Pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan dan tidak berhasil mendapatkan kesempatan kedua, disinyalir memiliki agenda politik. Sehingga dianggap berbahaya bagi kesehatan internal KPK. Amat wajar jika mereka diminta untuk mengundurkan diri, karena kenyataannya memang tidak lolos TWK. Sedangkan syarat untuk jadi ASN harus lulus TWK.
Sebanyak 51 pegawai KPK gagal diangkat jadi ASN karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Selain itu, mereka tidak bisa dibina lagi karena rapornya merah, dan memiliki agenda politik tertentu. Sehingga jika diangkat jadi pegawai negeri akan bisa melemahkan KPK dari dalam.
Naasib ke-51 pegawai KPK itu beda dari 24 orang lainnya. Meski sama-sama tidak lolos tes wawasan kebangsaan, tetapi yang 24 orang masih bisa dibina dan dinaikkan kadar nasionalismenya. Sehingga masih memiliki harapan besar untuk ikut diangkat jadi ASN dan tetap bekerja di KPK seperti biasa.
Di dalam internal KPK ada grup-grup tertentu, walau ada serikat pekerja yang resmi. Di antara grup itu ada yang dinamakan kelompok Taliban, karena mereka diduga menjadi simpatisan kelompok teroris dan radikal. Sehingga merekalah yang secara rela harus mengundurkan diri, walau kasih boleh menyelesaikan kerjanya hingga oktober 2021 mendatang.
Kelompok Taliban jelas dilarang keras jadi pegawai negeri, karena berafiliasi pada organisasi terlarang. Jangan sampai mereka dimanfaatkan oleh eks petinggi organisasi tersebut, yang meski sudah bubar tetapi masih ingin melakukan banyak teror di Indonesia. Karena pegawai KPK itu punya jabatan dan pangkat, sehingga bisa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi yang sayangnya dalam konteks yang negatif.
Apalagi ketika kelompok Taliban meminta simpati pada pemuka agama di Indonesia. Sungguh salah alamat, karena dalam kasus ini yang dipertanyakan adalah integritas mereka dan kecintaan pada negara, bukan soal agama dan kepercayaannya. Jangan sampai masalah ini jadi campur aduk, karena yang berwenang adalah Serikat Pekerja dan Dinas Tenaga Kerja. Penyebabnya karena petinggi KPK akan mempertimbangkan saran dari Disnaker.
Jika mereka mencari simpati maka jelas melakukan playing victim, untuk membuktikan pada publik bahwa mereka tidak bersalah. Di sini terlihat kualitas mereka, yang meski sudah berumur tetapi malah bertingkah seperti anak kecil yang suka mengadu pada orang tuanya. Jika sudah ketahuan, sudah pantas kan mereka disuruh untuk mundur dari jabatan dan pekerjaannya?
Selain itu, jika 51 pegawai KPK dipaksa untuk diangkat jadi ASN, akan sangat menyalahi peraturan. Pertama, mereka tidak lolos tes wawasan kebangsaan.
Tes ini tak hanya untuk KPK saja tetapi untuk seluruh CPNS, jadi sangat objektif penilaiannya. Lagipula TWK untuk KPK dibuat oleh lembaga negara lain, jadi petinggi KPK tidak bisa ikut mengatur skor untuk menjungkalkan pegawai tertentu.
Kedua, seluruh aparatur sipil negara harus membuktikan diri bahwa ia menaati pancasila sampai ke dalam hati, dan memiliki rasa nasionalisme yang besar. Selain itu, ia juga harus taat kepada UUD 1945. Jika tidak lolos tes wawasan kebangsaan maka ia terbukti kurang memiliki rasa nasionalisme, padahl hal ini sangat krusial.
Pada tes wawasan kebangsaan juga dipertanyakan beberapa soal tentang keberagaman dan pluralisme di Indonesia. Jika 51 pegawai KPK tidak lolos tes wawasan kebangsaan berarti ia memiliki rasa toleransi yang rendah, padahal seorang WNI dan ASN yang baik harus mampu memahami banyak orang dari background yang berbeda. Sehingga jika ia gagal, wajar saat tidak diangkat jadi ASN.
Polemik tentang pengangkatan pegawai KPK jadi ASN jangan diperpanjang lagi sampai berjilid-jilid, karena mereka yang lolos tes wawasan kebangsaan akan diangkat jadi ASN tanggal 1 juni 2021. Mereka yang tak lolos TWK ketahuan memiliki agenda politik. Sehingga wajar jika gagal jadi pegawai negeri. (Ade Kurniawan)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews