Dibayangi Politikus Gendruwo yang Sontoloyo

Selasa, 13 November 2018 | 08:12 WIB
0
555
Dibayangi Politikus Gendruwo yang Sontoloyo
Soekarno (Foto: Istimewa)

Kata politik Gendruwo dan politikus Sontoloyo nyaris tak padam dibicarakan di perpolitikan kita dalam dua pekan terakhir. Seolah-olah kata-kata ini adalah makian kotor yang tak pantas diucapkan seorang pemimpin bangsa. Benarkah demikian?

Bagi orang yang sudah terbiasa tinggal di Jawa Tengah, juga Yogyakarta, kata “gendruwo” adalah kata yang sangat lazim dan bisa nyaris kapanpun diucapkan dari mulut orang tua (ortu) manapun pada anak-anaknya dalam nasehat sehari-hari.

“Awas, jangan bermain jauh-jauh ke rumah kosong itu. Nanti ‘diparani’ (didatengi) gendruwo...,” pesan orang tua pada anaknya, yang sering bermain terlalu jauh dari rumah, memusingkan orang tuanya. Ortu merambu-rambu anaknya agar tidak pergi jauh dengan menakut-nakuti si anak. Gendruwo adalah sebutan makhluk abstrak yang paling sering, bahkan sangat sering dipakai ortu di Jawa untuk menakut-nakuti anaknya. Meskipun sebenarnya gendruwo itu akan sulit dijumpai. Apalagi mendatangi.

Wujudnya seperti apa? Ya ngga tahu. Pokoknya, digambarkan gendruwo itu menakut-nakuti, terutama anak-anak. Dunia perhantuan di Jawa memang majemuk sekali. Sangat banyak jenis “hantu jawa” dan bahkan mungkin paling banyak jenisnya di antara hantu-hantu sedunia.

Di Barat? Paling-paling terbatas pada kata “ghost”, yang selain bisa berarti hantu, juga sukma. Spirit juga bisa sukma, bisa juga untuk melukiskan hantu thuyul setan yang jahat (evil spirit). Bisa juga, “spook”, yang artinya juga kurang lebih hantu prayangan...

Di Jawa? Wah, ada puluhan jenis hantu, gendruwo dan sejenisnya. Ada thuyul, yang dilukiskan seperti anak kecil, dipercaya suka menunggu uang atau kekayaan, atau makhluk yang mencuri uang. Ada lagi “wewe” yang dilukiskan seperti perempuan menakutkan. Ada “sundel bolong” juga makhluk perempuan, yang punggung (geger) nya bolong. Wewe pun masih ada beberapa jenisnya, ada wewe gombel, wewe prayangan. Ada “banaspati” yang digambarkan seperti celorot api, nyala api yang bergerak di udara. Belum terhitung jin, dhemit, hemo thetek, peri (perempuan cantik, tetapi kakinya tidak menyentuh tanah), dan juga ‘penguasa kawasan’ yang disebut sebagai “sing mbaurekso” atau “danyang”...

Dan sebagainya. Sedangkan kata “sontoloyo”? Wo, itu satu kata “makian” yang paling halus. Lebih halus dari kata-kata Prabowo, menggambarkan ekonomi Indonesia sebagai “ekonomi kebodohan”. Atau elit penipu, dan pejabat pemerintah bermental maling. Itu justru lebih kasar dari sontoloyo...

Kata “sontoloyo” justru merupakan kata-kata makian yang dibilang akrab. Itu kata-kata makian dengan ‘penuh rasa sayang’ untuk teman dekat yang ngibuli dia misalnya. Ia katakan si teman itu “sontoloyu kamu ah...,” Kata sontoloyo bisa diucapkan kapan pun dimana pun, dengan penuh keakraban meskipun ada juga konotasi memakinya.

Tentang “sontoloyo” ini, Bung Karno bahkan pernah memakainya dalam artian yang keras dan serius. Soekarno bahkan menulis dalam sebuah judul bukunya, “Islam Sontoloyo” (1940). Dalam buku itu, Soekarno mengatakan bahwa “fikih bukanlah satu-satunya tiang keagamaan. Tiang utamanya, terletak pada ketundukan kita punya jiwa pada Allah,” kata Soekarno.

“Fikih itu, walaupun sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama. Belum dapat memenuhi syarat-syarat ketuhanan yang sejati, yang juga berhajat kepada tauhid, akhlak, kebakian ruhani, kepada Allah...,” tulis Soekarno dalam “Islam Sontoloyo” (1940).

Menurut Soekarno dalam buku “Sontoloyo” itu, Al Qur’an dan api Islam seakan-akan mati karena kitab fikih itu sajalah yang dijadikan pedoman hidup, bukan kalam Illahi sendiri.

“Dunia Islam sekarang ini setengah mati, tiada nyawa, tiada api, karena umat Islam sama sekali tenggelam dalam kitab Fikihnya saja, tidak terbang seperti burung garuda di atas udara-udaranya Levend Geloof, yakni udara-udaranya agama yang hidup...,” tulis Soekarno pula.

Hal itu tidak berarti Bung Karno membenci fikih. Kata Soekarno, fikih itu tetap penting. Bahkan ia menyebutkan, masyarakat Islam tak dapat berdiri tanpa hukum-hukum fikih. Sebagaimana tiada masyarakat tanpa aturan perundang-undangan.

“Saya hanya membenci orang atau perikehidupan agama yang terlalu mendasarkan diri kepada fikih, kepada hukum-hukumnya syariat itu saja,” tulis Soekarno dalam “Islam Sontoloyo” (1940) itu.

Lalu apa itu Politik Gendruwo yang dimaksud Joko Widodo, capres no urut 1 yang menghebohkan?

Dan seperti biasa, setiap kali Jokowi mengucapkan kalimat yang melukiskan politikus oposisi, maka pihak oposisi pasti akan mengembalikan ucapan Jokowi itu pada diri Jokowi. Sehingga oposisi kini memakai “politik gendruwo” untuk melukiskan sepak terjang Jokowi. Juga soal “politikus sontoloyo”, oposisi justru membalikkan ucapan “sontoloyo” itu pada diri Jokowi. Jadilah, sekarang oposisi menyerang Jokowi dengan “ekonomi gendruwo” dan perilaku sontoloyo.

Politik Gendruwo sebenarnya merupakan ungkapan yang pas, untuk sebuah fenomena “Politics of Fear” yang mencuat di Pilpres AS yang berakhir dengan kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton. Politics of Fear ini dimunculkan sebagai anti-tesa harapan-harapan yang dihembuskan semasa dua periode Presiden Barack Obama (Politics of Hope) di AS. Trump (Republikan) memang sengaja memakai taktik plintir, dusta, katakan yang salah jadi benar, yang benar jadi salah, untuk meruntuhkan “kebenaran” (truth) yang diagung-agungkan Obama (Demokrat). Media terpercaya The New York Times pun sempat dituding media hoax dan tidak terpercaya.

Nah, di era ‘Post Truth’ (fenomena antikorupsi Ahok, fenomena kejujuran Jokowi) di Indonesia inilah yang kini dihembuskan untuk meruntuhkan dominasi “presiden dari rakyat kecil” Joko Widodo, yang nyaris tidak diwarnai (atau malah sama sekali tidak diwarnai) dengan tindak korupsi. Tinggal diplintirlah janji-janji Jokowi yang tak terwujud, atau masih belum terwujud.

Maka, dilancarkanlah taktik politik Gendruwo seperti di Pilpres AS, menakut-nakuti: Indonesia akan bubar 2030, ekonomi Indonesia akan runtuh karena ekonomi kebodohan, awas PKI bangkit lagi (khas tudingan Orde Baru bangkit lagi). Tudingan Jokowi tidak Islam, seperti Pilpres 2014 sudah mulai surut, lantaran Jokowi menunjuk Wapres seorang santri beneran (bukan santri karbitan), Kiai Ma’ruf Amin. Sementara di sisi lain, oposisi justru Cawapresnya pengusaha kaya, dan Capres pun orang kaya.

Pertarungan Pilpres 2019 kali ini memang seru, lantaran kampanye berjalan panjang sebab calon presidennya hanya dua, Joko Widodo sebagai petahana dan Prabowo Subianto sebagai “rival bebuyutan” di Pilpres 2014 silam. Langsung head to head, dalam waktu yang panjang setengah tahun sampai hari coblosan.

Jokowi, belakangan terlihat mulai terpancing untuk menghadapi serangan oposisi. Jokowi tidak sedingin ketika ia maju di Pilpres 2014. Di Pilpres 2014, Jokowi yang “ndeso” justru memikat dengan kendesoannya. Sulit ditandingi Prabowo yang bumi langit latar belakang hidupnya, dari keluarga terpandang – ekononom top, dan bahkan jadi menantu penguasa nomor satu Indonesia selama 32 tahun berkuasa. Keluguan Jokowi empat tahun lalu benar-benar menjadi magnet yang sulit ditandingi. Kini Jokowi mulai berani mengatakan sontoloyo dan politik gendruwo.

Jokowi di Pilpres 2019 ini memang lebih rapuh, jika dibandingkan dengan 2014. Kehebatannya membangun infrastruktur, setidaknya 15 bandar udara baru bertaraf internasional dan jalan tol baru sepanjang lebih dari 905 km dan 48 bendungan baru, dinisbikan pihak oposisi. Pendukung oposisi memandang sebelah mata kehebatan Jokowi ini. “Memangnya kita mau makan infrastruktur?”, kata emak-emak pendukung oposisi.

Di era Post Truth Indonesia, (oleh oposisi) lebih baik prestasi bagus Jokowi jangan dilihat. Tenggelamkan saja, lihat keburukannya. Bahkan kelemahan kecil, seperti kata Sontoloyo dan Gendruwo pun dijadikan senjata nuklir untuk balik meruntuhkan reputasinya. Sampai mobil Esemka pun dipakai untuk menagih janji politik kampanye.

Padahal, kalau saja oposisi menang? Janji politik yang harus diwujudkan sungguh sangat berjibun. Salah satu yang sulit dan mungkin tidak akan bisa diwujudkan adalah, jika Prabowo terpilih ia “tak akan impor apapun” dan menjadi negeri yang mandiri secara ekonomi. Janji mudah diucapkan, tetapi sulit untuk diwujudkan. Jokowi pun merasakan, kini ditagih beberapa janjinya yang belum terwujud...

***

Jimmy S Harianto, wartawan senior tinggal di Jakarta