Di Venezuela, kubu oposisi sudah menyadari sejak awal kekalahan mereka dalam lomba meraih dukungan rakyat.
Januari 2019 lalu, Sekjend Partai Rakyat Demokratik (PRD) menulis laporan kunjungannya ke Venezuela untuk menghadiri acara pelantikan Presiden terpilih Nicolas Maduro. Dominggus, mewakili PRD, adalah salah satu dari 100an delegasi non-diplomatik dari 94 negara yang diundang untuk menghadiri upacara pelantikan itu. Selain organisasi politik, hadir pula perwakilan resmi 43 negara dan 16 organisasi dunia. Laporan itu dimuat Berdikarionline.com dengan judul "Laporan Dari Venezuela: Krisis, Intervensi Asing Dan Tantangan Revolusi Bolivarian."
Salah satu hal menarik dalam laporan tersebut adalah taktik kubu oposisi untuk memboikot pemilu dan merangkul sokongan sejumlah negara imperialis untuk tidak mengakui hasil pemilu yang dimenangkan Maduro dengan 68 persen suara. Menarik karena cara oposisi Venezuela berupaya merebut kembali kekuasaan memiliki sejumlah kemiripan dengan saudara sekelas sosial mereka di Indonesia.
Oposisi di Venezuela dan Indonesia memiliki latar belakang kelas yang sama. Mereka adalah borjuasi masa lampau, para mantan penguasa kekayaan alam (terutama minyak) dan sumber daya agraria. Naiknya pemimpin revolusioner Hugo Chavez ke tampuk kekuasaan yang diikuti dengan program-program kerakyatan telah melucuti sumber-sumber kemakmuran para tuan-tuan kapitalis Venezuela.
Tidak heran jika semenjak Hugo Chavez hingga Nicolas Maduro pascakematian Chavez, kubu oposisi melakukan segala cara yang mungkin untuk merebut kembali kekuasaan, banyak di antaranya inkonstitusional.
Di Indonesia pun demikian. Oposisi yang sedang berjuang untuk kembali berkuasa berasal dari kalangan elit bisnis masa lampau, kelompok yang mengakumulasi kekayaan oleh aksesnya terhadap kekuasaan Soeharto. Mereka adalah kerabat dekat, lingkaran inti kekuasaan diktator besar Asia Tenggara itu.
Cara dua saudara sekelas sosial beda benua ini pun memiliki sejumlah kesamaan. Bedanya di Indonesia, oposisi tidak berusaha memboikot pemilu melainkan menjadi peserta.
Di Venezuela, kubu oposisi sudah menyadari sejak awal kekalahan mereka dalam lomba meraih dukungan rakyat. Karena itu sejak awal mereka telah menolak pemilu sebagai jalan paling adil untuk menyelesaikan krisis politik antara dua kekuatan sosial di sana.
Di Indonesia, kubu oposisinya masih mencoba keberuntungan melalui pemilu, meski diduga terdapat sempalan kekuatan yang telah mempersiapkan skenario mendelegitimasi hasil pemilu jika ternyata harapan mereka berkuasa lewat jalan konstitusional pada 17 April ini kandas.
Tanda-tanda adanya skenario ini adalah upaya sistematis mengembangkan narasi pilpres akan dicurangi.
Bermula jauh hari semenjak masa pendaftaran capres-cawapres, sejumlah kabar bohong dan fitnah terus diciptakan dan disebarluaskan sebagai investasi yang membangun dan memperkuat narasi. Dimulai misalnya dengan rekayasa hoaks 7 kontainer surat suara tercoblos dan server KPU diretas; penggiringan polemik DPT, kotak suara berbahan kardus, dan peristiwa KTP kadaluarsa tercecer ke penyimpulan upaya pencurangan pemilu; hingga yang terakhir---yang juga diduga sebagai upaya merekayasa---pencoblosan beberapa lembar surat suara di Malaysia.
Baca juga: Narasi Kecurangan Pilpres dan Penyesatan Logika Kekuasaan
Baik oposisi di Venezuela dan sejumlah pihak di Indonesia sama-sama berupaya melibatkan intervensi asing, terutama negara imperialis Amerika Serikat dalam pemilu dan pilpres. Di Venezuela, kubu oposisi telah mendapatkan sokongan itu sudah sejak lama melalui kudeta yang gagal terhadap Presiden Hugo Chavez. Kini di masa pemerintahan Nicolas Maduro, Amerika Serikat kembali menyokong kubu oposisi Venezuela dengan jalan mengakui deklarasi sepihak pemimpin oposisi Juan Guaido sebagai Presiden Masa Transisi. Tentu saja upaya Amerika Serikat yang terus berlangsung dan kian gencar adalah embargo ekonomi terhadap Venezuela.
Di Indonesia, upaya sejumlah pihak menyeret campur tangan asing adalah dengan mendramatisir persoalan, bahkan memproduksi hoaks demi kesan pemilu akan dicurangi. Dengan modal drama dan hoaks, mereka memobilisasi buzzer di media sosial, menjadikan hashtag #INAelectionObserverSOS trending global.
Tak perlu terkejut oleh kemunafikan kelompok ini. Tak perlu heran jika mereka yang paling getol mengklaim anti-asing, mereka pula yang paling dalam membungkuk mengiba di hadapan asing, memohon campur tangan negara-negara imperialis dalam hajatan politik Indonesia; menggadaikan kedaulatan politik negeri ini.
Apa yang mereka lakukan sekadar pengulangan sejarah. Orang tua mereka, para senior dan patron mereka melakukannya di masa lampau. Mereka inilah pewaris sah, biologis dan ideologis, dari kelompok yang sukaria disebut America Serikat sebagai "our local army friends" ketika menggulingkan Soekarno; dari kelompok yang ketika menggelorakan pemberontakan PRRI/Permesta mendapat sokongan pilot pembom dari Amerika Serikat.
Apa yang bisa Rakyat lakukan?
Masa depan bangsa ini sedang dalam persimpangan pada 17 April nanti. Bukan karena belum pasti siapa pemenang pilpres, melainkan karena bisa saja kelompok-kelompok tertentu sukses menipu rakyat dengan rekayasa narasi pilpres curang. Para pengembang narasi pilpres curang berharap rakyat tertipu dan tergiring menuju huru-hara, kekacauan sosial. Orang-orang ini sangat mungkin telah mempersiapkan langkah-langkah "merampok rumah yang terbakar," merebut kekuasaan lewat jalan inkonstitusional.
Rakyat bisa mencegah itu dengan terlibat mengawal jalannya pemilu dan pilpres. Bukan saja memberi suara, tetapi juga pasang mata. Dengan jalan begitu, rakyat menyaksikan sendiri jalannya pilpres dan tidak mudah tertipu rangkaian mata rantai hoaks narasi pilpres curang yang akan gencar ditiupkan para petualang politik sejak 17 April nanti.
//Kunjungi channel Youtube kami: KEDAI POLITIK INDONESIA//
***
Sumber:
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews