenarnya, dan ini cenderung bernada provokatif berlebih.

Apalagi, ternyata hasilnya banyak terdapat manipulasi data C1 yang dijadikan patokan dalam penghitungan suara di KPU. Lebih celaka lagi, manipulasi tersebut ternyata juga ditemukan di Situng KPU yang diakuinya sebagai “salah input” data C1.

Pihak KPU selalu bilang, oh ini kesalahan input. Ok, saya pura-pura mencoba memahami, kemudian kembali saya tanya lagi, Pak kenapa salah inputnya selalu ke hitungan 01 naik terus, hitungan 02 berkurang terus, mereka pucat. Dipikir rakyat Indonesia tolol apa?

Demikian Twitter @KwikKianGie_ yang beredar dalam grup-grup WA hari-hari ini. Ekonom ini tentu bicara keras seperti itu bukan tanpa sebab. Pasalnya, berdasarkan data C1 yang ada di meja kerjanya, paslon 02 justru jauh lebih unggul dari paslon 01.

Maka tidak heran kalau ke-6 lembaga survei yang dianggap merugikan paslon 02 Prabowo – Sandi itu dilaporkan Koalisi Aktivis Masyarakat Anti Hoak & Korupsi (KAMAKH) kepada Bareskrim Mabes Polri dengan isi laporan Dugaan Kebohongan Publik.

Menurut KAMAKH, tayangan oleh beberapa Lembaga Survei di televisi terhadap Capres-Cawapres sangat merugikan paslon 02, karena hasil lembaga surveinya bertolak belakang dengan Data BPN paslon Prabowo – Sandi yang menjadi kliennya itu.

Menurut Kwik Kian Gie, lembaga survei dan televisi penyiaran yang terkesan membohongi rakyat wajib dipenjarakan dan dijerat kasus hukum setara Terorisme karena tidak tanggung-tanggung masyarakat satu Indonesia yang mereka tipu.

Apalagi, ternyata belakangan ini banyak laporan yang menyebut, telah terjadi manipulasi data C1 yang ada di situs KPU sendiri. Proses penghitungan data melalui form C1 yang dilakukan KPU pun kini sudah menjadi sorotan secara luas oleh masyarakat.

Sebab, seperti diketahui, terdapat data yang tidak akurat antara form C1 yang diunggah dengan input penghitungan suara yang dilakukan di website KPU. Kasus ini terjadi di TPS 093, Kelurahan Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta  Timur.

Dalam scan C1 yang diunggah, suara Jokowi – Ma'ruf 47, sementara Prabowo – Sandi 162 suara. Tapi, dalam data yang diinput KPU, suara Jokowi – Ma'ruf naik menjadi 180, untuk Prabowo – Sandi menyusut menjadi 56 suara. Itulah faktanya.

Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik mengakui, ada kesalahan proses input data. Data yang diinput dan diunggah dari form C1 salah alamat. “Ada kesalahan kirim alamat kelurahan. Sama-sama nomor TPS 93, tapi beda kelurahan,” jelasnya.

Saat rakyat membongkar kecurangan yang terjadi, sejak awal sudah diduga. Pasti soal teknis yang dijadikan kambing hitam. Namun, rakyat sudah tahu dan wes cerdas. Karena itu, rakyat tak percaya semua alasan untuk tidak bertanggung jawab.

Simaklah komentar Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto terkait kesalahan input data C1 suara kedua paslon itu dalam aplikasi Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) di beberapa TPS, sebagai “kesalahan teknis”, seperti dilansir RMOL.co.

“Ya kesalahan aritmatik teknis. Itu kan semua bisa diperbaiki,” ujar Hasnya saat ditemui di Kantor DPP PDI Perjuangan, Sabtu (19/4/2019). Sebelumnya, viral screen capture perbedaan hasil perhitungan C1 yang diunggah akun Seyo Tuhu @SetyoTu39451344.

Unggahan itu lantas di-retweet akun Twitter milik Partai Gerindra @Gerindra. Dalam Form C-1 Plano tercantum paslon urut 01 Jokowi – Ma’ruf memperoleh 26 suara, dan paslon 02 Prabowo – Sandi mendapat 141 suara.

Terkait hal itu, Hasto menekankan tentang pentingnya pengawasan dari semua pihak. Baik itu masyarakat, hingga peserta pemilu itu sendiri. “Semua melakukan pengawasan saksi-saksi,” pungkasnya, seperti dilansir RMOL.co, Jum’at (19/4/2019).

KPU pun langsung merespon dengan memperbaiki kesalahan input itu. Mengapa disparitas hasil perhitungan Pilpres 2019 sampai bisa terjadi? Inilah yang sampai sekang menjadi tanda tanya masyarakat, sehingga mereka bisa “terbius” dengan QC.

Catatan Onik Hidayat berikut ini mungkin bisa memberikan gambaran perdebatan luar biasa soal Situng ini nantinya akan bermuara ke mana. Sehingga tahu, pada titik apa nantinya akan ada konsolidasi.

Mulai dari jumlah TPS dan mekanisme pemungutan suara. Surat suara itu mulai di-vote di level TPS, sekaligus dihitung. Pasca perhitungan di level TPS, susu bakal secara berjenjang direkap ke level Kecamatan, lalu Kabupaten/Kota, akhirnya provinsi.

Jumlah total TPS itu sekitar 809 Ribu. Keep this in mind, angka ini bakal dipakai terus. Artinya, akan ada 809 ribu dokumen perhitungan suara di level TPS. Dokumen ini dikenal dengan sebutan C1.

Di level Kecamatan, data perhitungan dari TPS akan terkompres menjadi 7.200, dari yang sebelumnya ada 809 ribu dokumen. Di level Kabupaten/Kota akan terkompres lagi menjadi 514, sedangkan terakhir di level Provinsi terkompres menjadi 34.

Perhatikan betapa massifnya dokumen-dokumen ini. Dari 809 ribu form C1, nantinya akan direkap dan dimampatkan menjadi hanya 34 dokumen pada level Provinsi. Dari sinilah suara Nasional versi resmi akan dihitung.

Untuk hari kedua dan seterusnya, saran tinggalkan Quick Count (QC). Why? I tell you. Basis sampling data QC adalah sekitar 2.000-4.000 TPS. Sebaiknya dijelasin dulu tentang QC ini. QC itu sejatinya ambil data memakai basis dokumen C1 di TPS juga.

Hanya saja mereka rata-rata cuma sanggup meng-cover 2.000-4.000 TPS saja. Kalau lebih, biayanya besar. Pasang orang buat monitoring di TPS segitu banyak itu gak murah. Ada uang lelahnya. Jadi mereka biasa main di maksimum 4.000 TPS. Rata-rata main di 2.000 TPS.

Kenapa bilang tinggalin QC? Karena saat ini, at least per H+1 pilpres, sudah ada 3 Situs Besar yang melakukan Real Count atas form C1 dengan data masuk sudah lebih dari 5.000 TPS. Artinya apa? Sudah jauh di atas jangkauan QC yang cuma 4.000 TPS maksimum.

Ketiga situs besar itu adalah: KPU, Roemah Djoeang, dan AyoJagaTPS. Situs KPU, adalah situs resmi milik pemerintah. Situs Roemah Djoeang adalah data center milik BPN Prabowo Sandi. Sedangkan AyoJagaTPS adalah data center independen yang berbasis pada laporan masyarakat atas form C1 di TPS.

Dari pantauan per tanggal 18 April 19 pukul 23.00 WIB hasil dari Real Count C1 ketiga lembaga tsb adalah sebagai berikut: KPU = jumlah data masuk 8.400 TPS, unggul Paslon 01; Roemah Djoeang = jumlah data masuk 9.300 TPS, unggul Paslon 02; AyoJagaTPS = jumlah data masuk 23900 TPS, unggul Paslon 02.

“Jadi secara jumlah TPS yang berhasil direkap, secara berurutan AyoJagaTPS adalah yang tercepat, diikuti Roemah Djoeang lalu terakhir KPU,” tulis Onik Hidayat. Untuk sementara ini, baik KPU, Roemah Djoeang dan AyoJagaTPS bisa dibilang masih “sama-sama benar”.

“Kok bisa? KPU vs Roemah Djoeang itu beda loh hasilnya. Jawabannya: bisa! Kenapa bisa? Karena sampling keduanya masih di tataran jumlah ribuan, belum sampai ratusan ribu. Masih baru sekitar 1% dari total semua C1 yang ada di 809 ribu TPS,” tegasnya.

Sekarang bayangkan kalau 809 ribu dokumen C1 ini ibarat kue tart yang sangat besar sekali. Panjangnya satu meja ruang tamu. Analoginya KPU mulai makan dari sisi kiri, dan Roemah Djoeang makan dari sisi kanan. Sisi kiri banyak kejunya. Sisi kanan banyak cokelatnya.

Nah dengan model begitu, wajar kalau hasil di KPU dan Roemah Djoeang berbeda. “Saya menyebutnya belum “konvergen”. Terus kapan kita bisa memakai keduanya, apakah sudah valid apa blm? Segera,” lanjutnya.

Bayangkan kue tart tadi lama-lama dimakan dari sisi kiri dan kanan, maka bakal ketemu di tengah. Di situlah bakal konvergen. Kelak kalau data masuk sudah di tataran 40%, 50%, dan 60% maka harusnya data dari KPU dan Roemah Djoeang akan mulai “konvergen”.

Dan, saat konvergen disparitasnya tidak lagi seperti sekarang yang amat sangat lebar. Harap diingat, baik KPU maupun Roemah Djoeang sama-sama pegang data C1. Ketika nanti sudah di tataran 60% data masuk masih juga belum konvergen, maka akan dispute.

Ketika ini dispute, bakal dibawa ke MK. Baik Roemah Djoeang maupun KPU akan saling bongkar dan hitung bareng form C1. “Jadi kira-kira begitu. Dan sekali lagi, Quick Count is so yesterday. Gak lagi bisa jadi acuan. Pantau Real Count C1,” tulisnya.

Mungkin ada yang tanya, RoemahDjoeang dan AyoJagaTPS bisa mendapat C1 darimana? Apakah akurat? Kalau KPU kan resmi. Jawabannya: akurat! Roemah Djoeang adalah Data Center khusus yang memang dibikin BPN Prabowo – Sandi.

BPN sengaja menerjunkan tim untuk meng-cover TPS. Anda harus ingat bahwa di koalisinya paslon 02 itu ada PKS. Lepas Anda pro/kontra sama PKS, Anda tidak bisa abaikan betapa PKS itu sudah diakui oleh parpol-parpol lain dalam urusan dokumentasi C1. Sudah dari dulu.

Setiap kali pemilu, parpol lain malah banyak yang minta data ke PKS. Jadi, Roemah Djoeang bisa meng-cover TPS karena punya gabungan resource sebagai berikut: PKS, Tim Internal BPN, Relawan BPN, Relawan Independen.

Sedangkan AyoJagaTPS itu bergerak secara independen sesuai laporan masyarakat. Kalau Anda buka situsnya itu, bakal ada pilihan untuk upload C1 di sana. Semua orang partisipasi.

Loh, gak valid dong AyoJagaTPS? Bisa saja double-double pas rekap C1-nya. Jawabannya : Valid! Mereka juga punya tim screening yang bakal ngecekin tiap upload-an C1. Makanya, jangan pernah mencoba bermain curang! Rakyat tidak akan tinggal diam!

Tapi, jangan ikuti saran Kepala Sekretariat Presiden Moeldoko: Silakan People Power! Karena ada pihak yang konon ingin agar terjadi chaos, sehingga akan muncul "Super Petruk" mirip Supersemar.

Menurut Direktur Eksekutif The Global Institute Hendrajit, KPU makin terjepit. "Ada data BPN, ada data IPB, ada data ITB, ada data TNI, ada data Partai Demokrat.

"Semua menyatakan Prabowo menang. Di sisi lain, ada perintah harus memenangkan 01, bagaimanapun caranya. Kira-kira apa yang dilakukan KPU, ya?"

***