Jangan Sampai Moderna Seperti Sinovac

Sebelum Moderna ini benar-benar disuntikkan pada 1,47 juta nakes, sebaiknya BPOM sudah meneliti dengan cermat atas efek sampingnya. Jangan sampai seperti Sinovac: Tidak Aman!

Selasa, 13 Juli 2021 | 11:26 WIB
0
650
Jangan Sampai Moderna Seperti Sinovac
Vaksin Moderna. (Kompas.com)

Menyusul banyaknya korban di kalangan tenaga kesehatan, demi meningkatkan imunitas para nakes yang berada di garda terdepan, Kemenkes akan vaksinasi ketiga booster kepada 1,47 juta nakes dengan Vaksin Moderna asal Amerika Serikat.

Hasil evaluasi akhir itu saat menghitung efikasi vaksin secara keseluruhan dalam melawan infeksi dari Covid-19 sebesar 94,1 persen. Angka ini lebih rendah daripada yang diumumkan Moderna pada 16 November lalu yakni 94,5 persen.

Sebelumnya, berdasarkan data Tim Mitigasi IDI terdapat 949 tenaga kesehatan yang wafat akibat Covid-19 selama pandemi.

Rinciannya, sejak Maret 2020 hingga 26 Juni 2021, yaitu 401 dokter umum dan spesialis, 43 dokter gigi, 315 perawat, 150 bidan, 15 apoteker, dan 25 tenaga laboratorium medik. Mereka ini telah disuntuk dengan Vaksin Sinovac asal China.

Dan, kini terdapat hampir seribu tenaga kesehatan yang sedang menjalani isolasi mandiri hingga perawatan intensif. Untuk dokter, setelah program vaksinasi dilakukan, terdapat 88 dokter yang meninggal.

Detailnya, 20 dokter telah menerima vaksin (10 orang dari Februari 2021-Mei 2021, dan 10 orang pada Juni 2021), 35 dokter belum divaksin, dan 33 dokter masih dalam konfirmasi.  

Sementara, menurut data PPNI, terdapat 28 perawat meninggal akibat Covid pascaliburan Lebaran Mei tahun ini hingga 26 Juni lalu. Dari jumlah tersebut, 10 perawat telah menerima vaksin, 17 belum divaksin karena komorbid, dan satu masih dalam konfirmasi.

Menurut Ketua Umum DPP PPNI Harif Fadhillah, faktor yang menyebabkan banyaknya perawat meninggal terinfeksi Covid-19, karena mereka bekerja pada tempat yang memiliki risiko tinggi terpapar, penyakit itu sendiri, dan penyakit penyerta.

Perlu dicatat, vaksin Sinovac itu terbuat dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan atau dimatikan”. Jika vaksinasi yang kini sedang berjalan itu tidak dihentikan sementara, hal itu sama saja dengan menginfeksi rakyat Indonesia dengan Covid-19 secara massal.  

Sebab, virus yang inactivated itu, dipastikan ada yang dormant (tidur). Nah, yang dormant dan dikira mati itulah pada saat atau dengan suhu tertentu akan bangun dari tidurnya!

Ingat, virus atau bakteri corona itu mahluk hidup yang cerdas! Misalnya, bila virus corona dihantam desinfektan chemikal (kimia), maka asumsi umumnya mereka mati. Tapi, faktanya saat ini mutasi corona sampai ribuan karakter atau varian.

Karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor ACE-2 (Angiotensin Converting Enzyme 2) saja, tapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis, seperti yang menimpa penyanyi yang meninggal beberapa bulan lalu.

Ada yang langsung berikatan atau menempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit.

Fakta klinis tersebut ditemukan di rumah sakit. Jadi, Covid-19 itu tidak hanya menginfeksi di saluran pernapasan saja, tapi Covid-19 juga sudah mulai menginfeksi saluran pencernaan, sistem saraf, hingga mata.   

Perlu diingat lagi, Covid-19 itu terjadi dan meledak lebih dari setahun lalu. Padahal, fase membuat vaksin itu butuh waktu 12-18 bulan. Dari mana specimen virusnya itu diperoleh?     

Kabarnya, basic dari vaksin ini adalah kasus SARS-Corona 5 tahun lalu, bukan Covid-19 ini. Apakah efektif untuk Covid-19? Kematian dr. JF di Palembang, sehari setelah divaksin, dan DR. Eha Soemantri SKM, MKes, di Makassar, menjadi bukti Sinovac tidak aman.   

Teranyar, kabar duka datang dari Universitas Padjadjaran, Kota Bandung. Kepala Divisi Surveilans dan Uji Klinik Bio Farma Novilia Sjafri Bachtiar, yang juga Dosen Luar Biasa Fakultas Farmasi UNPAD meninggal dunia.

Kabarnya, Novilia meninggal dunia karena terinfeksi Covid-19.  Novilia adalah Kepala Tim Peneliti Uji Klinis vaksin Sinovac di tanah air dari Bio Farma. Dia mengawal proses uji klinis vaksin Covid-19 yang sudah dimulai sejak Agustus 2020.

Vaksin Moderna

Raksasa farmasi AS, Moderna, mengklaim vaksin Covid-19 yang dikembangkannya mampu melindungi 100 persen relawan uji coba dari gejala parah Covid-19. Vaksin ini juga disebut menunjukkan konsistensi untuk semua usia, ras, etnis dan demografi jenis kelamin.

Klaim tersebut berdasarkan hasil utuh evaluasi terhadap uji klinis tahap tiga yang sudah dijalaninya melibatkan 30 ribu relawan di AS. Moderna mendapati 196 relawan terinfeksi Covid-19, terdiri dari 185 orang dari kelompok penerima plasebo dan 11 dari mereka yang telah menerima suntikan calon vaksin.

Dari 196 kasus Covid-19 itu, sebanyak 30 di antaranya berkembang hingga memiliki gejala parah atau berat dan seorang di antaranya akhirnya meninggal. Namun, seluruhnya dipastikan berasal dari kelompok plasebo.

Itu sebabnya Moderna mengeluarkan klaim 100 persen kalau vaksin yang dikembangkannya mampu melindungi dari gejala yang parah.

Pihak Moderna juga mengatakan, 196 kasus Covid-19 yang sama mencakup 33 orang dewasa berusia di atas 65 tahun. Sebanyak 42 sukarelawan berasal dari berbagai kelompok ras, antara lain: 29 Latin, 6 kulit hitam, 4 Asia-Amerika, dan 3 peserta multiras.

Selain itu, Moderna melaporkan tak ada efek samping baru yang muncul selama pemantauan dilakukan secara internal. Efek samping yang paling umum hanya kelelahan, kemerahan dan nyeri di tempat suntikan, sakit kepala dan nyeri tubuh, yang meningkat setelah dosis kedua namun berumur pendek.

“Kami yakin memiliki vaksin yang sangat mujarab dan memiliki data untuk membuktikannya. Kami berharap dapat memainkan peran utama untuk titik balik  pandemi ini,” kata Kepala Medis Moderna, Tal Zaks, 30 November 2020.

Hasil evaluasi akhir itu menghitung efikasi vaksin secara keseluruhan dalam melawan infeksi virus Covid-19 adalah sebesar 94,1 persen. Angka ini sebenarnya lebih rendah daripada yang diumumkan Moderna pada 16 November lalu yakni 94,5 persen, namun Zaks menganggap perbedaan itu tak signifikan secara statistik.

“Vaksin itu menyebabkan gejala mirip flu yang signifikan pada beberapa peserta, yang sejalan dengan vaksin yang begitu manjur. Tapi, sejauh ini tidak menimbulkan masalah keamanan yang signifikan,” kata Zaks menambahkan.

Melansir Kompas.com, Selasa (06/07/2021, 17:32 WIB), Moderna dilaporkan menyebabkan sejumlah efek samping yang lebih jarang namun harus diwaspadai. Misalnya saja miokarditis atau radang otot jantung dan perikarditis alias peradangan pada lapisan di luar jantung.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS menyebutkan, efek samping ini sangat kecil terjadi pasa kebanyakan orang. Namun orang yang mengalaminya harus segera mencari pertolongan medis.

Gejala yang muncul misalnya saja nyeri dada, sesak napas, dan jantung berdebar kencang. Sebagian besar pasien segera membaik setelah mendapatkan pengobatan. Moderna juga berisiko menyebabkan anafilaksis alias reaksi alergi parah.

Vaksin COVID-19 ini mengandung polietilen glikol (PEG), yang berpotensi untuk memicu reaksi alergi. Kandungan PEG ini dipakai sebagai lapisan pelindung untuk molekul mRNA saat memasuki sel.

Alergi akibat PEG sebenarnya sangat jarang terjadi namun lembaga Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS mengajurkan agar orang dengan riwayat alergi sebaiknya tidak divaksin dengan Moderna.

Sejumlah gejala yang mungkin dirasakan karena alergi seperti sulit bernafas, pembengkakan wajah dan tenggorokan, detak jantung yang cepat, ruam di sekujur tubuh, pusing dan tubuh terasa lemah.

Sebelum Moderna ini benar-benar disuntikkan pada 1,47 juta nakes, sebaiknya BPOM sudah meneliti dengan cermat atas efek sampingnya. Jangan sampai seperti Sinovac: Tidak Aman!

***