Penyebaran paham radikal di Indonesia masih masuk dalam kategori mengkhawatirkan. Salah satu sebabnya penyebaran paham tersebut mulai menyasar kalangan generasi muda, bahkan kalangan terdidik di Indonesia. Pemerintah perlu mengambil langkah tegas dengan melibatkan banyak pihak dalam upaya deradikalisasi.
Perlu kita ketahui bersama bahwa radikalisme merupakan upaya sistematis yang dilakukan individu atau kelompok untuk melakukan perubahan radikal sampai ke akar-akarnya dengan menggunakan kekerasan baik fisik maupun verbal.
Pegiat anti-radikalisme Haidar Alwi menyebutkan bahwa di Indonesia, ada 3 macam radikalisme. Pertama adalah radikalisme secara keyakinan. Radikalisme seperti ini adalah orang yang selalu menilai orang lain kafir.
Radikalisme semacam itu kerap memberikan penilaian atau penghakiman bahwa seseorang akan masuk neraka kecuali golongan/kelompoknya.
Radikalisme jenis kedua adalah secara tindakan. Dalam jenis tersebut, Haidar mencontohkan seperti kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Hasil pengamatannya adalah, JAD merupakan kelompok yang selalu menghalalkan segala cara, termasuk melakukan pembunuhan atas nama agama.
Yang ketiga adalah radikal dalam bentuk politik. Radikalisme macam ini adalah keinginan suatu kelompok yang ingin mengganti ideologi negara yang sah yakni Pancasila dengan ideologi Khilafah.
Dari ketiga jenis tersebut, Haidar mengatakan jumlah pengikut ketiganya marak di Indonesia. Bahkan, dirinya sesumbar bahwa saat ini Indonesia dalam situasi yang darurat akan paham radikal.
Tentu saja paham radikal masih menjadi ancaman yang serius bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengakui, persoalan radikalisme di Indonesia sudah mulai meningkat sejak 10 tahun terakhir.
Menurutnya, selama 10 tahun terakhir ini alarm akan adanya gerakan radikalisme di Indonesia sesungguhnya sudah berbunyi, Termasuk ketika Indonesia sedang melakukan agenda Pemilu yang kerap diiringi dengan meningkatnya intoleransi di Indonesia.
Oleh karena itu, dalam periode kedua pemerintahan Jokowi, dirinya akan memprioritaskan pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berlandaskan Pancasila. Semua itu dilakukan agar muncul penguatan Pancasila di tengah masyarakat.
Supiadin Aries Saputra menjelaskan, gerakan radikalisme sudah ada sejak lama di Indonesia, Ia mencontohkan bagaimana ketika ada pemberontakan DI TII maupun NII pada masa awal kemerdekaan.
Hal tersebut tentu menjadi bukti bahwa radikalisme dan terorisme telah menjadi ancaman nyata bagi kedamaian dan keutuhan NKRI, oleh karena itu tidak ada jalan lain, radikalisme dan terorisme haruslah diberantas hingga ke akar-akarnya.
Selain itu penindakan secara tegas juga harus diterapkan kepada mereka yang terpapar radikalisme. Hal ini dikarenakan para pengikut kelompok radikal juga terur melakukan upaya untuk menyebarkan paham dan ideologinya ke segala lapisan masyarakat.
Jika ditelisik lebih dalam, tentu ada faktor yang mendasari seseorang mudah terpapar radikalisme, mulai dari ekonomi, sosial, pemahaman agama dan lain-lain.
Oleh karena itu untuk mencegah radikalisme sampai ke akar-akarnya, pendekatan secara ekonomi, pelibatan tokoh agama, ormas maupun LSM juga diperlukan dalam upayan deradikalisasi di Indonesia.
Bukti akan eksistensi paham radikalisme masih terekam diberbagai media, seperti bom bunuh diri di Medan, sampai pada penusukan Mantan Menko Polhukam Wiranto. Hal tersebut tentu menunjukkan bahwa paham atau ideologi radikal telah masuk secara massif dan sistematis ke semua kalangan dan lapisan masyarakat.
Dengan adanya korban tersebut, menjadi bukti bahwa radikalisme telah menghilangkan sisi kemanusiaan, sehingga rasa empati dan nilai persaudaraan itu menjadi hilang. Hal itu terjadi karena penganut paham radikal telah mendapat asupan doktrin kekerasan, takfiri dan jihad yang salah arah.
Ironisnya, ada tokoh yang tetap menyudutkan pemerintah dengan membuat tuduhan bahwa aksi penusukan terhadap Wiranto tersebut adalah rekayasa.
Meski ormas yang anti terhadap Pancasila telah dibubarkan, namun ideologi mereka masih bersemayam dan tetap menginginkan untuk menegakkan khilafah, walau harus menggunakan aksi teror ataupun kekerasan.
Persebaran paham radikal di Indonesia juga terjadi di sosial media, hal ini dikarenakan banyaknya orang Indonesia yang mengakses konten dakwah di internet dibandingkan dengan ulama yang mengadakan pengajian di kampung.
Jika radikal mengajarkan kekerasan, sudah pasti ajaran tersebut tidak sesuai dengan agama Islam, karena islam memiliki arti perdamaian, dan Dakwah Islam bertujuan untuk menyebarkan kasih sayang dan kebaikan, bukan sikap saling membenci dan menyakiti.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews