Bambang Soesatyo dan Jejak Harmoko di Golkar

Ketika hadirin menyanyikan Indonesia Raya, Harmoko yang kelahiran Nganjuk, 7 Februari 1939 itu seperti tak bereaksi. Mungkin beliau bernyanyi di dalam hati.

Sabtu, 6 Juli 2019 | 12:28 WIB
0
676
Bambang Soesatyo dan Jejak Harmoko di Golkar
Bambang Soesatyo saya wawancarai (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Bambang Soesatyo (Bamsoet) memuji langkah Airlangga Hartarto menemui Presiden Jokowi bersama para pengurus Partai Golkar. Hal itu, kata dia, sudah sepatutnya dilakukan karena pengurus daerah ikut berjuang langsung memenangkan Jokowi sebagai Presiden.

Padahal ada yang menilai langkah Airlangga Senin (1/7/2019) di Bogor itu sebagai manuver untuk meraih dukungan Istana agar bisa terus memimpin Golkar hingga 2024. Andai Golkar tetap di bawah Airlangga, keajegan dukungan terhadap pemerintahan Jokowi akan lebih terjamin.

Rupanya Bamsoet tak mau kalah. Dia pun menjamin dukungan terhadap Jokowi tak akan memudar di tengah jalan. Sebab hal itu merupakan aspirasi para pengurus daerah yang disampaikan kepadanya.

“Kalau ada ketua umum terpilih deny (mengingkari) dukungan ke Jokowi, akan kita sikat di tengah jalan,” ujarnya.

Sarjana Ekonomi dari Sekolah Tinggi Ekonomi Indonesia itu mengawali karir sebagai wartawan di Prioritas pada 1985. Pada 2004 Bamsoet menjadi Pemimpin Redaksi Suara Karya. Selain itu, dia juga merintis beberapa usaha. Pada 1999, Bamsoet menjadi Komisaris PT Suara Irama Indah Direktur PT SIMA, tbk (2006), dan Direktur Kodeco Timber (2007), dan usaha lainnya.

Bamsoet bergabung dengan Golkar sejak 1995. Dia merintisnya dengan menjadi anggota Generasi Muda Kosgoro Pusat. Juga aktif di Angkatan Muda Partai Golkar dan Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro).

Pada 2000-2005, lelaki kelahiran Jakarta 10 September 1962 itu ditunjuk menjadi Ketua Biro Majelis Dakwah Islamiyah (MDI). Maklum, saat mahasiswa dia aktif di HMI. Pada 2009 dia masuk ke Senayan, setelah gagal pada pemilu 2004.

Selama di DPR, namanya mulai dikenal saat lantang menyoroti kasus korupsi Bank Century. Bamsoet menggalang tim sembilan, dan menggulirkan Pansus Hak Angket.

Tak hanya Century, anggota Komisi III itu menyoroti kasus korupsi di PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) tentang pengadaan crane. Pada 15 Januari 2018 dia dilantik menjadi ketua DPR menggantikan Setya Novanto.

“Ini puncak karir politik saya, selanjutnya saya mau lebih menikmati hidup bersama keluarga,” kata suami dari Lenny Sri Mulyani dalam Blak-blakan yang ditayangkan detik.com, Jumat (5/7/2019).

Tapi dalam beberapa hari terakhir sejumlah pengurus daerah datang dan memintanya untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum Partai Golkar. Dukungan juga diisyaratkan datang dari Ketua Dewan Pembina Aburizal Bakrie dan sesepuh Golkar Akbar Tandjung.

“Pada waktunya saya akan mendeklarasikan diri setelah sowan ke Bro Airlangga Hartarto,” ujarnya.

Seorang koleganya di Golkar cuma tertawa kecil saat ditanya soal manuver Bamsoet tersebut. Dia tak menepis kemungkinan manuver yang dimainkan sebetulnya untuk menjaga posisi tawar di jabatan berikutnya.

“Dia kayaknya gak ngincer di kabinet, kalau Ketua MPR saya kira gak akan menolak,” ujar kolega Bamsoet yang menolak ditulis jati dirinya tersebut.

Soal kiprah Bamsoet di Golkar dan latar belakangnya yang pernah jadi wartawan, dia lantas membandingkannya dengan sosok Harmoko. “Gak persis, tapi kalau dia jadi ketum Golkar ya mirip Harmoko lah,” ujarnya.

Hingga batas tertentu dia benar, meski rekam jejak Harmoko tentu saja lebih mumpuni. Sebagai wartawan, Harmoko tak cuma dikenal sebagai pendiri Pos Kota yang legendaris hingga sekarang, juga pernah memimpin PWI Pusat. Sejak memimpin satu-satunya organisasi wartawan di era Orde Baru itulah pada 1983 dia didapuk Soeharto menjadi Menteri Penerangan selama tiga periode.

Pada 1993, Soeharto juga mempercayai Harmoko memimpin Golkar. Dia tokoh sipil pertama yang menakhodai partai berlambang pohon beringin itu. Enam ketua umum sebelumnya, Suprapto Sukowati, Amir Moetono, Sudharmono, dan Wahono berlatar tentara.

Lewat program Temu Kader ke berbagai daerah Nusantara, Harmoko membuktikan bahwa dirinya tak kalah dengan para jenderal. Buktinya pada Pemilu 1997 Golkar mendapat 74,51 persen suara. Meningkat sekitar 6 persen dari Pemilu 1992, sebesar 68,10 persen. Itu rekor prestasi yang hingga kini belum terpecahkan.

Tak heran bila dengan prestasi itu dia berambisi menjadi pendamping Soeharto berikutnya. Cuma ABRI (TNI) yang sejak awal kurang happy dia memimpin Golkar membaca gelagat tersebut. Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung memainkan peran kunci guna menutup manuver Harmoko.

Sebagai anggota “Tim Enam”, bersama Akbar Tandjung, Harmoko, Ginanandjar Kartasasmita, Haryanto Dhanutirto, dan BJ Habibie, dia memasukkan kriteria “Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman internasional,“ untuk menjaring calon wakil presiden.

Usulan itu disampaikan dalam forum rapat tiga jalur Golkar yang diikuti Harmoko dan Ary Mardjono (Ketua dan Sekjen Golkar), Yogie SM dan Sutoyo NK (Menteri Dalam Negeri dan Dirjen Sospol mewakili unsur birokrasi), Letjen Yunus Yosfiah dan Mayjen Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Kassospol dan Assospol Kassospol ABRI.

Forum memperdebatkan dengan sengit usulan kriteria tersebut. Harmoko dan Ary berkukuh, dukungan rakyatlah yang menjadi salah satu kriteria kunci.

Usai rapat, Feisal meminta kepada Yunus dan Bambang, untuk tetap memasukkan dua kriteria usulannya tadi. “Saya yang akan mempertanggungjawabkan masukan itu kepada Pak Harto,“ kata Feisal meyakinkan kedua stafnya tersebut seperti ditulis Solemanto dan ‎Aziz Ahmadi dalam “Feisal Tanjung, Terbaik untuk Rakyat Terbaik bagi ABRI”, terbitan Dharmapena, 1999.

Tak cuma itu. Feisal mengkonfirmasi langsung kepada Soeharto tentang figur yang benar-benar diinginkannya. “Habibie,“ jawab Soeharto. Feisal pun menyampaikan hal itu kepada Harmoko dengan hati-hati. “Pak Harmoko, saya sudah diberi tahu Pak Harto, bahwa yang akan menjadi wakil presiden, bukan bapak,“ ujarnya. “Kalau Bapak maju, saya tidak dapat mengamankan,“ tambahnya.

“Tapi kepada saya, beliau tidak bilang apa-apa,“ Harmoko menukas. 
“Menurut beliau, Bapak di DPR/MPR,“ balas Feisal. 
“Kelihatannya saya masih diberi kesempatan,“ timpal Harmoko. 
“Kalau Bapak tidak percaya, silahkan saja menghadap beliau,“ pungkas Feisal.

Endingnya kita semua tahu. Habibie dilantik sebagai Wapres mendampingi Soeharto, 11 Maret 1998. Tapi tak sampai tiga bulan kemudian, sebagai Ketua DPR/MPR Harmoko yang sebelumnya mengelu-elukan Soeharto untuk tetap menjadi Presiden, memintanya mundur. Pada 21 Mei 1998, Soeharto pun lengser.

Terakhir saya melihat Harmoko dalam acara peluncuran otobiografi mantan Menpora Abdul Ghafur di Balai Kartini, 10 Januari 2019,  "Abdul Gafur Zamrud Halmahera". Dia terlihat sudah tak berdaya di atas kursi roda di antara undangan lainnya seperti Prof Emil Salim, Prof JB Sumarlin, Cosmas Batubara, dan Akbar Tanjung.

Ketika hadirin menyanyikan Indonesia Raya, lelaki kelahiran Nganjuk, 7 Februari 1939 itu seperti tak bereaksi. Mungkin beliau bernyanyi di dalam hati.

***