Musuh Bersama Kita

Kita sebagai rakyat jelata, ukurannya sederhana; apakah tugas utama dalam melindungi rakyat, dan bukan menjalankan hajat hidup mereka, sudah terpenuhi.

Minggu, 11 Agustus 2019 | 08:54 WIB
0
383
Musuh Bersama Kita
Ilustrasi wayang golek (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Pada jaman Orde Baru, dibangunlah musuh bersama (common enemy) bernama komunisme, PKI, liberalisme, dan yang sejenis-jenis itu. Pada jaman Bung Karno, disebutlah mereka yang kontra-revolusi harus diganyang. Sebagaimana kemudian muncul ajakan ‘Amerika kita setrika’, ‘Inggris kita linggis’, ganyang Malaysia, antek imperialisme, dan seterusnya.

Masing-masing jaman, tergantung ‘situasi-kondisi-toleransi’ (disingkat: sikontol) atau frame yang hendak dibangun. Untuk membangkitkan nasionalisme. Agar berkepribadian nasional dalam kebudayaan, Bung Karno mengajak anti musik ngak-ngik-ngok. Bahkan menjebloskan Koes Bersaudara ke bui. Soeharto pernah mengejar-ngejar rambut gondrong dan celana cut-bray via Komkamtib (Komando Keamanan dan Ketertiban) yang tentu saja dimotori tentara, wa bil khusus AD.

Bukan hanya masing-masing jaman, melainkan juga masing-masing kelompok masyarakat, ormas, komunitas. Dengan politik fundamentalis mereka, akan dipakailah politik identitas sebagai cara membangun soliditas. Cara-cara primitive ini, tentu yang paling efektif dibakukan sebagai dogma. Sesuatu yang tak boleh ditolak. Tak boleh ada adu argumentasi. Hanya setuju atau tidak. Jika tak setuju, keluar! Setuju, baiat!

Maka politikus yang memainkan politik identitas seperti Amien Rais, pernah mengatakan mereka harus membuat garis tegas. Garis demarkasi antara partai allah dan partai setan. Bukan sekedar Indonesia Hebat dan Indonesia Kerja, tapi harus lebih nampol lagi. Dari sanalah kemudian muncul fanatisme, keyakinan, dan tertutuplah dialog sebagai hasil tertutupnya rasionalitas untuk berdiskusi atau negosiasi.

Apa ‘musuh bersama’ kita hari ini? Dalam konteks kesepakatan berbangsa dan bernegara, tentu saja musuh bersama kita ialah mereka yang menolak Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 (yang oleh Mbah Mun disingkat jadi; PBNU). Dalam konteks konvensi ketatanegaraan kita, keputusan konstitusi berdasar demokrasi (Pemilu) sudah final.

Ideologi di luar itu tak boleh menggantikannya, apalagi mendominasi dan bahkan menggusur. Termasuk dalam hal ini, ideologi agamaisme, syariah (Islam), atau sekali pun ia bernama NKRI Bersyariah. Tentu saja, kecuali dengan dua hal, secara konstitusional (melalui demokrasi, Pemilu), atau kudeta, perebutan kekuasaan dengan cara perang fisik misalnya.

Apa yang disebut Amien Rais agama tak bisa dipisahkan dari politik, benar adanya. Tapi agama dalam konteks sumber nilai keadaban dan etik, yang membimbing kita berlaku adil, jujur, dan bukannya klaim bahwa dirinya benar sementara orang lain salah.

Apalagi untuk klaim dirinya diridloi tuhan. Apa ukuran dan pertanda diridloi, jika ketum partai beragama, pun menteri agama dan partai berazas agama masuk bui karena korupsi? Bagaimana cara menanya Tuhan, soal Rp 600 juta dari Sutrisno Bachir ke Amien Rais?

Ada kelompok masyarakat yang membangun logika dari ideologi agama untuk legitimasi politik. Mau bernama FPI, GNPF, FUI, PA-212, atau kemudian menyebut Ij’tima Ulama, Gerakan NKRI Bersyariah, intinya sama saja. Mereka mempunyai ukuran yang tak boleh ditawar. Yang dibawanya adalah dogma. Kebenaran mutlak. Manusia tak boleh menyanggahnya. Siapa yang menyanggah bisa dituding penyangkalan agama, penistaan agama, pelecehan atau kriminalisasi ulama. Padahal apakah mereka bukan manusia? Kalis dari khilaf dan kebohongan?

Politik agama acap dipakai sebagai topeng. Legitimasi atau claim yang tak bisa diukur manusia (kecuali menurut mereka sendiri). Yang ada kemudian mati-matian. Dan dari sanalah istilah kampret muncul, dengan kampretisme-nya, yakni aliran waton sulaya, asal beda, mau menangnya sendiri, klaim seenaknya.

Kampretisme, dalam segala bentuknya, adalah musuh kita bersama. Kampretisme, waktu itu konteksnya asal bukan Jokowi. Beberapa cirinya; Waton sulaya (asal beda), merasa benar sendiri. Penggemar dan bahkan pelaku hoax. Berhobi ujaran kebencian, suka fitnah, melakukan claim kebenaran sepihak. Suka mengkafirkan liyan, suka maki-maki lawan sebagai dungu. Hobi menyalahkan orang lain, dan menganggap dirinya paling benar paling pintar. Hilang akal dan adab. Kalau bermedsos hilang etika. Menolak hukum negara (tapi senyampang itu sebetulnya juga menghina hukum tuhan).

Ciri lainnya: Mengklaim diri paling benar di mata Allah dan merasa paling diridlai. Merasa mendapat mandat menjadi penguasa akhirat, dengan otoritas mengkapling-kapling siapa masuk sorga siapa ke neraka. Suka menuding pihak lain melakukan kecurangan tanpa bukti, dan tanpa sadar dirinya telah melakukan kecurangan.

Jangan nyebut capres mereka Prabowo, karena ada juga yang dengan ciri-ciri seperti itu milih Jokowi. Mereka inilah musuh bersama kita. Kalau kecebongisme? Besok, atau kapan-kapan, kita bahas makhluk ini.

Sebenarnya ada lagi musuh yang lain, utamanya orang-orang pintar, atau sok pintar, yang juga sama nyinyir dalam pengertian tidak proporsional. Tapi kelompok ini tidak berbahaya, karena mereka mendapatkan panggungnya sendiri, dan ada donatur-donaturnya. Kadang honornya lumayan. Kelompok ini tidak berbahaya, karena ia bisa membenarkan teori Gramsci tentang dialektika intelektual.

Kita sebagai rakyat jelata, ukurannya sederhana; Apakah tugas utama dalam melindungi rakyat, dan bukan menjalankan hajat hidup mereka, sudah terpenuhi? Government exists to protect us from each other. Where government has gone beyond its limits is in deciding to protect us from ourselves, ujar Ronald Reagan. Pemerintah ada untuk melindungi kita dari satu sama lain. Pemerintah telah melampaui batasnya adalah ketika memutuskan untuk melindungi kita dari diri kita sendiri.

“Karena tak sebagaimana setets air,” sebagaimana ujar B. R. Ambedkar, “yang kehilangan identitasnya saat bergabung dengan lautan. Manusia tidak kehilangan jati dirinya di masyarakat tempat dia tinggal. Kehidupan manusia itu independen. Ia lahir bukan untuk pengembangan masyarakat saja, melainkan untuk pengembangan dirinya.”

Namun karena kita terdiri dari berbagai-bagai, dibutuhkan kesepakatan bersama, bernama social religion, hukum dan perundang-undangan, yang setara, ditegakkan bersama. Bukan hanya klaim-klaim sepihak.

***