Awas KPU, “Puzzle” Bola Panas Terus Bergulir!

Dugaan kecurangan seharusnya dimaknai oleh KPU sebagai peringatan. Ada kekuatan besar yang memang akan terus mendesak mereka untuk berlaku fair.

Sabtu, 4 Mei 2019 | 23:48 WIB
0
561
Awas KPU, “Puzzle” Bola Panas Terus Bergulir!
Ketua KPU Arief Budiman berbincang dengan Menko Polhukam Wiranto. (Foto: Istimewa).

Gelaran Pileg dan Pilpres 2019 (baca: Pilpres 2019) termasuk “paling brutal” dalam sejarah pemilu selama ini. Betapa tidak. Pilpres 2019 ini telah menyisakan duka lara bagi keluarga KPPS yang meninggal di 30 provinsi di seluruh Indonesia.

Sekretaris Jenderal KPU Arif Rahman Hakim menuturkan, hingga pukul 20.00 WIB total sebanyak 412 orang petugas dikabarkan meninggal dunia dan 3.658 orang dikabarkan sakit. Adapun, kata Arif, jumlah tersebut tersebar di 30 provinsi.

Sayangnya tidak ada upaya medis untuk mencari tahu penyebab tewasnya ratusan petugas tersebut. Mereka langsung dimakamkan di tempat tinggalnya. Keluarganya secara simbolis sudah diberi “uang duka” oleh Ketua KPU Arief Budiman.

Data yang dirilis awal awal Mei 2019 tersebut jelas telah membuat kita semua prihatin dan miris. Pilpres 2019 ini pun telah menimbulkan polemik. Bola panas itu terus membakar liar. Tidak hanya mengungkap petugas KPPS yang wafat dan sakit.

Namun, juga melahirkan beragam catatan penting lain yang menyuguhkan aroma misterius, yang perlu dicermati dan didalami maknanya. Beberapa catatan penting terkait pelaksanaan Pilpres  2019 ini antara lain:

Pertama, Quick Count (QC) yang mendadak senyap setelah digempur pegiat medsos dan pengamat; Kedua, Petahana yang tak kunjung menyatakan menang; Ketiga, Upaya petahana mengutus kurir untuk menemui Prabowo.

Keempat, Kecurangan demi kecurangan yang terekam dan ter-publish; Dan, Kelima, KPU yang tidak pede. Ingat, Presiden Joko Widodo yang juga capres petahana mengundang Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Komandan Kogasma Partai Demokrat.

Putra sulung Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, bertemu Jokowi di Istana Merdeka. Tampaknya, Jokowi mencoba “merangkul” Demokrat lewat AHY. Namun, tampaknya, upaya tersebut gagal.   

Nyaris bersamaan pula, beberapa tokoh yang tergabung dalam Suluh Kebangsaan pimpinan Mahfud MD menemui SBY di Singapura. “Setelah gagal melobi AHY, petahana mencoba kirim utusan ke SBY. Tapi, ternyata gagal juga,” ungkap sumber PepNews.com.

Menarik melihat satu demi satu terbukanya berbagai tindak pelanggaran kecurangan sebagai rangkaian puzzle yang hanya dengan kecermatan ekstra tinggi bisa disusun sebagai kesatuan operasi sistemik yang sayangnya dilakukan dengan brutal.

Juga, tidak terukur dan menganggap remeh masyarakat. Adakah “kekuatan” yang memang dengan sengaja menciptakan terbongkarnya satu persatu pelanggaran kecurangan tersebut?

Berhentilah menganggap bahwa semua ini terjadi “secara kebetulan” pelanggaran kecurangan terbongkar. Sebab dalam politik, tak pernah ada peristiwa yang kebetulan. Segalanya didesain sebagai satu kesatuan frame yang utuh tidak terpisah.

Satu-satunya hal yang tidak dihitung oleh manuver QC yang tadinya akan digunakan untuk memukul relawan 02 di basis-basis terkecil di TPS, seperti yang dilakukan pada 2014 saat aplikasi massal seperti Whatsapp yang permudah kirim foto dalam hitungan detik, belum populer.

Namun, pada 2019 ini, semua skenario yang menodai sistem demokrasi Indonesia itu sudah terpatahkan sejak pukul 13.00 WIB karena foto Form C1 sudah bertebaran di medsos dan sampai ke tim pemenangan masing-masing paslon peserta Pilpres 2019.

Karena itu saat QC rilis pukul 15.00, ternyata secara informasi nilainya menjadi kadaluwarsa. Tidak hanya itu, QC pun dengan amat mudah dilakukan kontra terhadapnya. Pasalnya jutaan relawan telah berbagi C1 lewat WA sejak pukul 13.00.

Dengan semua fakta tersebut, secara politik perilaku mengulang keberhasilan dalam Pilpres 2014 lalu itu merupakan tindakan ceroboh dan tidak terukur. Sebuah bukti, sungguh bukan didesain seseorang yang mau berpikir cermat.

Berikutnya, ialah ketika petahana urung mengklaim telah menang, seperti yang dilakukannya 5 tahun lalu. Penundaan tersebut memperlihatkan, ada yang mengintersepsi rencana klaim kemenangan itu. Ada kondisi tidak terprediksi sebelumnya.

Perlu diingat oleh semua masyarakat dari pendukung paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin atau pendukung paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno, dalam politik itu dibutuhkan keberanian untuk melakukan sebuah klaim politik berdasar data akurat yang dimiliki.

Dengan klaim tersebut secara tersirat mencerminkan kubu mereka memiliki data kemenangan yang lebih akurat dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Namun, momentum ini tak berani dilakukan petahana, karena tercengkeram rasa ragu, tidak yakin, dan was-was.

Situasi pun menjadi terbalik-balik. Petahana yang dimenangkan QC tak kunjung menyatakan menang, sementara paslon 02 justru lebih dulu menyatakan menang (dasarnya form C1 yang telah dikumpulkan secara berjenjang dan maraton).

Dengan tertukarnya perilaku tersebut menggiring kepada situasi deadlock. QC kehilangan kepercayaan, sehingga berjalan terus tanpa satupun pihak yang peduli, apalagi percaya QC. Dalam situasi nyaris deadlock tiba-tiba digiring kepada tuntutan terhadap KPU, untuk segera menyelesaikan rekapitulasi suara berbasis C1.

Kesaktian Dalang

Dari beberapa fakta politik yang terjadi pasca Pilpres 2019 tersebut, pernahkah masyarakat berpikir, “Siapa pihak yang menggiring publik ke sana, sehingga kedua pihak ikut terlarut dalam proses suara genderang politik Ki Dalang?”

Paralel dengan tuntutan terhadap KPU untuk segera menyelesaikan hitungan form C1, yang secara sporadis praktik kecurangan dimunculkan di mana-mana dalam bentuk foto ataupun video.

Yang mengejutkan, seiring dengan ledakan tayangan beragam kecurangan itu di halaman medsos, ternyata secara tiba-tiba petahana menyatakan akan mngirim utusan untuk bertemu capres @Prabowo.

Buat masyarakat awam, sikap petahana yang merencanakan mengirim utusan ke Prabowo itu diyakini, sebagai simbolik dari kemenangan. Ingin merangkul lawan sebagai kawan. Namun, tidak demikian dalam pandangan pengamat politik. Demikian pula para pengamat intelijen.

Mengapa demikian? Dalam sejarah penyelenggaraan Pilpres, Pilgub, maupun Pilkada tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia dan dunia, perilaku sowan biasanya dilakukan oleh kubu yang kalah kepada pemenang. Datang untuk mengucapkan selamat atas kemenangan yang direbut itu.

Selain itu, hal ini untuk menegaskan sikap mendukung kebijakan pemerintah yang pro rakyat. Karena itu, ketika petahana secara tiba-tiba menyatakan akan mengirimkan utusan menemui Prabowo, maka peta politik nasional kian goyang.

Beragam asumsi, prediksi, analisa politik pun bertebaran. Ini terjadi lebih karena keputusan yang dilakukan petahana tersebut sangat paradoks, tidak simetris, dan tidak lumrah.

Analisa pengamat yang menilai, pengiriman utusan Jokowi pada Prabowo itu merupakan cermin pengakuan diri dalam posisi kalah, secara tiba-tiba dibantah kubu petahana jika rencana itu untuk mendinginkan suhu politik pasca Pilpres 2019.

Argumentasi politik itu justru kian merangsang kecurigaan pengamat. Bagaimana tidak, pasca Pilpres itu yang memanas bukan antara kubu petahana dan kubu penantang.

Kondisi peta politik nasional tersebut bersumber dari kubu paslon 02 dengan KPU. Atmosfer panas itu muncul akibat perilaku staf KPU yang sering salah input data. Data yang tayang di situs KPU ratusan kali menguntungkan paslon 01.

Sebaliknya, sangat merugikan paslon 02. Karena itu, secara faktual tidak ada kepentingan dengan pihak petahana, sehingga untuk apa pertemuan kedua kubu diinisiasi?

Kecurangan demi kecurangan yang tersebar masif, seharusnya dimaknai oleh KPU sebagai alert, peringatan. Ada kekuatan besar yang memang akan terus mendesak mereka, untuk berlaku fair.

Semakin mereka melambat, semakin banyak fakta kecurangan terungkap dan tersebar. Jika KPU tak segera menyadarinya, maka mereka sendiri akan tergulung ombak kebenaran yang mengungkap dan menyebarkan ketidakmampuan KPU dalam mengemban amanah rakyat.

Terakhir, adalah hilangnya kepercayaan diri KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum. Nasib KPU pun tidak beda dengan pesakitan kriminal, yang menjadi pusat kritikan dan tudingan negatif.

Semakin mereka membiarkan kecurangan berlangsung terus-menerus, maka semakin kuat gelombang keadilan yang dipastikan menenggelamkan personil KPU sebagai penoda sistem demokrasi di Indonesia.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa tidak pernah ada kebetulan dalam politik, maka munculnya “si tameng hidup” itu dan rentetan indikasi kader ormas Islam besar tersangkut  kasus-kasus korupsi merupakan kepingan puzzle yang layak dicermati.

Jangan dipikir bahwa memanipulasi suara rakyat itu bukan pelanggaran HAM. Persoalan itu belum lagi masalah pemaksaan memilih calon tertentu, intimidasi dan lain-lain.

Sebagai warga negara yang masih peduli dengan NKRI, tidak ada salahnya jika kita semua mengingatkan KPU, hati-hati dengan perilaku Anda yang dirasakan tidak adil oleh rakyat!

***