Persoalan di Gedung Bundar Itu

Kali ini saya setuju dengan Rocky Gerung, sebaiknya gedung yang terbakar tak usah direnovasi. Jadikan saja Monumen Penghianatan Rasa Keadilan....

Sabtu, 24 Oktober 2020 | 18:18 WIB
0
288
Persoalan di Gedung Bundar Itu
Kebakaran di Kejakgung (Foto: jawapos.com)

Memahami persoalan hukum di lingkungan Kejaksaan Agung sesungguhnya adalah melulu persoalan politik dan bisnis. Pun juga di lembaga negara lain manapun. Inilah yang sering diprotes publik sebagai oligarki. Siapa gandul siapa, siapa gandeng siapa. Siapa bersembunyi di ketiak siapa, saling bersembunyi saling menyembunyikan. Tak ada independensi di sana.

Pemerintah sebenarnya adalah perpanjangan tangan kaum politik yang menjadikannya sapi perah, pun orang-orang bisnis yang butuh payung hukum buat melindungi kepentingannya.

Alm. AE Priyono adalah figur yang sampai akhir hayatnya, selalu mengingatkan bahayanya oligarki di lingkungan pemerintahan. Yang sayangnya justru semakin menyolok di tangan Presiden Jokowi. Jika ada orang yang pantas dijukuki Bapak Anti-Oligarki, beliaulah yang paling tepat menyandangnya. Ia secara konsisten selalu berbisik lirik, tapi sangat tajam menghujam pada inti persoalan.

Hal mana membuat nyaris seluruh gerak Jokowi, selalu terganjal di mata "oposisi"-nya sebagai bagian yang terus menerus melakukan teror. Sebenarnya jika hal tersebut tulus, tentu sangat mulia. Persoalannya sederhana: mereka-mereka ini juga bagian dari oligarki yang lainnya, yang jelas hanya bersifat "replacing". Menyerang untuk menggantikan.

Boro-boro bersifat korektif, mungkin mereka sejenis oligarki lain yang justru tanpa modal duit, tapi melulu modal mulut. Dengan tentu saja SJW sebagai perpanjangan mulutnya.

Di sinilah sebenarnya, rakyat perlu dikasihani. Rakyat selamanya hanya kuda tunggang. Yang gampang sekali dimanipulasi...

Sehari kemarin, masyarakat medsos sedemikian heboh dengan kesimpulan Kepolisian bahwa terbakarnya salah satu Gedung di Kejakgung adalah akibat puntung rokok. Sungguh suatu pat gulipat yang sangat jahat dan merendahkan nalar publik.

Semua orang tahu, sejak kasus itu terjadi tak satu warga pegawai di lingkungan Kejakgung RI untuk boleh buka mulut tentang persoalan yang terjadi. Resikonya sangat jelas: dipecat, dimutasi, atau dituruinkan pangkatnya. Hanya untuk sekedar ngerumpi-kan persoalan ini.

Semua orang yang sedikit mengerti persoalan di lingkungan Kejakgung juga tahu. Betapa selama ini, mereka terbelah antara Kejagung "gaya baru" yang warna merah itu berhadapan status quo Kejakgung lama berwarna biru. Perseteruan antara kelompok PDI-P dengan Nasdem. Yang entah bagaimana ceritanya, meledaknya kasus ini terjadi ketika Joko S. Tjandra tiba-tiba ingin balik badan ke Indonesia. Belakangan saya baru tahu, ia tak lagi memiliki kekebalan politik di negara manapun baik itu Australia, Papua Nugini, maupun Malaysia.

Menjelaskan kenapa ia tiba-tiba harus balik ke rumah lamanya di Indonesia. Watak bisnisnya yang selalu oligarkis, dimana pun ia berdiri. Membuatnya memiliki banyak musuh dimana-mana. Ia tak bersih-bersih amat secara hukum, apalagi ia sudah telajur dianggap penipu oleh siapa pun mitra bisnisnya. Terlalu pede atau kalau tidak mau dikatakan sangat sembrono. Menganggap bahwa baik Kejakgung atau Kepolisian itu satu. Satu suara, satu kepentingan. Salah saja, pakai banget!

Perseteruan atau lebih tepatnya rivalitas yang tak pernah surut, khsusunya di lingkungan internal. Bukan sekedar karena alasan klasik antar angkatan, tapi juga etnis dan belakangan yang menyebalkan antar agama. Dan semua disempurnakan ruwetnya karena ya seperti yang saya tulis di atas pengaruh parpol dan intervensi dunia bisnis. Sempurna lah sudah oligarki yang terjadi.

Pertanyaannya kemudian mosok oligarki sampai ke ranah hukum?

Lagi-lagi watak bisnis yang korup, yang sarat KKN. Bahwa bisnis harus selalu butuh payung politik, dan kemudian perlindungan dari hukum. Dalam konteks Kejaksaan Agung, sekali pun orang-orang yang kemudian naik Jadi Jaksa Agung adalah juga figur karier yang merangkak dari bawah. Mereka adalah orang-orang binaan partai, yang memang memiliki akses langsung kepada mereka. Bukan saja dalam konteks hubungan legislasi-yudikatif, tapi juga eksekutif-yudikatif.

Jadi "puntung rokok" adalah solusi segala persoalan.

Mungkin puntung rokok adalah juru damai yang sesungguhnya. Tak butuh saksi, tak bisa diinterogasi, tak butuh membuka borok. Tak butuh argumentasi yang berbelit. Rokok ketemu cairan pembersih yang mudah terbakar. Selesai!

Tentu kita sebagai rakyat, sekali lagi untuk ke sekian kali harus terpaksa menerima. Dibohongi, dimanipulasi, dibutakan, dikasih tontonan drama yang tragis. Satu-satunya hiburan buat kita adalah bahwa konon secara spiritual. Agama apa pun yang memiliki janji surga neraka itu. Mereka sama sepakat bahwa siapa pun yang suka mempermainkan hukum, di kehidupan kelak tempatnya ada di kerak neraka....

Kali ini saya setuju dengan Rocky Gerung, sebaiknya gedung yang terbakar tak usah direnovasi. Jadikan saja Monumen Penghianatan Rasa Keadilan....

***
.