SJW atau MJW, Media Justice Warrior?

Dalam UU Kesehatan pun ada larangan bagi setiap orang untuk menggugurkan kandungan, dengan pengecualian, yaitu pada Pasal 75 tadi.

Senin, 23 September 2019 | 21:31 WIB
0
376
SJW atau MJW, Media Justice Warrior?
Ilustrasi aborsi (Foto: Tempo.co)

Dari semua ontran-ontran netijen maha benar di sosmed mengenai Revisi UU KPK, RUU KUHP dan revisi atau RUU lainnya, saya bisa mengambil kesimpulan, bahwa sebenarnya yang sedang terjadi adalah para netijen yang meributkan pemberitaan media online (lebih spesifik lagi meributkan "judul berita" media online) alias meributkan opini jurnalis atas berbagai pasal kontroversial tersebut, bukan meributkan isi dari RUU itu sendiri  (tanpa tergiring oleh opini media atau pihak manapun).

Bagaimana tidak, isi dari RUU nya sendiri saja belum tentu pernah membaca, redaksional pasal-pasalnya belum tentu tahu, apalagi hingga memahami redaksi beserta latar belakangnya.

Sebagaimana kita pahami, sifat media adalah komersil, dalam pemilihan judul mereka akan memilih kalimat-kalimat yang akan memancing rasa ingin tahu pemirsa atau kalimat-kalimat bombastis atau kontroversial, sehingga mendorong pemirsa untuk mengklik link media tsb.

Atau bahkan tidak mengklik sama sekali, cukup SS judulnya, sudah bisa menjadi bahan membuat opini di akun sosmed masing-masing .

Jadi opini kuadrat, membuat opini atas opini (jurnalis).

Dalam pemberitaan, media juga umumnya hanya menyampaikan "half truth" (setengah kebenaran). Bukan berarti menyampaikan kebohongan/hoax, namun tidak menyampaikan informasi secara keseluruhan/lengkap, sehingga tetap berpotensi menyesatkan para pemirsa, apalagi ketika mereka hanya mengandalkan informasi dari satu sumber saja.

Demikianlah yang terjadi pada MJW, Media Justice Warrior.

Mereka mengira sedang berlaku heroik, menentang pasal-pasal hukum yang berpotensi mendzolimi rakyat, padahal aselinya cuma sedang meributi opini/tafsir/berita para jurnalis yang bersifat "half truth".

Saya beri satu contoh saja, untuk menunjukkan betapa lucu dan sesatnya sebenarnya perilaku para mendadak "ahli hukum" di media sosial ini...

Tentang #ABORSI

Pasal 470 Ayat (1) RKUHP
"Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun."

Yang diributkan oleh netijen, bahkan termasuk oleh para psikolog, aktivis perempuan, dlsb adalah mengenai para korban pemerkosaan yang akan ikut terkena pasal ini jika menggugurkan kandungan hasil pemerkosaan.

Oh tidak demikian, Bambang dan Juminten...

Jadi gini ya...

Pertama, dalam KUHP warisan kolonial, yang sedang dan masih berlaku sekarang, pasal pidana terhadap perempuan yang menggugurkan atau menyuruh orang lain menggugurkan kandungan itu sudah ada. Bahkan ancaman pidana kurungannya lebih berat, yaitu 12 tahun. Di RKUHP justru lebih ringan, yaitu 5 tahun.

Pasal 347 Ayat (1) KUHP; "Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun."

Jadi, jika ada yang meributkan tentang pidana aborsi sekarang, kalian ketahuan korban opini media, broo..

Tidak paham tentang hukum, tidak hapal berbagai macam isi UU, dst.. tapi asal membeo saja apa yang diberitakan media, entah itu "half truth", opini sesat, dlsb..

"Sesungguhnya kalian tidak tahu apa yang kalian protesi..." bahasa kitab suci nya gitu kali ya.. 

Kedua, terkait aborsi untuk korban perkosaan (dan kandungan yang bermasalah medis), sudah diatur dalam UU tersendiri, yaitu pada UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 75 ayat (2), silakan dibaca terlampir.

Dalam UU Kesehatan pun ada larangan bagi setiap orang untuk menggugurkan kandungan, dengan pengecualian, yaitu pada Pasal 75 tadi.

Dalam aturan hukum berlaku prinsip lex specialis dan lex generalis. Jika ada aturan hukum yang lebih bersifat spesialis pada bidangnya (seperti UU Kesehatan, UU Tipikor, dlsb), maka yang akan digunakan adalah yang lex specialis yaitu UU Kesehatan, bukan KUHP.

Jadi klir ya, sebetulnya tidak ada kontroversi pada pasal tentang ABORSI di RKUHP ini.
Korban pemerkosaan yang ingin menggugurkan kandungan, bukan termasuk yang ingin disasar Pasal 470 ayat (1) RKUHP.

Demikian juga pada pasal-pasal lainnya. Sebetulnya. Jika netijen maha benar tidak terjebak hanya sebagai pembaca judul saja.

***