Ngobrol dengan Jenderal

Jenderal, sepaham kan kita bahwa intoleransi, radikalisme, ekstremisme, terorisme, paham-paham anti-Pancasila akan memorandakan dan menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa ini.

Kamis, 2 Juni 2022 | 08:08 WIB
0
219
Ngobrol dengan Jenderal
Ilustrasi Jenderal (Foto: aspek.id)

Kesatu

Kemarin, saya menerima pesan singkat lewat WA dari seorang sahabat, yang biasa saya sapa Jenderal. Ia sehari-hari berkutat dengan masalah-masalah intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Hidupnya dipertaruhkan untuk membela dan mempertahankan keutuhan dan persatuan NKRI, mempertahankan Pancasila dan UUD 1945, dengan segala risikonya.

Isi pesan itu pendek. Tetapi membuat saya kaget, terkejut, dan tidak bisa paham mengapa bisa begitu. Pantas, intoleransi juga radikalisme, ekstremisme, dan ujungnya terorisme hidup di negeri ini. Itu kesimpulan cepat saya, setelah membaca pesan itu. Semoga kesimpulan saya tidak salah.

Begini isi WA itu:
….terkait intoleransi dan radikalisne, hingga sekarang belum dianggap suatu ancaman yang membahayakan negara….

Buru-buru saya bertanya. Siapa yang menganggap bahwa intoleransi dan radikalisme belum merupakan ancaman yang membahayakan negara? Ah, apa nggak salah tuh anggapan seperti itu. Bukankan apa yang ada di tengah masyarakat sudah cukup bercerita dan menjelaskan hal itu?

Apa nunggu ancaman  membesar dan sulit diberantas? Kalau dibiarkan, memang akan sulit diberantas. Ibarat kata, kriwikan dadi gerojokan, membiarkan saja yang kecil menjadi besar.

Kedua

Jenderal, begitu saya lebih suka memanggilnya, bukankah sudah terang-benderang terjadi di tengah masyarakat dan dari berbagai survei yang  hasilnya menunjukkan bahwa sikap intoleran sudah menyusup ke mana-mana. Bahkan, lewat dunia pendidikan agama. Misalnya,  Buya Syafii tahun 2019 (maaf Jenderal, saya suka dan senang mengutip pernyataan Guru Bangsa kita ini) mengingatkan pendidikan agama jangan hanya memenuhi ranah kognitif atau pengetahuan saja.

Pelajaran agama harus lebih efektif menyentuh moral, etika, dan rasa, tetapi tidak perlu sampai mengubah kurikulum. “Pelajaran agama lebih efektif, moral, etika, dan rasa. Memang selama ini mungkin kering, otak diisi, tetapi hati dibiarkan telantar,” kata Buya Syafii Maarif, Senin (Kompas.com, 25/3/2019)

Jenderal, ini saya kutipkan hasil survei yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta (2021) soal toleransi. Kata PPIM,  sejumlah penelitian mengkonfirmasi bahwa sikap keterbukaan dan penghargaan terhadap perbedaan, termasuk terhadap kelompok minoritas dan marjinal, aktor-aktor pendidikan kita masih lemah (PPIM, 2017, 2018; Wahid Institute, 2019).

Di ranah pendidikan tinggi, sejumlah studi menunjukkan merebaknya paham ekstremisme di kalangan Perguruan Tinggi/PT (Setara Institute, 2019); fenomena eksklusivisme dalam buku teks pendidikan agama di kalangan PT Umum (PPIM, 2018); aktivis mahasiswa Muslim memiliki pemahaman keagamaan yang cenderung tertutup (CSRC, 2017); kegiatan keagamaan di lingkungan kampus mendorong tumbuh suburnya pandangan keagamaan yang eksklusif (CISForm, 2018); infiltrasi radikalisme dan ekstremisme di lingkungan kampus melalui masjid-masjid kampus (INFID, 2018); serta 39 persen mahasiswa di 7 PT Negeri terpapar paham radikalisme (BNPT, 2018).

Studi mutakhir PPIM (2021) pada tiga Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (UIN Jakarta, UIN Bandung dan UIN Yogyakarta) menunjukkan nilai empati eksternal dan internal yang tidak stabil di hampir semua kalangan, baik pada mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikan. Hal ini mengindikasikan masalah serius bagi penerapan moderasi beragama yang sudah dicanangkan dalam RPJMN 2020-2024 – Perpres 18/2020.

Jenderal, hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta,  menunjukkan sebanyak 24,89 persen mahasiswa memiliki sikap toleransi beragama yang rendah, dan sebanyak 5,27 persen lainnya tergolong memiliki sikap toleransi beragama yang sangat rendah.

Bila digabungkan, sebanyak 30,16 persen mahasiswa Indonesia memiliki sikap toleransi beragama yang rendah atau sangat rendah. Sementara itu, dari sekitar 69,83 persen mahasiswa yang tergolong memiliki sikap toleransi beragama yang tinggi, 20 persen tergolong memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap pemeluk agama lain (Kompas.com, 2/3/2021).

Bukti lain Jenderal, disodorkan oleh Wahid Istitute (2020). Menurut Wahid Institute, tren intoleransi dan radikalisme di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Kecenderungan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama kontestasi politik, ceramah atau pidato bermuatan ujaran kebencian, serta unggahan bermuatan ujaran kebencian di media sosial (medsos).

Kata Direktur Wahid Institue Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid (Media Indonesia,  20/1/2020) sikap intoleransi di Indonesia, juga cenderung meningkat dari sebelumnya sekitar 46 persen, menjadi 54 persen. Ada juga kelompok masyarakat yang rawan terpengaruh gerakan radikal. Mereka ini, bisa melakukan gerakan radikal jika diajak atau ada kesempatan, jumlahnya sekitar 11,4 juta jiwa atau 7,1 persen.

Perlu bukti apalagi Jenderal, untuk meyakinkan bahwa ada persoalan besar dalam toleransi, ekstremisme, eksklusivisme, dan radikalisme di negeri ini. Bukankah semua itu semacam lonceng tanda bahaya, alarm, yang tidak bisa dianggap sepi, Jenderal?

Tetapi, yang perlu dipahami adalah intoleransi tidak akan tumbuh jika tak ada lahan yang menopangnya. Konservatisme adalah lahan di mana ekstremisme, radikalisme, intoleransi, terorisme, dan beragam jenis kekerasan atas nama agama belakangan tumbuh subur.

Ketiga

Jenderal, kok saya lalu ingin bertanya: bukankah kita memiliki UU Terorisme? Apakah undang-undang tersebut tidak cukup untuk menangani masalah yang merisaukan kita ini?

Ya, betul Mas. Hanya saja, UU itu tidak menjangkau kegiatan mereka yang sesungguhnya mengancam persatuan dan kesatuan negara, mengancam dasar negara, ideologi negara.

Sekadar sebagai contoh, Mas. Terkait pencegahan  intoleransi, radikalisme, dan  terorisme, misalnya, Densus 88 hanya dapat melakukan penegakan hukum ketika kejahatannya sudah dapat dijangkau oleh UU Terorisme. Bila seseorang diduga melakukan tindakan terorisme (pasal 28 ayat 1 UU No 5 Tahun 2018) berdasarkan bukti cukup, baru dapat ditangkap.

Namun, ketika kegiatan tersebut belum bisa dijangkau oleh UU Terorisme atau lain (karena belum diduga melakukan tindakan terorisme), maka tidak bisa dilakukan penegakan hukum.  Padahal, tindakan atau kegiatan mereka merupakan ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara, mengancam dasar dan ideologi negara atau sekurang-kurangnya bertentangan dengan Pancasila atau malah mau mengganti Pancasila.

Ini berbeda, misalnya dengan Internal Security Act (ISA–undang-undang keamanan atau keselamatan negara) di Singapura dan dulu Malaysia (dicabut Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Kamis, 15 September 2011. Meskipun pada tahun 2015,  Majelis Rendah Parlemen Malaysia menyetujui UU sejenis atau senapas yakni Prevention of Terrorism Act 2015 (Pota) atau Undang-Undang Pencegahan Terorisme.

Undang-undang tersebut mengizinkan pemerintah menahan tersangka tanpa batas waktu, tanpa pengadilan, dan tak bisa digugat di pengadilan. Ini seperti Patriot Act di AS dan Terrorism Act di Inggris.

ISA Singapura adalah undang-undang yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melakukan tindakan preventif, mencegah subversi, menekan kekerasan terorganisir terhadap orang dan properti, dan melakukan hal-hal lain yang terkait dengan keamanan dalam negeri Singapura. Maaf, itu di negara tetangga.

Keempat

Jenderal, bukankah tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa  sekarang ini rasa nasionalisme bangsa Indonesia sedang mendapat ujian. Harus diakui bahwa sebagian kelompok masyarakat–dari berbagai kalangan dan strata–mencoba  melawan arus kebangsaan dengan menggoyang dasar-dasar filosofi bangsa, Pancasila dan UUD 1945, serta bertingkah laku bak hidup dalam kondisi perang. Yang tidak sepaham dianggap musuh. Yang tidak segolongan juga dikategorikan sebagai musuh. Mereka itu mengembangkan paham-paham yang bertentangan dengan ideologi bangsa dan negara.

Betul, Mas.  Sayangnya, hingga saat ini belum ada peraturan perundangan yang dapat menjangkau penyebaran paham-paham yang  manjadi benih atau pintu masuk ke terorisme itu. Akibatnya,  pembenihan akan terus berlangsung, termasuk lewat dunia pendidikan. Dan, kita tinggal nunggu meledaknya saja.

Aduh, tinggal menunggu meledaknya? Mengapa tidak dicegah agar tidak meledak?

Begini Mas, BNPT misalnya, lembaga yang kegiatannya kebanyakan berada di wilayah pencegahan dan deradikalisasi, memerlukan waktu untuk melihat hasil kinerjanya. Artinya apa, Mas. Artinya masih dibutuhkan peraturan perundangan yang mengatur soal paham-paham yang jadi benih  dan pintu masuk ke terorisme.

Apalagi, sekarang ini, mereka yang menyebarkan paham-paham yang menjadi benih dan pintu masuk ke terorisme atau yang memecah belah bangsa, yang menentang Pancasila juga NKRI, masih berkeliaran, beraktivitas dengan bebas.

Jenderal, saya kok lantas ingat yang dikatakan Buya Syafii beberapa waktu lalu mendengar penjelasan Jenderal itu. Buya berpesan kewarasan menjadi kunci menghadapi intoleran, kekerasan, persekusi, dan ketidakberesan, “Jangan diam.”

Kewarasan dan sikap jangan diam telah membawa kesejukan bagi Indonesia. Kata Buya, yang penting sekarang adalah orang-orang yang normal, orang-orang yang siuman seperti kita ini jangan diam. Jangan diam! Sebab kalau diam, yang akan merajalela mereka.

Pemerintah harus kompak, mulai dari golongan tertinggi hingga pemerintah golongan bawah. Mereka harus mengawasi dan membatasi gerak organisasi-organisasi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dan masyarakat juga harus lebih kritis dalam berpikir. Lalu membentengi diri atas informasi dan ajakan intoleran, salah satunya dengan perbanyak membaca dan melakukan tabayunatas informasi yang beredar (Antara, Sabtu (6/5/2017).

Jenderal, sepaham kan kita bahwa intoleransi,  radikalisme, ekstremisme,  terorisme, paham-paham anti-Pancasila akan memorandakan dan menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa ini.

***