Mematahkan Mitos NEM, IPK dan Ranking

Dunia sekolah adalah dunia anak. Sekali terlewatkan tak akan kembali lagi, tidak bermaksud memaksakan agar anak diizinkan kembali kesekolah.

Selasa, 29 September 2020 | 13:28 WIB
0
353
Mematahkan Mitos NEM, IPK dan Ranking
Mencuatnya Isu Mematahkan NEM, IPK, dan Ranking, Adakah Kaitannya dengan Peniadaan Ujian Nasional?

Pertengahan Desembar 2019, beredar ramai di Medsos komentar MENDIKBUD Nadiem Makarim tentang NEM, IPK dan RANGKING yang dianggap tidak relevan dengan kesuksesan. Netizen saling berkomentar memuji Mendikbud Nadiem yang berani tampil beda dalam beropini dan terkesan sangat menjanjikan untuk perbaikan dunia pendidikan di Indonesia.

Namun beberapa bulan kemudian, ketika Mendikbud mengumumkan MENIADAKAN UJIAN NASIONAL untuk tahun 2021, maka Polemik pun tak terhindari.  Mungkin karena terobsesi oleh kesimpulannya terhadap ketiga hal tsb diatas, maka keputusan ini diambil. Logikanya, kalau memang ketiga hal ini (NEM, IPK, dan RANGKING) diyakini tidak relevan terhadap kesuksesan, mengapa juga harus menghabiskan dana begitu besar untuk keperluan penyelenggraan Ujian Nasional? Timbul keinginan untuk memastikan bahwa Nadiem yang  membawa issue NEM, IKP dan Rangking kepermukaan. Penelusuran lewat liputan 6 Cek Fakta menyatakan TIDAK BENAR. Pendapat tentang tidak relevan nya NEM, IPK dan  RANGKING terhadap kesuksesan ternyata bukan milik mantan pendiri Gojek tsb.  Hal ini dapat ditelusuri melalui situs laduni.id dengan judul artikel “Prof Agus Budiyono: Mematahkan MItos NEM, IPK, dan RANGKING”   

 Keinginan Pak Menteri Nadiem untuk meniadakan UN ternyata terlaksana lebih awal dengan adanya Pandemi Covid 19 ini. Pertama kali sistim Pendidikan Nasional kita di reduksi ke “sistim Pendidikan tingkat Kecamatan” dimana soal ujian dan penilaiannya dikerjakan dengan scope Kecamatan/sekolah masing-masing.  Sesungguhnya, Ujian Nasional ini masih  bisa dilaksanakan mengingat persiapannya yang sudah matang, dan pelaksanaannya dapat mengadopsi pelaksanaan “UJIAN” tingkat kecamatan kemarin. Siswa mengerjakan soal melalui sistim aplikasi. Tentunya protocol kesehatan harus dikawal ketat. Meskipun ada survey yang menunjukkan banyak ORTU/wali murid dan peserta didik merasa lega dan “happy” bahwa UN 2020 ditiadakan, pastinya banyak juga yang kecewa.  Bayangkan ketika mental sudah siap untuk “bertanding”dan rasa optimistik meningkatkan “fighting spirit”...tiba-tiba “pertandingan’ dibatalkan.  

Dapat dipastikan adanya landasan berpikir yang kuat mengapa UJIAN NASIONAL harus dihapuskan. Namun bahwa dampak dari ditiadakannya UN sepertinya belum benar-benar diperhitungkan. Misalnya:

1.      Tiadanya TOLOK UKUR keberhasilan KBM dan juga untuk penerimaan siswa baru dijenjang berikutnya {dari SD ke SMP ke SMA/SMK ke Universitas). Tolok Ukur ini dibutuhkan juga oleh perusahaan dalam menyeleksi pegawai baru terutama untuk pekerjaan yang membutuhkan BRAIN dan bukan hanya BRONZE.

2.      “Kendor” nya minat belajar siswa sehingga berakibat pada sepinya UMKM BIMBEL dan lenyapnya “Bisnis” jualan ilmu ini. Ini berarti PENGHILANGAN PEKERJAAN/ INCOME TAMBAHAN terutama bagi guru yang menyabung hidupnya di sekolah kecil di sektor swasta, dimana ketahanan upahnya bergantung pada jumlah murid. Perlu ditambahkan disini bahwa di masa Pandemi ini guru yang berkiprah di swasta mengalami “double minus”: gaji yang terpotong dan harus membeli kuota internet untuk bisa melakukan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh).

Tulisan ini tidak dalam posisi membahas Sekolah Negeri, yang Nota Bene memang “diatas angin” dalam segala hal: keuangan (dana dari APBN/APBD), kualitas guru, fasilitas sekolah, dll. Dengan jaminan sekolah gratis, fasilitas sekolah yang memang sangat memadai serta kualitas guru yang tentunya tak diragukan sehingga Ujian Nasional diadakan atau ditiadakan tidak ada pengaruhnya secara Pendanaan.

Sampai disini, tulisan ini mencoba membahas kebijakan Mendikbud yang terasa kurang bermanfaat karena lebih banyak dampak negatif ketimbang dampak positif nya: 

1.      Kebijakan meniadakan UN. Salah satu pertimbangannya adalah aspek koruptif, karena terjadi banyak kecurangan misalnya kebocoran soal, suap untuk mendapatkan nilai kelulusan yang baik atau lebih baik, dll yang serupa.  Argumentasi ini mengkritik mekanisme penyelenggaraan UN dan tidak bisa dijadikan alasan untuk meniadakan UN. Bagaimana mungkin kita hancurkan satu desa hanya karena banyak tikus di desa tersebut? Pertimbangan lainnya yang lebih relevan yaitu tentang cara penilaian hasil UN. Dikhawatirkan bahwa nilai-nilai terbaik hanya digondol oleh siswa yang mampu secara ekonomi dan mereka yang tinggal di kota besar dimana tentunya segala fasilitas pembelajaran pasti lebih baik dari pada yang tinggal di tempat-tempat terpencil. Namun hal ini telah di atasi dengan sistem modifikasi nilai sesuai dengan arahan dari kemendikbud melalui dinas pendidikan disetiap wilayah. 

 

2.      Kebijakan menggalakkan/mendanai ORMAS PENGGERAK PENDIDIKAN. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Ormas Penyelenggara, program ini  mengesankan seolah perjuangan guru selama ini hanya jalan di tempat. Ini tentunya kebalikan dari fakta di lapangan dimana banyak anak didik kita yang menggondol kejuaraan Olimpiade Science di level Internasional. Belum lagi pengakuan (recognition) terhadap prestasi pelajar Indonesia di bidang matematika. Mereka yang putra/i nya pernah mengenyam pendidikan di negeri2 maju dapat mengkonfirmasi kebenaran berita ini.

Khusus untuk program Ormas Penggerak Pendidikan dimana disebutkan para kepala sekolah dan guru akan diikutsertakan dalam pelatihan yang memakan waktu bahkan satu tahunan. Sulit membayangkan bagaimana sekolah swasta kecil dengan jumlah guru minim dapat berpartisipasi dalam program ini.

Lebih dari itu, program penggerak yang punya 4 (empat) komponen tersebut bukanlah hal yang baru di dunia pendidikan Indonesia. Hanya saja  realisasinya sering terkendala oleh factor “keuangan” (ekonomi) guru. Seringkali guru harus berbagi waktu antara mempersiapkan pelajaran yang lebih menarik dan cari tambahan penghasilan. Di pihak peserta didik, ada pepatah yang mengatakan  “We can bring a horse into water but we cannot make him drink”

Kembali ke  UJIAN NASIONAL yang ditiadakan.  Dampak Sosial-politiknya harus juga diperhitungkan. Di Negara yang sangat majemuk seperti Indonesia, diperlukan satu sistem Pendidikan Nasional yang mempersatukan insan Indonesia dari Miangas sampai Pulau Rote. Ujian Nasional bisa berfungsi sebagai pemersatu, sebagai “BONDING”,  secara emosi mempersatukan. bukan menyekat-nyekat satu daerah dari daerah lain antara sekolah satu dengan yang lainnya, antara kecamatan yang satu dan yang lainnya, dst..  Dengan materi soal ujian yang sama, diujikan pada waktu yang sama, bisa diharapkan bahwa siswa di daerah akan merasa se “level” dengan yang di kota2 besar, terutama di Jakarta. Ada semangat ingin menunjukkan “ini aku” dari belahan Indonesia Timur/Barat yang seakan “bertanding” di level Nasional. Ada kebanggaan tersendiri dapat meraih nilai Kelulusan. Ada rasa keterikatan dengan pemerintah pusat, ketika mencoba mereka-reka soal yang akan diujikan. Semua emosi akan mempertebal ikatan dan rasa kebangsaan.. Bisa dibayangkan tanpa perekat yang bernama UJIAN NASIONAL mereka akan mencari “jati diri” masing-masing dengan bersandarkan tolok ukur daerah masing2.  

Selain itu, Ujian Nasional juga dapat mengontrol sekaligus memastikan bahwa topik/tema dan alokasi waktu pembelajaran sudah sesuai dengan yang dituangkan dalam kurikulum Sistem Pendidikan Nasional.

Kedepannya, sangat diharapkan agar Mendikbud tidak terlalu cepat mengeluarkan statemnent/ kebijakan sehingga sering mengundang kerisauan/kegaduhan  bahkan polemik. Kegaduhan yang sering meninggalkan rasa kecewa yang mendalam meskipun sudah ada penjelasan atau bantahan tentang arti dan maksud dari kebijakan itu sendiri. Sebagai contoh:

1.      Pada awal-awal dimulainya PJJ (pembelajaram jarak jauh) dengan menggunakan sistim daring, tiba-tiba dikatakan oleh pak Menteri bahwa PJJ akan berlangsung sampai Desember. Bagi orang tua murid berita ini menimbulkan stressed. Karena berarti cari nafkah terhalang demi mendampingi anak.  Siswa pun ada yang menjerit histeris “LAMA AMAT”. Dunia SEKOLAH adalah dunia anak. Jangan rampas itu dari mereka. Andai saja  ada kata-kata yang menyemangati “Ini PJJ hanya sementara saja, karena adanya Pandemi. Anak akan kembali kesekolah segera Pandemi berakhir” Bisa dibayangkan Optimis dan semangat siswa/i untuk ikut mengawal Protokol Kesehatan agar Pandemi ini cepat berakhir dan mereka dapat kembali ke Bangku sekolah.

2.      Statement bahwa PJJ bisa dibuat permanen meskipun Pandemi sudah berlalu. Statement ini sontak membuat banyak netizen bereaksi keras. Padahal kata “PERMANEN“ disini dimaksudkan “bisa diperpanjang kalau mau”. Sebetulnya sekolah swasta akan dengan sendirinya memakai metode ini kalau memang perlu demi mengoptimalkan pencapaian KBM..

3.      Ketika memberikan keterangan secara spontan “DANA BOS BISA DIPAKAI UNTUK MENDANAI QUOTA INTERNET SISWA” Dilanjutkan dengan “instruksi” bahwa ORTU bisa meminta uang quota dari kepala sekolah. Ini betul2 mengundang ketegangan antara ORTU/wali Murid dengan Kepala Sekolah. Bagaimana sanggup member kuota internet pada siswa kalau kepada guru saja sekolah ytidak sanggup?  Perlu diketahui bahwa, dimusim Pandemi ini, dana Bos nyaris tidak cukup untuk mendanai biaya operasional sekolah swasta kecil. Sebab utamanya banyak ORTU yang tidak mampu membayar SPP anaknya, karenanya pendapatan sekolah berkurang. Sekarang, setelah berjalan lebih kurang 6 bulan, baru dibuat kebijakan memberikan kuota internet. Kabarnya inisiatif ini timbul setelah wawancara dengan Mata Najwa.

4.      Kekinian, ribut2 tentang Mata Pelajaran SEJARAH yang dihapus dari kurikulum. Meskipun hal ini telah dibantah oleh Nadiem, tetapi kenyataan bahwa MAPEL SEJARAH dimasukkan sebagai MAPEL PEMINATAN, mengandung arti kalau tidak diminati MAPEL SEJARAH BOLEH DIABAIKAN.

5.       Andai saja dapat dibuat  INFORMED DECISION setiap kalinya, karena masalah pendidikan lebih mengarah ke SOCIO-CULTURAL ketimbang kecerdasan. Tidak  seperti matematika 6+6 = 12.

 

Perlu kiranya ditambahkan disini bahwa sehubungan dengan Pandemi ini, banyak sekali authority yang mengambil sikap meliburkan/menutup sekolah dengan pertimbangan, seperti yang pernah ditayangkan di Kompas TV bahwa:

(1)      Secara ekonomi sekolah menghasilkan income paling sedikit dan

(2)      Sekolah paling rentan terpapar dan menghasilkan cluster baru.

Kesimpulan yang demikian perlu diluruskan. (1) Sekolah memang tidak “bermodus bisnis” sehingga pembicaraan tentang income/ekonomi tidak relevan. (2) Bahwa sekolah bisa menghasilkan cluster baru itu juga belum tentu demikian. Karena sekolah bukan seperti rumah sakit dimana konsentrasi virus sangat tebal. Sekolah bisa melaksanakan protocol kesehatan dengan sangat ketat dan disiplin.

Kalau klub malam bisa beroperasi, apakah salahnya dengan sekolah? Dan menurut penelitian dari luar negeri, anak tidak mudah terpapar virus corona. Kita harus dapat HIDUP DAMAI DENGAN VIRUS CORONA demikian arahan Presiden Jokowi dengan mengadaptasi kebiasaan baru.

Sekali lagi dunia sekolah adalah dunia anak. Sekali terlewatkan tak akan kembali lagi. Tulisan ini tidak bermaksud memaksakan agar anak diizinkan kembali kesekolah, tetapi  sekedar menempatkan sekolah “on par” dengan klub malam yang diperbolehkan beroperasi.

28 September 2020

 

Leonie Agustina MA, PhD, Penggiat Pendidikan dan Pemerhati Kehidupan Wong Cilik