Membedakan Kalimat Tauhid dan Bendera Berkalimat Tauhid

Rabu, 2 Januari 2019 | 16:44 WIB
0
530
Membedakan Kalimat Tauhid dan Bendera Berkalimat Tauhid

Sejak Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI), seperti yang dilansir kompascom, maka dengan begitu, HTI resmi dibubarkan oleh pemerintah.

Pembubaran tersebut mengacu pada Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.

"Maka dengan mengacu pada ketentuan Perppu tersebut terhadap status badan hukum HTI dicabut," ujar Dirjen AHU Kemenkumham Freddy Harris dalam jumpa pers di gedung Kemenkumham, Jakarta, pada Rabu (19/7/2017) lalu.

Dalam keputusan tersebut, Menteri Hukum dan HAM Wiranto memaparkan tiga alasan pemerintah membubarkan HTI (sesuai lansiran kompascom):

Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.

Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.

Ketiga, aktifitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.

Singkatnya, HTI resmi dibubarkan. Tapi benarkah HTI kemudian angkat kaki dari Indonesia? Tentu tidak. Ideologi yang tertanam dalam banyak benak mahasiswa ini masih tetap disebarkan meski tidak lagi berbadan hukum. Apa pasal? Sederhana saja, yang pemerintah bubarkan adalah aktivitas organisasinya, bukan ideologinya.

Sebab itulah, tak heran jika ada hal-hal yang berkaitan dengan HTI cepat direspons oleh masyarakat maupun pemerintah, baik pro maupun kontra. Hal ini tercermin dari kasus Banser yang membakar sebuah bendera yang terindikasi kuat sering dipakai secara simbolis oleh HTI sebagai lambang perjuangan mereka, bahkan dipajang di depan kantor HTI sewaktu dulu.

Di lain pihak, Banser berdalih bahwa yang mereka bakar adalah bendera organisasi yang dilarang pemerintah dan sudah dibubarkan. Lalu alasan Banser ini pun dibantah mantan kuasa hukum HTI.

Melihat perdebatan seperti ini, saya ingin menyorotinya dari sisi yang berbeda, yakni dari kajian semiotika atau simbolik; dimana secara analisis semiologis lebih dikhususkan pada kajian teks, gambar, lambang, film, dll yang diberi sebuah pemaknaan sehingga melahirkan makna umum bahkan kesepakatan.

Nah, di sini, saya ingin kita membedakan mana kalimat tauhid dan mana lambang yang bertuliskan kalimat tauhid. Secara pemaknaan dalam kajian semiotika, jelas ini amatlah berbeda. Kalau kita mengacu pada teks kalimat tauhid saja, maka kalimat tauhid di sini bermakna prasyarat mutlak bagi keberislaman seseorang.

Artinya, tidak dikatakan seseorang itu muslim ketika dia tidak bersyahadat. Dan inti dari bersyahadat (mengucapkan kalimat tauhid) ini adalah meniadakan tuhan-tuhan manapun selain Allah.

Lain halnya dengan lambang atau bendera bertuliskan kalimat tauhid. Mengapa? Sebab lambang dan bendera yang bertuliskan kalimat tauhid maupun kalimat suci lainnya adalah hasil bentukan budaya yang diberi pemaknaan khusus seperti ekspresi identitas, ekspresi kebanggaan, ekspresi kekuatan, bahkan bisa sebagai ekspresi kekerasan.

Dalam hal ini, derajat kalimat tauhid merupakan hal yang kudus, terbersihkan dari noda apapun. Sedangkan bendera dengan seabrek kalimat suci maupun mantra adalah sesuatu yang profan alias telah tercemari kreasi pikiran, syahwat dan budaya manusia.

Pantaslah kita tak perlu heran, jika teriakan "Allahu Akbar" menjadi nihil nilai keislaman yang cinta damai, ketika digunakan oleh para teroris saat melakukan bom bunuh diri, termasuk beberapa bom yang meledak di negeri tercinta ini. Bukan hanya itu, kelompok radikalis seperti ISIS pun menggunakan kalimat tauhid dalam bendera dengan warna yang sama meskipun berbeda bentuk penulisannya (khot).

Oleh karena itu, tentu saja umat Islam dunia bersepakat bahwa ISIS dan konco-konconya bukan lagi Islam melainkan memanfaatkan penafsiran ajaran Islam secara serampangan demi mendapatkan legitimasi agama untuk berbuat sesuatu yang keji dan biadab.

Makanya, kalau melihat kasus pembakaran bendera HTI oleh Banser yang berujung digeruduk akis bela bendera tauhid 211 itu, malah menjadi lain pemaknaannya, terendus pula ada itikad lain di luar narasi bela tauhid, seperti yel-yel mendukung kandidat capres-cawapres nomor urut 2 dan fakta lainnya.

Tidak gampang memang membaca situasi ini, tapi dilain sisi, banyak agenda tersusupkan dalam aksi-aksi yang melibatkan banyak orang atau massa besar. Setidaknya, ada tiga tipologi orang yang ikut aksi "bela tauhid":

Pertama, mereka yang datang karena murni kecintaan akan Islam. Orang tipe ini, tidak membaca narasi di balik aksi, sing penting demo bela tauhid, tok. Mereka rela merogok kocek dalam-dalam demi mengembalikan marwah agamanya lewat aksi demonstrasi.

Kedua, mereka yang menjadi pelaksana lapangan berdasarkan instruksi. Mereka ini sebenarnya juga tidak paham narasi di balaik aksi, tapi rela berdemo demi selembar rupiah bahkan nahasnya hanya ikut rame tanpa memahami substansi demonstrasi.

Ketiga, merekalah para sutradara yang turun aksi dengan menitipkan narasi yang diperankan oleh dua kelompok di atas. Apabila berhasil, maka kelompok ini akan segera mengakuisi perjuangan tersebut menjadi milik mereka, bukan milik umat yang datang dengan wajah polos dan berbayar itu. Lantas, kamu masuk tipologi mana?

***