Garut Sadar, Perda Anti Radikalisme Wujud Perlawanan pada Pembenci NKRI

Cengkeraman HTI di Garut begitu kuat. Ingat kasus bendera HTI. Bendera ISIS. HTI dan khilafah mengelabui dan menggunakan dalil agama; memutarbalikan fakta.

Kamis, 13 Januari 2022 | 06:12 WIB
0
318
Garut Sadar, Perda Anti Radikalisme Wujud Perlawanan pada Pembenci NKRI
Massa dan anggota legislatif di Garut (Foto: Facebook/Ninoy Karundeng)

Sadar. Hebat benar! Kita apresiasi! Warga Garut melakukan perlawanan. Menuntut Perda Anti Radikalisme. Luar biasa. Garut malu menjadi salah satu kantong penyumbang teroris selain Tasikmalaya, Ciamis, Cianjur, Sukabumi, dan Bandung Raya. Selain itu dampak sosial ekonomi dari radikalisme juga dirasakan masyarkat Garut!

Puluhan teroris telah ditangkap di Garut. Akibatnya, persepsi negatif berkembang. Radikalisme berkembang yang merusak kohesi peradaban Sunda.

Perlawanan warga Garut menjawab kegelisahan Indonesia. Garut, kantong DI/TII harus keluar dari kungkungan penghancuran terhadap NKRI.

Catatan di Tasikmalaya dan Garut sebagai pemasok teroris membuat warga nasionalis, pencinta budaya Sunda, peradaban Indonesia gerah.

Akibatnya, pluralisme dan kekayaan budaya Sunda terkikis habis. Oleh Arabisasi. Makin lama, semakin luntur dan hilang budaya Sunda.

Warga Garut tak ingin anak-cucu mengidolakan Bahar Smith. Orang yang ngaku-ngaku keturunan Nabi, membawa-bawa keturunan Yaman sebagai ras unggul.

Hingga orang-orang Sunda, Jawa, disuruh menciumi kaki bau busuk Bahar Smith: suatu kegilaan yang tak pantas. Hegemoni dan membanggakan keturunan nabi ala Bahar Smith. Jelas ditolak oleh warga Garut.

Warga Garut sadar pangkal pembuat kekisruhan adalah radikalisme. Intoleransi. Dan, ujung akhirnya: terorisme.

Biang kerok kekisruhan adalah HTI, NII. Kesimpulannya: setiap kekisruhan di Indonesia disebabkan oleh satu hal: memusuhi NKRI dan Arabisasi kebablasan. Arabisasi dan Wahabi dibuat untuk merobohkan budaya Indonesia.

Itu juga terjadi juga di Garut. Hampir lenyap budaya Sunda. Jaepong, Wayang Golek, nyaris tidak pernah tampil. Diganti dengan alunan musik dan lagu Arab.

Cap haram dan pembencian terhadap busana nasional digerakkan masif. Aksesoris udeng, blangkon, kopiah, diganti dengan ubel-ubel Arabia. Topi putih kaum Wahabi sejak Perang Padri di Sumatera Barat jadi trend. Songkok, kopiah Nusantara dibuang.

Wahabi dan HTI memang tidak waras. Tradisi dan kesenian tradisional Indonesia disebut syirik. Padahal kebudayaan adalah alat perekat sosial di masyarakat. Pesta adat, selamatan, nyadran di Jawa, bersih desa, ruwatan, melarung, disebut syirik.

Sadar! Maka warga Garut melakukan perlawanan terhadap gerakan membenci Indonesia. Mengadu domba sesama agama. Membenci keyakinan orang lain. Intoleransi. Merongrong kewibawaan Pemerintah yang sah. Mengejek produk karya anak bangsa. Terorisme sebagai perbuatan jihad.

Kehidupan bermasyarakat di Garut serasa pilu. Sedih. Mencekam. Kaum nasionalis, pencinta NKRI, minoritas suku, minoritas agama tersingkir. Rasa takut. Tidak nyaman. Tidak sejahtera. Terancam. Saling curiga. Tumbuh dalam masyarakat.

Kini, pakaian hitam-hitam ala ninja para wanita Garut jadi simbol syar’i. Celakanya busana itu jadi alat untuk menakut-nakuti. Bahwa yang tidak berpakaian seperti mereka dianggap agamanya belum kaffah. Tidak masuk surga. Paham takfiri tulen.

Mereka membuat jarak dan dikotomi. Surga dan neraka ditentukan oleh baju. Identitas jidat gosong, jenggot panjang, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Jaminan masuk surga.

Cengkeraman HTI di Garut begitu kuat. Ingat kasus bendera HTI. Bendera ISIS. HTI dan khilafah mengelabui dan menggunakan dalil agama; memutarbalikan fakta.

Bendera HTI disebut bendera tauhid. Padahal dalam Islam tidak ada bendera terkait tauhid. Cap Garut sebagai laboratorium percobaan NII untuk menjadikan Garut Negara Khilafah, pusat NII, harus dibrangus.

Bahkan indikasi adanya anggota NII, HTI dalam pemerintahan Garut. Sungguh membuat masyarakat Garut menuntut Perda Anti Radikalisme. Ini menunjukkan keprihatinan sekaligus kemarahan warga Garut. Kita dukung penuh warga Garut.

Ninoy Karundeng

***