"The Next Hitler"

Hitler sudah membuktikan itu di masa lalu, dan jangan ada yang melanjutkan gayanya berkuasa di bumi persada tercinta.

Selasa, 9 April 2019 | 20:49 WIB
0
400
"The Next Hitler"
Hitler, jika diperhatikan video demi videonya terkadang terlihat mirip orang kesurupan, saking begitu menyatunya dirinya dengan apa yang ia bicarakan.- Foto: Time


 Meskipun tidak semua orang menyukai bacaan sejarah, namun hari ini nyaris dapat dipastikan tidak ada yang tidak mengenal nama Adolf Hitler. Mengawali perjalanan dengan membangun citra sebagai sosok berkarisma, punya kemampuan pidato berapi-api, hingga benar-benar membakar semangat rakyat Jerman.

Di akhir sejarahnya, kemampuan pidato seorang Hitler tidak saja mengobarkan api semangat, tetapi juga membakar kemarahan kepada kalangan berbeda etnis, hingga benar-benar meluluhlantakkan Jerman sendiri di satu ketika. Tak kurang dari 40 juta tewas di tangannya dan para serdadu yang jadi pengikutnya.

Ia juga berangkat dari pengalaman dari medan perang. Keterlibatannya di Perang Dunia Kedua membuahkan medali untuknya, sekaligus menjadi kebanggaan besar baginya. 

Semangat yang ditularkan oleh di pidato-pidatonya adalah semangat memusuhi. Realitas dunia luar tidak begitu saja dilihat sebagai potensi, melainkan hampir selalu dilihat sebagai ancaman. 

Di luar ras yang sama dengannya--Ras Arya--diposisikan sebagai masalah, ancaman, dan mesti dimusnahkan. Dari sanalah maka di kemudian hari, selain 40 juta etnis Yahudi dibantai, selain puluhan juta dari berbagai etnis lainnya.

Dalam perjalanan itu juga, cara lain yang melekat dalam sejarah Hitler adalah caranya dalam mengendalikan Jerman. Ia sangat tidak ramah terhadap pers. Lewat Joseph Goebbels yang jadi kaki tangannya, pemerintahan Nazi menunjukkan sikap permusuhan terhadap pers, dan mengekang ketat dunia pers.

Nasib media di masa Hitler, bukan rahasia, sangat terkekang, dan media mutlak harus mengikuti titah dari Hitler. Berita hanya bisa keluar berdasarkan izin ketat dari Goebbels.

Di luar itu, apa yang paling menonjol dari sosok Hitler adalah dari kemampuannya dalam membakar emosi masyarakatnya. Ia bisa menjadikan dirinya sebagai orator berkarisma di depan rakyat Jerman. 

Sampai sekarang masih banyak bertebaran video-video yang merekam bagaimana Hitler berpidato; menggelegar, membakar, dan mampu membetot perhatian banyak orang. 

Tidak banyak yang tahu, bahwa di belakang itu, Hitler memiliki orang kepercayaan yang membantunya untuk bisa membangun citra dirinya sebagai orator hebat. 

Adalah Heinrich Hoffman, seorang juru foto yang merekam segala aksinya di podium. Lewat foto-foto inilah Hitler terbantu untuk dapat menciptakan gaya berpidato yang membakar dan bisa menyihir banyak orang. 

Lewat foto-foto itu Hitler bisa melihat kembali mana saja foto-foto yang memperlihatkan aksi di mana karismanya muncul dengan sangat baik. Hoffman, sang juru foto tadi, juga menemani Hitler untuk berlatih dan menonjolkan gerakan dan gaya berbicara yang cenderung tegas. 

Roger Moorhouse, sejarawan asal Inggris yang pernah menulis buku Killing Hitler (2006) dan Berlin at War (2010), pun mencatat secara khusus bagaimana Hitler belajar dari foto-fotonya untuk memunculkan citra diharapkannya di podium. 

Menurut Moorhouse, Hitler sudah memulai untuk membangun karisma diinginkannya itu bahkan sejak jauh sebelum mendapatkan tempat di kursi kekuasaan Jerman. Menurutnya, Hitler sering memberikan perintah kepada Hoffman agar memilihkan foto-foto terbaik untuk ia pelajari dan diterapkan lagi di pidato-pidato berikutnya. 

"Bahkan foto-foto yang terlihat konyol pun akan dipilah olehnya sendiri. Tujuannya, supaya ia tidak mengulang lagi (gaya pidato konyol itu)," kata Moorhouse.

Apa hubungannya dengan Prabowo?

Pada debat capres beberapa waktu lalu, Prabowo sempat memamerkan aksinya memarahi penonton. Tak pelak, ketidakmampuannya mengendalikan emosi itu jadi ledekan hingga olok-olok warganet. Belakangan, kejadian persis serupa pun dipamerkannya kembali.

Di media sosial, masih berseliweran video yang memperlihatkan aksi salah satu calon presiden ini menggebrak-gebrak podium. 

Terlihat, podium yang berada di depannya nyaris oleng karena saking keras hantaman pukulan tangan Prabowo saat sedang menyorot isu kesukaannya: campur tangan asing. Padahal untuk pemantau Pemilu pun Anda haus bantuan asing, Pak.

Ada emosi teramat besar terlihat saat ayunan tangan Prabowo menghantam podium yang terbilang hanya memiliki ukuran setengah badannya dengan tinggi juga sedikit di atas pinggangnya.

Berlebihan. Apa perlunya memamerkan kemarahan hingga harus menghantam-hantam podium hingga begitu rupa? 

Secara emosi, jika membandingkan gaya pidato Prabowo dengan Hitler, memang ada kemiripan. Sama-sama gemar menampilkan atraksi yang menunjukkan ambisi, semangat terlalu besar, hingga emosi yang cenderung meledak-ledak. 

Hitler, jika diperhatikan video demi videonya terkadang terlihat mirip orang kesurupan, saking begitu menyatunya dirinya dengan apa yang ia bicarakan. Namun, masih ada kelebihan Hitler meski acap memamerkan kegeramannya atas hal-hal dibencinya (dunia luar yang dianggap musuhnya), ia cenderung lebih mampu dalam menguasai diri.

Sementara Prabowo, meskipun acap memainkan narasi yang berhawa permusuhan terhadap asing, cenderung memiliki kemarahan yang meluap-luap, hingga ia sendiri kesulitan untuk mengendalikannya.

Jika melihat video teranyar, Amien Rais harus turun tangan, bangkit dari kursinya yang berada persis di belakang, dan berusaha menenangkan Prabowo. 

Menelaah lebih jauh, Hitler di masa lalu yang lebih mampu menguasai diri saat di panggung pidatonya, namun tercatat sebagai salah satu pelaku sejarah yang justru dimusuhi dunia. Ia masih tercatat sebagai salah satu pembantai, tukang jagal, dan sadis.

Sebab, emosi apa yang dipamerkan dalam pidato demi pidato, cenderung menjadi gambaran karakter bagaimana yang menguasai seorang tokoh yang bersentuhan dengan publik. 

Emosi yang dipamerkan Prabowo belakangan yang terbilang lebih parah dibandingkan yang pernah ditampilkannya, cenderung memunculkan berbagai spekulasi. Sebab, jika menyebut ia marah terhadap asing, toh ia sendiri tercatat dalam Paradise Papers yang pernah menghebohkan jagat internasional pada 2017 lalu.

Sebagai catatan, nama-nama yang masuk dalam daftar Paradise Papers tersebut adalah figur-figur yang secara diam-diam berinvestasi di luar negeri, di tempat-tempat di mana mereka tidak perlu dipusingkan dengan pajak. 

Dalam laporan BBC, dari Indonesia hanya ada tiga nama yang tercatat di Paradise Papers tersebut. Dari ketiga nama itu tercatatlah nama Prabowo, Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Mamiek Soeharto.

Bahkan International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) melakukan penyelidikan atas laporan tersebut. Hasilnya, ICIJ pun mengiyakan bahwa kedua anak Soeharto yang pernah jadi ipar Prabowo dan Prabowo sendiri memang ada di dalamnya.

Dari laporan ICIJ itu juga disebutkan bahwa Prabowo tercatat pernah jadi direktur sekaligus wakil pimpinan di sebuah perusahaan bernama Nusantara Energy Resources, dan berkantor di Bermuda. Perusahaan itu sendiri digarisbawahi sebagai penunggak utang dan pengemplang pajak.

Mengaitkan kasus itu dengan emosi yang ditampilkan Prabowo di depan podium, dapat saja diterjemahkan bahwa jika ia gagal berkuasa maka ada alamat apa yang diungkapkan ICIJ dan Paradise Papers akan menghancurkannya. Ada kepentingan besar di sana, dan baginya tidak ada kepentingan paling besar kecuali kepentingannya sendiri. 

Jadi, emosi ditampilkan itu lebih mengisyaratkan semacam ketakutan atas dosa yang dimilikinya sendiri. Lebih memperlihatkan kecemasan jika kali ini gagal berkuasa, maka ada kemungkinan dirinya akan hancur. Terlebih lagi, pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla, lewat Menteri Keuangan Sri Mulyani terlihat sangat gencar menunjukkan perlawanan atas para pengemplang pajak. Ini tentu saja bukan kabar baik bagi siapa saja yang punya masalah serius terkait dengan pajak.

Di luar persoalan pajak, dengan emosi yang ditampilkan oleh Prabowo dapat saja menjadi sebuah pesan, bahwa ia memiliki permusuhan teramat dalam terhadap pihak-pihak yang menghalanginya untuk menduduki kursi kekuasaan. 

Terlebih, bukan rahasia pula, jika dalam pertarungannya berburu kekuasaan, dapat dikatakan ia sudah mempertaruhkan segalanya. Sejak mengawali dengan calon wakil presiden di masa lalu, berlanjut ke Pilpres 2014, dan kini tampil lagi di tahun 2019, dapat dipastikan ia sudah menghabiskan uang teramat banyak. 

Sebagai seorang militer dan punya rekam jejak sebagai pengusaha, pastilah seorang Prabowo gusar jika uang yang sudah dihabiskan terlalu banyak hingga gaji karyawan saja menunggak, namun nihil hasil. Jadi, saya pikir, emosinya bukanlah emosi karena memikirkan negara. Ia hanya sedang risau dengan nasib harta kekayaannya sendiri. Tidak lebih.

Di sinilah rentan memunculkan ketakutan di benak publik, terutama jika menggarisbawahi bagaimana sulitnya seorang Prabowo mengendalikan diri, jangan-jangan ia sendiri kelak akan menjadi "The Next Hitler". Terlebih dalam narasi kebencian dan hasutan yang selama ini dimainkan, ada kemiripan dengan apa yang pernah ditampilkan Hitler.

Tidak percaya? Silakan saja gali melalui buku-buku yang menunjukkan bagaimana karakter penguasa dari berbagai belahan dunia. Penguasa yang sulit mengendalikan diri tidak cuma akan menghancurkan dirinya, tetapi bisa membawa petaka terhadap dunia.

Hitler sudah membuktikan itu di masa lalu, dan jangan ada yang melanjutkan gayanya berkuasa di bumi persada tercinta.

***