Romantisme Jaket Kuning

Bila akhir-akhir ini ada anak-anak UI yang masih mau tampil di jalanan, itu perpanjangan kaki dan tangan dari kakak-kakak pembinanya yang tak lelah titip pesan untuk mendirikan negara khilafah.

Kamis, 17 Oktober 2019 | 06:46 WIB
0
618
Romantisme Jaket Kuning
Iluni UI tolak Jokowi (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Sesungguhnya kebesaran, kejujuran, kemurnian perjuangan jaket kuning itu telah lama mati. Ia berusia sangat pendek, sependek usia Gie: Soe Hok Gie. Era perjuangan menuntut Tritura, yang menandai peralihan dari era Orde Lama ke Orde Baru adalah masa-masa terbaik yang paling relevan mahasiswa turun ke jalan. Dan menurut saya, peristiwa itu sangat pantas di-dokumentasi-kan dalam karya film.

Yang menurut saya, tidak kebetulan juga memang hasilnya sangat ciamik dan pantas selalu diputar-ulangkan dari generasi ke generasi. Seolah mengajak semua orang untuk pulang kembali ke era tersebut. Era dimana ideologi, pemikiran, lagu, puisi, kecintaan pada alam, kepedulian pada lingkungan betul-betul masih punya harga yang tinggi. Era dimana Soe Hok Gie menjadi garda terdepan pemikiran. Seorang Tionghwa yang sangat nasionalis, namun sekaligus humanis dan kritis.

Salah satu quotes yang paling abadi-nya adalah "lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan". Menjadi simbol dan penanda kemurnian perjuangan pada era itu!

Kematiannya yang tragis akibat gas beracun di Puncak Semeru justru seolah-olah, mengabadikan ketokohannya. Publik terpengarah ketika kakaknya, Soe Hok Djien (yang kemudian dikenal dengan nama Arif Budiman) mempublish catatan hariannya yang saya pikir salah satu diary terpenting dan paling otentik yang pernah ada di republik ini. Catatan harian yang kemudan diterbitkan LP3ES sebagai buku saku dengan judul "Catatan Seorang Demonstran". Itulah menurut saya titik puncak kebesaran jaket kuning! Karena setelahnya hanya-lah upaya keras pengulangan romantisme itu....

Tak berselang lama dengan periode Angkatan 1966 itu, kembali anak-anak UI terlibat dalam huru-hara yang dikenal sebagai Peristiwa Malari. Kombinasi antara peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat PM Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Peristiwa yang sebenarnya justru diawali oleh kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing.

Belakangan terbukti, bahwa demonstrasi tersebut tidak benar-benar murni sebagai bentuk penolakan terhadap modal asing maupun bantuan luar negeri. Konon Ali Murtopo dan CSIS dianggap berada di belakang gerakan ini. Sial betul, dua tokoh yang notabene anak-anak UI yang diadili, Hariman Siregar dan Sjahrir kemudian justru menjadi orang-orang yang saya pikir sangat "tidak ideologis" dan memilih berkarir di ranah yang terlalu praktis.

Kebetulan saya kenal dekat dengan keduanya dan sering berbincang dalam banyak kesempatan. Dengan Bang Hariman di klinik-nya di Menteng, sedang dengan (alm) Bang Ciil di sudut ruang kantornya Yayasan Padi & Kapas di Jalan Cik Di Tiro. Tak ada tanda-tanda kebesaran namanya, saat mereka berbicara. Hanya besar secara media, tanpa literasi yang kuat.

Bagian yang paling tidak pantas dicatat dan banyak tidak diketahui publik, dari gerakan tahun 1974 adalah kekacauan gaya hidup para mahasiswa pada era itu. Gaya hidup bergaya flower generation yang sangat bebas dan liar. Tinggal berminggu-minggu di kampus tanpa pernah pulang ke rumah, terlalu banyak pesta di balik berbagai merek diskusi, kekacauan perkuliahan, dsb-nya.

Membuat cerita-cerita miring banyak beredar seperti seorang wanita anak pejabat yang hamil tanpa kejelasan siapa bapaknya, mewabahnya miras, keranijingan narkoba, dan sebagainya. Hal yang kemudian mendorong lahirnya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) pada tangan 1978 saat Daud Jusuf jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Jadi salah apa bila ada yang bilang NKK/BKK itu lahir karena mahasiswa jadi terlalu kritis terhadap pemerintah. Yang tepat NKK/BKK lahir justru, karena mahasiswa jadi tak bisa lagi membedakan mana rumah, tempat kos, sanggar kegiatan, dan ruang kuliah! Sebuah generasi yang di FISIP UI melahirkan jargon yang melankolis "Buku, Pesta, dan Cinta". Dan benang merahnya sama: kebanggaan yang berlebihan terhadap jaket kuning almamater!

Cerita selanjutnya bagi saya ya hanya seperti sequel film saja. Ketika era Reformasi 1998, anak-anak UI ketinggalan kereta dan kehilangan momentum. Saat peran kesejarahan mereka dicuri oleh anak-anak Trisakti yang relatif lebih kota dari mereka yang di terpencil di Depok.

Era yang justru melahirkan borok-borok sejarah pada figur-figur seperti Rama Pratama, Fadli Zon, atau Fahri Hamzah yang legendaris kedogolannya itu.

Dan bila akhir-akhir ini, ada anak-anak UI yang masih mau tampil di jalanan, itu adalah perpanjangan kaki dan tangan dari kakak-kakak pembinanya yang tak lelah titip pesan untuk mendirikan negara khilafah itu. Tak ada lagi semangat humanisme ala Gie di dalamnya!

Jadi kalau hari-hari ini, ada sekelompok orang yang pasang tampang di depan Monumen Proklamasi untuk menolak pengangkatan Jokowi-Maruf apa yang aneh?

Jangan lupa di dalamnya ada seorang bernama Sri Bintang Pamungkas, seorang aktivis nir-prestasi yang dari masa ke masa abadi sebagai penentang pemerintahan yang sah. Bagi saya ia adalah protoype Social Justice Warior (SJW) sesungguhnya!

Ia adalah seorang yang terobsesi pada jargon SJW yang disebut “new political correctness”. Perubahan sebaik apapun yang dilakukan oleh pemerintah yang sah adalah salah dan usang. Agenda SJW sejenis ini melulu membangun dan menjaga reputasi pribadi untuk diakui sebagai warrior. Mereka adalah lone wolf, yang hanya memiliki circle yang kecil-kecil.

Naluri warrior mereka membuat mereka tidak bisa disubordinasi, baik secara politik maupun organisasi. Jadi bisa dimengerti jika mereka tidak tertarik berorganisasi yang serius dan lebih suka mencatut masa lalunya. Termasuk nama besar almaternya secara enteng, tanpa malu, dan perasaan bersalah. Romatisme yang sangat picisan, yang sial betul justru dilakukan di masa tuanya yang kelabu...

Jaket kuning saya masih tersimpan terhormat di gantungan abadi lemari pakaian saya. Tak kan pernah lagi, ia akan keluar dari sarang terakhirnya. Ia adalah kenangan masa pendek terindah, yang saya ikhlaskan berlalu dan menetap dalam kenangan terindah saya. Apa yang dimaknai sebagi Veritas, Probitas, Iustitia: yang berarti Kejujuran, Kebenaran, Keadilan.

Jaket kuning bukan barang dagangan untuk mencari simpati publik, apalagi kalau itu dagangan politik dan agama!

Untuk denmas Joni Ariadinata, yang mengenyek ke-UI-an saya....

***