Menarik sekali mengikuti reaksi-reaksi yang muncul setelah hasil survei Litbang Kompas soal Elektabilitas Capres dan Cawapres dipublikasikan Rabu (20/3/2019) lalu. Terlihat, betapa tingginya tingkat sensitivitas publik politik Indonesia pada bulan terakhir menjelang hari coblosan Pemilu dan Pilpres 2019 yang bakal digelar 17 April ini.
“Saya melihat kalau petahana itu sudah di bawah 50 persen, kalau menurut statistik itu dimana-mana artinya kalah...,” kata Fadli Zon di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, (Kompas.com, Rabu 30/3/2019). Menurut Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Fadli Zon, berdasarkan survei internal, elektabilitas pasangan Prabowo-Sandi saat ini bahkan sudah melampaui Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Waktu tersisa tinggal sebulan kurang, kata Fadli Zon, petahana tak memiliki peluang jika elektabilitasnya di bawah 50 persen.
Lebih gempar reaksi sebelumnya, dari pengamat politik Denny JA yang menuding “Apakah Kompas Bermain Politik?” Seraya menuding, perubahan internal Redaksi Kompas, Ninuk Mardiana Pambudi yang baru genap empat bulan menjadi Pemimpin Redaksi yang baru (menggantikan Budiman Tanuredjo) sejak 20 November 2018 merupakan salah satu bumbu politik yang menyebabkan suguhan hasil survei Litbang Kompas dia ragukan kesahihannya. (Denny JA’s World, 20 Maret 2019).
Denny JA yang dikenal dengan lembaga surveinya, LSI, bahkan menggugat kredibilitas dan juga metodologi survei Litbang Kompas yang selama ini dipercaya. Di antara lembaga-lembaga survei yang mengunggulkan Jokowi, memang baru Kompas yang menyebutkan elektabilitas Joko Widodo-Ma’ruf Amin di bawah 50 persen.
Jokowi digambarkan di hasil survei Litbang Kompas menurun dari 52.6 persen (Oktober 2018) ke 49.2 persen (Maret 2019). Sedangkan Prabowo justru dinyatakan menaik dari 32.7 persen (Oktober 2018) menuju 37.4 persen (Maret 2019). Dan jarak selisih elektabilitas antara Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo Sandi menipis hanya 11.8 persen dari semula 19.9 persen bulan Oktober 2018. Padahal, dari sajian simulasi yang disebut Kompas sebagai Ekstrapolasi Elektabilitas, artinya jika pemilih yang belum menentukan suaranya dihitung sebanyak 13.4 persen terbagi proporsional, maka Jokowi toh masih unggul 56.8 persen versus 43.2 persen. Kubu Jokowi sudah dibuat dagdigdug. Sementara justru kubu Prabowo bersorak girang.
Toh hasil survei Litbang Kompas masih dipersoalkan Denny, meskipun jika Pilpres digelar di hari survei, sebenarnya Kompas mengabarkan kemenangan Jokowi di 2019 mencapai dobel digit, sebanyak 13.6 persen, lebih besar dari kemenangan Jokowi di Pilpres 2014 yang hanya sekitar 7 persen, mono digit.
Bumbu politik bahwa Pemred Kompas Ninuk Pambudi yang suaminya, Rahmat Pambudi – pernah jadi Sekjen HKTI di bawah Prabowo, dan pada tahun 2011 pernah diajukan Prabowo/Gerindra untuk menjadi Menteri Pertanian di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – menurut Denny JA mengungkapkan pesan bahwa Ninuk tidak netral.
Denny juga menyodorkan bumbu politik lain, di antaranya diedarkannya foto Ninuk sedang berjalan dengan Prabowo, disertakan pula keluhan internal dari senior wartawan Kompas soal kekhawatiran positioning Kompas dalam Pilpres 2019 kali ini, membuat hasil survei Litbang Kompas ia pertanyakan obyektivitasnya.
Denny juga mengomentari sisi metodologi serta cara Litbang Kompas menarik kesimpulan, di antaranya sangat sedikitnya keterangan metodologis soal kesalahan di luar pemilihan sampel yang mungkin terjadi.
“Tak ada keterangan dalam metodologi misalnya, apakah survei menggunakan simulasi kertas suara atau tidak? Pemilih yang ditanya akan memilih siapa secara oral oleh peneliti, selalu mungkin memberi jawaban berbeda jika ia diminta melihat kertas suara yang ada foto pasangan Jokowi dan foto pasangan Prabowo,” ungkap Denny JA dalam tulisannya. Dengan simulasi terbatas, menyodorkan pertanyaan dalam survei menyertakan foto (dilakukan oleh LSI Denny JA sejak Februari 2019), ternyata Jokowi kata Denny lebih diuntungkan. Dan sejumlah metodologi survei Litbang Kompas lainnya, dipersoalkan Denny.
Nah, sekarang kita cermati -- apa ruginya jika Capres petahana diungkapkan elektabilitasnya di bawah 50 persen dalam hasil survei, menurun dari Oktober silam yang di atas 50 persen, dan hasil survei Prabowo-Sandi menunjukkan kecenderungan naik?
Justru semestinya dibaca sebagai menguntungkan pihak Jokowi, agar tidak terlena dengan buaian kemenangan yang sesungguhnya semuanya masih seolah-olah. Militansi pendukung Prabowo-Sandi harus diakui, memang lebih tinggi terlepas dari apakah sebenarnya mereka lebih pantas jadi pemimpin Republik ini atau tidak. Justru militansi pendukung Jokowi cenderung kendor, dan lebih banyak disibukkan pada aktivitas menangkis serangan-serangan gencar kubu Prabowo.
Juga harus dipertimbangkan, bahwa survei Litbang Kompas dilakukan antara 22 Februari hingga 5 Maret, ketika keraguan akan kemampuan terhadap Cawapres Ma’ruf Amin masih tinggi. Sebelum digelarnya debat Cawapres pada 17 Maret 2019 – pertama kalinya dalam Pilpres ada gelaran Debat Cawapres – boleh dikata banyak orang meragukan kemampuan debat Ma’ruf Amin. Bahkan sejak menjadi Cawapres pun kemampuannya Ma’ruf diragukan bakal kapabel menjabat posisi seperti halnya Jusuf Kalla mendampingi Jokowi selama lima tahun.
Coba, andaikan survei dilakukan setelah Debat Cawapres. Bisa-bisa kecenderungan bukannya menurun akan tetapi malah menaik. Sepanjang perdebatan yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta Selatan pada Minggu (17/3/2019), Ma’ruf Amin sungguh mencuri perhatian. Tidak hanya dia fasih dan tenang bicara, lumayan rinci mengemukakan berbagai rencana pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin jika mereka terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi juga Ma’ruf Amin membalikkan prediksi, Cawapres Sandiaga Uno bakal mendominasi perdebatan.
Melihat konten yang diungkapkan keduanya pun, boleh dibilang kejadiannya terbalik dari perkiraan semula. Terlepas dari busana ulama yang dikenakan Ma’ruf Amin yang terkesan konservatif, ternyata apa yang diungkapkan Pak Kiai justru malah futuristik – menjanjikan Indonesia hendak dibawa ke arah yang lebih makmur, menghadapi tantangan Revolusi 4.0 yang tak main-main, jika mereka terpilih. Ma’ruf Amin fasih menjanjikan pemerintahan Jokowi-Amin berniat menjawab “tantangan sepuluh tahun ke depan” (disebutnya, berulang-ulang oleh Pak Kiai sebagai “ten years challenge”).
Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, pada empat tahun terakhir ini menurut Ma’ruf Amin, sudah menyiapkan infrastruktur, baik itu infrastruktur darat, laut, udara dan.... langit guna menunjang era digitalisasi ekonomi yang menjadi masa depan perekonomian dunia.
“Pemerintah kita sekarang (pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla) sudah bisa membangun infrastruktur, baik infrastruktur darat, infrastruktur laut, infrastruktur udara dan bahkan infrastruktur langit...,” sempat disambut gelak sebagian orang dengan istilah Ma’ruf Amin tentang “infrastruktur langit” ini.
Infrastruktur darat yang dimaksud di antaranya adalah, pemerintah Joko Widodo – Jusuf Kalla sudah membangun berbagai infrastruktur konektivitas – sebutkan saja, (1) Jalan dan Jembatan dalam empat tahun sepanjang 3.432 km dan Jalan Tol sepanjang 947 km, jembatan sepanjang 39,5 km dan Jembatan Gantung sebanyak 134 unit. Belum lagi, Kereta Api termasuk jalur ganda dan reaktivasi jalur sepanjang 754.59 km. Peningkatan dan rehabilitasi jalur kereta api sepanjang 413,6 km sampai Light Rail Transit (LRT) di Sumatera Selatan dan selesai dibangunnya LRT Jakarta, LRT Bogor, Depok, Bekasi yang rampung pada 2019. Juga Mass Rapid Transit (MRT) yang juga rampung pada 2019. (Catatan di Kompas.com 20 Oktober 2018).
Infrastruktur Udara? Pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla membangun 10 bandar udara baru di Miangas, Letung, Tebeliang, Maratua, Morowali, Namniwel, Weru dan Koroway. Revitalisasi dan pembangunan 408 bandara di daerah rawan bencana, terisolasi dan wilayah perbatasan.
Infrastruktur Laut? Jokowi-JK membangun 19 pelabuhan baru, dengan 8 masih dalam tahap pembangunan dan direncanakan rampung pada 2019.
Infrastruktur Langit? “Infrastruktur langit itu adalah (dibangunnya) Palapa Ring, infrastruktur digital sehingga memungkinkan tumbuhnya usaha-usaha seperti start up, juga unicorn, bahkan kemungkinan sebentar lagi decacorn,” kata Ma’ruf Amin dalam debat dengan Sandiaga Uno di Hotel Sultan Minggu malam itu.
“Dengan demikian, tenaga kerja kita harus kita siapkan untuk masa depan. Supaya menyiapkan anak-anak kita terhadap tantangan ke depan, menghadapi tantangan ‘ten years challenge’..,” kata Ma’ruf Amin pula.
“Infrastruktur langit, infrastruktur digital yang telah dibangun, sekarang ini telah tumbuh usaha-usaha start up yang dalam tempo empat tahun kita telah mengembangkan 1.000 start up. Padahal Iran, untuk 1.000 start up membutuhkan waktu 10 tahun,” kata Ma’ruf Amin, ketika ditanya moderator soal lapangan kerja.
“Karena itu untuk sampai tahun 2024 kami estimasikan kita bisa menumbuhkan 3.500 start up sehingga membuka banyak lapangan kerja...,” kata Ma’ruf Amin, tentang janji pemerintah Jokowi-Amin jika mereka dipilih jadi Presiden dan Wakil Presiden.
Lalu apa yang ditawarkan Cawapres Sandiaga Uno setelah Ma’ruf Amin mengungkapkan capaian pembangunan Infrastruktur darat, laut, udara dan infrastruktur langit yang diperkirakan akan banyak menyediakan lapangan kerja di masa depan ini?
“Bagaimana Indonesia bisa masuk menjadi ekonomi nomor tujuh besar di dunia di tahun 2030-2035 jika anak mudanya tidak bisa diberikan pekerjaan yang layak. Saya pernah merasakan menjadi pengangguran. Yang dibutuhkan masa depan anak-anak muda kita adalah, ke-sem-pat-an...,” kata Sandiaga Uno.
“Oleh karena itu, Rumah Siap Kerja untuk anak muda kita adalah pelayanan terpadu satu pintu. Mereka mungkin bisa diarahkan menjadi wirausaha. Seandainya mereka ingin menjadi wirausaha, mereka bisa bergabung untuk program OKE-OCE...,” kata Sandi.
“Di Jakarta, OKE OCE sudah bisa menurunkan pengangguran sebanyak 20.000 di tahun 2018. Kami sudah melihat hasil yang nyata, dan sudah mendapat review yang positif. Ke depan, kami yakin dengan pendidikan di Rumah Siap Kerja untuk bukan hanya meningkatkan keterampilan. Tetapi membuka peluang. Karena seorang pengangguran itu tidak butuh belas kasihan, yang dibutuhkan adalah peluang. Saya alhamdullillah, Allah bukakan jalan dari usaha yang kecil saya bangun bersama rekan-rekan sudah membuka lapangan kerja bagi 30.000 karyawan di seluruh Indonesia. Saya yakin banyak lagi anak-anak muda yang mampu berkarya demi Indonesia menang..... Terima kasih,” kata Sandiaga Uno.
Selain ngga terlalu nyambung, juga pandangan ke depan yang dikemukakan oleh Sandiaga Uno jelas tertinggal jauh dengan apa yang diungkapkan oleh Ma’ruf Amin, akan capaian Jokowi-JK selama empat tahun lalu. Sementara Sandiaga Uno menyodorkan satu tahun capaian mantan Wagub DKI Jakarta dengan OKE OCE nya – yang diberitakan luas, sudah banyak OKE-OCE Mart pun tutup di Jakarta. Sementara, Gubernur DKI Anies Baswedan tidak melanjutkan program OKE OCE yang dilansir oleh Sandiaga Uno ketika masih menjadi Wagubnya...
Sayang memang, semua hasil survei – tak hanya Litbang Kompas – akan tetapi juga yang lain, dilakukan sebelum Debat Cawapres yang seru ini. Sehingga hasil survei itu, seolah menjadi pemupus akan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap kapabilitas Cawapres Ma’ruf Amin yang semula diragukan. Dan sebaliknya juga orang bisa mengukur, sampai dimana kemampuan Cawapres Sandiaga Uno mengungkapkan janji-janji pemerintahan Prabowo-Sandi, dalam Debat Cawapres kali ini.
Dari perdebatan ini pun, apabila orang diminta memilih siapa yang lebih layak menjadi Wapres? Dijamin, yang tadinya ragu pada Ma’ruf Amin, banyak yang berbalik menjadi yakin akan kemampuan Pak Kiai. Nggak kalah sama anak muda. Toh jiwa mudanya sudah diwakili Capresnya, Joko Widodo?
Semoga pada saat coblosan 17 April nanti, Anda semua memanfaatkan kesempatan. Agar Indonesia tidak terpuruk ke dalam masa depan yang lebih buruk, gara-gara salah mencoblos pemimpin. Bravo pemilih Indonesia...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews