Sebelum berkeliling kebun, Kardinal terlihat asyik mengajak sejumlah burung koleksinya yang tergantung di selasar untuk berkicau.
Setelah lebih setengah abad menghirup udara dunia, baru dua pekan lalu saya menjejakkan kaki dan masuk ke dalam gereja. Bukan sembarang gereja, tapi Katedral nan megah dengan arsitekturnya yang cantik. Di dalam, Uskup Keuskupan Jakarta Bapak Mgr Ignatius Kardinal Suharyo telah menunggu. Ya, semua itu dimungkinkan berkat profesi saya sebagai reporter.
Sehari sebelum ke Katedral, saya bertekad membuat pengakuan sekaligus meminta ‘pengampunan’ kepada Bapak Kardinal. Saat saya sampaikan apa yang menjadi kegelisahan, reaksi beliau ternyata di luar dugaan. Tak cuma tersenyum, beliau sempat tertawa kecil.
Saat menjabat tangan Bapak Kardinal, saya memperkenalkan diri sebagai Alexander Sudrajat. Tapi saya seorang muslim sejak lahir. Nama asli di akte, KTP, dan passport tertulis: Sudrajat. Alexander merupakan pemberian pimpinan di kantor setelah memegang program Blak-blakan. Nama itu merupakan kepanjangan dari Alek. Sapaan Alek itu sendiri merupakan olok-olok sejumlah teman sejak SMA. Kepanjangan dari ‘Ajat Jelek”.
“Silahkan saja dilanjutkan bila memang mas Alex merasa nyaman. Saya percaya mas Alex tidak akan merendahkan nama tersebut,” ujarnya sambil tetap memegang kedua telapak tangan saya dengan hangat. Plong…
Sekitar satu jam kami berbincang di dalam Katedral. Selain membahas soal polemik ucapan Natal yang selalu muncul setiap tahun, Bapak Kardinal juga mengungkapkan keprihatinannya terkait tiga isu utama: ujaran kebencian, hoaks, dan politik identitas. Ini problem yang juga terjadi di banyak negara. Tapi bukan berarti harus dimaklumi apalahi dibiarkan. “Tiga isu itu telah membuat luntur persaudaraan sesama anak bangsa. Harus kita perbaiki bersama,” ujar Sarjana Filsafat dari IKIP Sanata Dharma Yogyakarta itu.
Sebelum diajak melihat kebun berikut koleksi aneka burung dan ayam kate di halaman belakang rumah dinasnya, saya diperlihatkan dua poster besar di belakang podium tempat khotbah. Poster di sudut kiri bertuliskan, “Amalkan Pancasila: Kita Berhitmat - Bangsa Bermartabat”. Di bagian atasnya ada gambar peta Indonesia dan orang-orang bergandengan tangan.
Sejak 2016, Uskup Suharyo mengajak umat Katolik di Katedral Jakarta untuk memaham, menghayati, dan mewujudkan nilai-nilai Pancasila. Temanya tiap tahun berganti sesuai sila dalam Pancasila.
Di sudut kanan, ada poster bergambar Bunda Maria dengan wajah yang lebih Indonesia. Begitu pun dengan busananya. Di poster tersebut, Bunda Maria mengenakan setelan kebaya, selendang merah putih, di bagian dada ada lambang Garuda Pancasila, dan di bagian mahkotanya ada peta Indonesia.
Poster tersebut merupakan hasil dari sayembara bertema, “Bunda Maria Segala Suku”. “Jadi, ini khas cuma ada di Katedral Jakarta,” ujar Kardinal lulusan program Doktoral Teologi Bibilis Universitas Urbaniana, Italia itu.
Melihat saya beberapa kali terbatuk panjang sampai berkeringat, Bapak Kardinal menawari saya obat. Mereknya Toras, produksi Pharos, Jakarta. “Kalau batuk dan tenggorokan gatal saya biasa minum obat ini,” katanya menyorongkan satu strip berisi delapan tablet kecil berwarna putih.
Bapak Kardinal kelahiran Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 9 Juli 1950 itu lantas mengajak kami ke halaman belakang kediamannya. Saya memperkirakan luasnya sekitar 1000 meter. Selain ada pohon mangga yang tinggi menjulang dan sejumlah tanaman besar lainnya, juga ada pohon Cendana yang sudah berusia 6,5 tahun.
“Di tengah kota masih ada kebun meskipun kecil, bagi saya itu memberikan kesejukan,” ujarnya.
Di pojok kebun ada kandang yang menampung belasan ekor ayam kate, juga ada beberapa kandang ayam jago. Koleksi ayam-ayam itu menjadi bahan hiburan bagi para romo yang bertugas di Katedral. “Kan sebagian dari para romo itu orang kota yang jarang melihat ayam bertelur, telur menetas,” ujar Kardinal Suharyo kembali diiringi tawa kecil.
Sebelum berkeliling kebun, Kardinal terlihat asyik mengajak sejumlah burung koleksinya yang tergantung di selasar untuk berkicau. Di antara koleksinya ada Jalak Bali, Murai, Kenari, Beo, dan Cicak Rowo. “Di pohon-pohon besar itu juga menjadi tempat migrasi ribuan burung, tapi sebelum pagi menjelang mereka sudah pergi lagi,” ujarnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews