Mereka justru akan bersatu dalam satu gerakan tanpa bentuk, di mana simpatisan FPI, HTI, dan organisasi Islam terlarang lainnya untuk bergerak membalas.
Sangat terlambat, terlalu lama, cari waktu yang tepat dulu. Atau apalah komentar netizen yang maha benar itu. Tapi akhirnya dibubarkan, jauh sebelum tersiar secara resmi pada Rabu Kliwon ini.
Bagi orang Jawa Rabu Kliwon adalah harinya para petinggi di bidang yang terkait memegang urusan pertahanan atau keamanan membuat keputusan. Cocokologi kuno yang kadang ampuh juga digunakan untuk mengejek "kaum beragomo".
Banyak beredar cerita, kenapa baru sekarang. Tapi momentum itu memang sengaja diciptakan. Dramatisasi hal-hal kecil, yang dijadikan dasar alasan yang "terpaksa" diamini. Maklum ini zaman kalabendu, segala hal yang gelap harus diberi sedikit lampu. Biar tampak terang, walau tak akan pernah menjadi benderang.
Saya minimal mencatat lima momentum, yang (lama) ditunggu agar FPI jadi layak dilarang dan dibubarkan. Untuk modyar sak lawase
Pertama, diusirnya HRS dari Arab Saudi. Bisa bermakna banyak, sebagai "anjing piaraan asing". Ia dilepaskan pulang, karena memang sudah waktunya dipulangkan. Para "ndoro, tuan" di rumah lamanya butuh bantuan. Di rumah barunya, si tuan rumah memberinya tugas baru untuk menduplikasi skenario gaya Pemimpin Besar Revolusi Iran Imam Khomeini.
Momentum yang dipilih tanggal 10 November, Tapi persiapan waktunya terlalu mepet.
Rupanya, pihak intelejen Indonesia sudah sangat siap menyambut. Sengaja dibiarkan penyambutan yang tak terlalu gegap gempita, tapi meninggalkan jejak kerusakan bandara dan kacaunya jadual penerbangan. Bahkan terus dibiarkan hingga diadakan resepsi pernikahan anaknya yang mengundang ribuan orang itu.
Memang ada pembiaran di situ. Gak masuk akal, pihak polisi dan militer membiarkan. Padahal terlalu menyolok mata, pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi.
Bila kemudian Kapolda Metro Jaya dan Jabar itu dicopot dan diganti. Hal itu juga bukan tiba-tiba, tapi lebih pada memberi efek kejut dan dorongan energi yang besar. Membuktikan bahwa TNI dan Polri masih sah sebagai alat negara untuk menegakkan ketertiban sosial. Negara harus juga tampak berwibawa dan tegas bahkan kepada aparatnya sendiri....
Kedua, penembakan enam orang anggota FPI yang dianggap melawan. Banyak alasan tapi terutama adalah stigmatisasi FPI sebagai organisasi yang berpotensi jadi teroris. Hal ini mengakhiri drama "pelarian" HRS yang tak berujung itu. Setelah kucing-kucingan berusaha menyembunyikan dari pemeriksaan rapid test. Di sini sebenarnya, HRS punya kesempatan untuk memukul balik polisi. Tapi, rupanya ia memilih terus bersembunyi.
Justru Munarman, yang justru membelokkan persoalan sekedar masalah kriminalisasi polisi. Hal-hal sepele yang menunjukkan proses penembakan tidak sesuai aturan. Sekali lagi, saya harus mengkritik FPI yang gagal fokus pada "kemartiran" anggota pengawal HRS. Ia tidak mengeskpose hal tersebut. Membuktikan bahwa sesungguhnya FPI bukanlah organisasi profesional. Gampang panik, tidak fokus, tidak memiliki think tank. Intinya mereka sesungguhnya tak lebih organisasi preman penjual agomo.
Ketiga, penyerahan diri HRS tanpa syarat. Menjelaskan bahwa hal yang paling ditakutkannya adalah kematian. Ia sadar bahwa sekarang semua adalah musuhnya lagi. Dan musuh terberatnya justru adalah bohirnya selama ini. Tak merasa diperlukan lagi, ia bisa setiap saat bisa dihabisi di jalanan.
Tentu saja karena itu, ia memilih menyerahkan pada musuh yang paling tahu hukum: polisi! Di tangan polisi, ia bisa saja berlindung di balik hukum yang lentur dan bisa ditawar-tawar.
Walau, kenyataan yang terjadi juga tak seindah harapannya. kausu-kasus yang selama ini di-SP3-kan secara sepihak oleh Pengadilan. Nyatanya kemudian justru dibuka lagi, untuk tidak memberi celah dirinya bangkit bersuara.
Saya tidak tahu, sisitem hukum di Indonesia itu apakah bersifat penjumlahan bila kasus-kasus yang dituduhkan berbeda-beda. Kalau iya, jangan harap ia bisa bebas berkeliaran lagi, mungkin ia akan harus menjalani jumlah hukuman yang berlipat-lipat hingga habis usianya.
Saya menduga, tanpa mendahului kehendak Tuhan. Ia akan mati ngenes di penjara, bukan karena tak ada yang lagi mau membela, tapi perasaan dikhianati dan dilupakan. Ia akan dibunuh oleh sikap sombong dan hobi berbohong-nya itu.
Keempat, penangkapannya mengungkap realitas bahwa tempat tinggal dan pesantren yang di Mega Mendung ternyata adalah milik negara. PTPN selaku pemiliknya, yang tiba-tiba memiliki keberanian untuk mengusir. Dan menuntut dikembalikan dengan batas waktu yang mengkat. Walau FPI berlindung di balik azas manfaat dari tanah tak berguna yang dimanfaatkan penduduk. Tapi dengan jumlah 30 Ha, tampaknya ia akan tak berkutik di harapan hukum agraria.
Sebagaimana kita tahu, besaran tanah maksimal yang bisa dikuasai penduduk itu juga maksimum cuma dua ha. Itu pun untuk keperluan produktif. Lah, ini?
Sinyalemen ini, makin buruk dengan "pembongkaran" kasus penyimpanan narkoba di Petamburan. Sebenarnya hal ini aneh, karena bukankah dari sejak dulu kawasan ini memang area transit narkoba secara internasional? Silahkan cek, berapa kali orang hitam dari Afrika yang ditangkap di daerah ini sebagai suplier. Tafsirnya, jangan-jangan selama ini organisasi ini, jadi centeng untuk sindikat jual beli barang-barang terkutuk itu.
Saya pikir harusnya BNN sudah tahu. Entah kalau memang dibiarkan begitu, sebagaimana juga pembiaran penarikan dana masyarakat melalui Kotak Amal yang sesungguhnya bukan modus penipuan yang baru.
Kelima, nah ini yang paling sumir tapi setidaknya menyentuh sisi internasionalisasi perkara FPI dan HRS ini. Kunjungan staf diplomatik Jerman, yang terakhir ditengarai bernama Suzanne Hall, yang kemudian diketahui sebagai BND (Bundes Nachrichten Dienest). Atau Badan Intelejen Jerman. Ia dicurigai sedang menjalankan sejenis misi White Helmet di Russia, yang seolah mau menolong pemerintah domestik mengatasi masalah terorisme, tapi sesungguhnya justru menjadi provokator.
Sebenarnya aksi intelejen seperti ini biasa saja, walau kemudian banyak pihak yang membungkus kasus ini dengan berbagai kepentingan UE yang terdesak karena pelarangan eskpor biji nikel. Aneh saja sebenarnya analisis prematur seperti ini, karena kalau mereka butuh bukankah investasi untuk ini terbuka bagi negara manapun. Apalagi kalau Jerman masuk, akan membungkam cara-cara investasi abal-abal dan penuh tipu-tipu sebagaimana yang banyak dilakukan pengusaha dari China itu.
Tapi, sebagaimana saya duga lepas dari benar salahnya aksi intelejen Jerman, yang justru konyolnya dibocorkan sendiri oleh FPI itu. Pihak pemerintah Jerman buru-buru meminta maaf, karena sadar tak ada gunanya memperpanjang masalah sensitif ini dengan harus bertengkar dengan sebuah negara sahabat.
Kelima momentum, yang seolah "sempurna" hanya untuk sekedar memberangus FPI dan menangkap HRS ini bagi saya sebenarnya terlalu lebay. Bagi saya terlalu membesar-besarkan FPI dan HRS. Hawong jelas, sejak Gus Dur masih hidup, ia telah menyarankan berkali-kali untuk membesarkan FPI. Kok harus menunggu sekian lama, lebih dari sebelas tahun. Jelas, pemerintahnya yang gagu dan gagap. Jangan salahkan publik, kalau juga lega tapi sekaligus anyel!
Lalu apakah FPI akan bangkit? Berganti nama misalnya....
Sependek yang saya tahu. Persoalan organisasi di Indonesia itu, selalu gagal ketika melakukan "rebranding". Kalau pun bisa, biayanya sangat mahal, dan butuh waktu yang sangat lama. Kalau pun huruf "P" diganti dari pembela, menjadi penjaga, pendukung, pelapis, pejuang atau apa pun.
Walau itu juga bukan berarti akan menutup gerakan radikalisme Indonesia untuk langsung mati. Masih butuh satu momentum lagi di tahun 2021 besok. Mereka justru akan bersatu dalam satu gerakan tanpa bentuk, di mana simpatisan FPI, HTI, dan organisasi Islam terlarang lainnya untuk bergerak membalas.
Tanda-tanda ke arah sana sangat jelas sekali. Bukan saja, karena Jokowi mengumpulkan figur-figur yang dulu jadi rivalnya. Juga, pertanyaan bodoh? Mosok radikalisme cuma mati dengan sekali gebuk. Gampang timen. Eh!
Sahabat (eh boleh gak ya nyebut begitu?) Nana Padmosaputro, seorang multitalentis ajaib, pendukung Jokowi garis spiritual Jawa (sic). Sebagai pembaca Tarot, ia juga mensinyalir demikian. Ada tabrakan adu lutut yang keras sekali di tahun depan ini. Tapi dengan cerita happy ending, Jokowi keluar sebagai pemenang. Dan jalan lempang Indonesia maju akan terwujud setelahnya.
Meminjam istilahnya: wis titenana. Sudah lihat saja, gak usah berisik. Nonton, duduk manis di rumah saja....
NB: Dalam kasus pembubaran FPI ini, saya tetap menyimpan heran yang luar biasa. Harusnya yang bergembira itu, kan umat Islam yang akidah agama-nya telah dikembalikan ke jalan yang benar. Kembali ke jalan syariat yang santun dan bermartabat, dan bukan jatuh sekedar jadi barang dagangan para preman jalanan. Lah kok, malah kelompok non-Islam yang bersorak gembira. Anih-anih saja kata orang Yukjo...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews