Sekali lagi percayalah Jokowi itu President All People, bahwa The All President Man tampak linglung dan canggung itu keniscayaan.
Bila patokannya adalah teks "The All President Man"-nya Jokowi dalam Tim Kemenangan Nasional (TKN) Pilpres 2019, mungkin sama menyebalkannya dengan nonton film lawas itu. TKN itu berisi orang-orang yang menurut saya pemalas, ribet, dan itungannya gak pernah "masuk".
Sebagaimana panitia besar, mereka di awal-awal kerjanya sangat lamban, karena mereka memang sekedar ingin ikut "rayahan" dana kampanye. Syukurlah dana yang kalaupun itu ada, disimpan rapat-rapat dan tidak dihambur-hamburkan. Yang tersisa adalah isu kemana dananya pergi atau malah yang paling kuciwa bertanya-tanya punya dana gak sih sebenarnya?
Jokowi sebagai "orang yang diacarakan" rupanya sangat hati-hati, bagaimana pun ia punya modal paling berharga yang tidak dimiliki oleh kompetitornya (siapa pun) itu: popularitas, yang kemudian berpengaruh pada elektabilitasnya. Selama ia memiliki elektabilitas yang cukup tinggi, ia akan irit keluar (atau tepatnya memobilisasi) dana.
Popularitas tidaklah sama dengan elektabilitas, seorang bisa saja mengakui ia populer dan menyukainya. Tapi belum tentu mereka mau memilihnya. Di sinilah terletak massa golputers, orang bingung, dan mereka yang memang bertradisi tidak ikut Pemilu.
Populasi "tidak ikutan Pemilu" itu cukup besar, terutama mereka yang merantau, untuk berbagai alasan dan malas mengurus ini itu keribetan elektabilitas. Contoh saja, di Panti Tuna Netra yang saya kunjungi nyaris seluruh penghuninya tidak ikut mencoblos: alasannya klasik berat di ongkos untuk pulang kampung, apalagi orang yang mau dipijat makin sepi. Syukurlah tingkat partisipasi Pemilu kali ini sangat tinggi nyaris diatas 80%.
Popularitas Jokowi inilah yang jadi jebakan dan (kemudian) menghambat kerja TKN. Nyaris tidak ada kerja kongkret hingga 6 bulan pertama sebelum Pilpres.
Mereka terlalu banyak rapat, maklum ketua TKN-nya Erick Thohir bukanlah orang politik dan penggerak massa. Ia penggerak bisnis, tapi bukanlah pekerja dan pembelajar cepat dalam public campaign. Ia bisa bekerja apik dengan orang kreatif, tapi jadi gagu dengan orang politik.
Fokus kerja TKN sesungguhnya hanya pada menangkal hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian. Tapi tampaknya mereka kecele: musuh mereka "para pemilik kapling surga, dengan berbekal bertumpuk dosa" itu jauh lebih masif dan solid kerjanya. Apalagi tindakan kepada pelaku hoaks, nyaris tak menimbulkan efek jera.
Kepolisian tampak kedodoran, dan kerja mereka tak lebih seperti KPK atau ILC, yang menggunakan media sekedar nampang dan cari rating. Benggol, biang, dan otak penggerak hoaks nyaris tak tersentuh? Suatu keabsurdan, yang di sisi lain digunakan oleh pihak BPN Prabowo untuk menunjukkan pemerintahan Jokowi itu memang lemah dan tidak pernah berani tegas!
Saya harus setuju untuk hal ini. Dan keruwetan inilah yang berujung pada tidak efektifnya kemenangan Jokowi di basis-basis yang justru selama ini mendapat perhatian lebih oleh Jokowi. Yang ndilalah, semua provinsi tersebut memiliki kesamaan karakter: memiliki tingkat intoleransi yang sangat rendah!
Catat intoleransi tidaklah sama dengan radikalisme, ini dua teks yang berbeda. Mungkin intoleransi lebih paralel dengan cara bersyukur dan ungkapan terimakasih...
Lalu setelah Pilpres selesai, dan hasil-hasilnya ternganga!
Para pemimpin publik yang "diuntungkan", tapi tak tahu terimakasih itu berteriak: Janganlah berhenti memberi perhatian pada kami. Apakah ini fair? Tergantung! Mereka secara kolektif dan kompak mengakui bahwa kegagalan mereka adalah akibat kegagalan (lagi-lagi) menangkal hoaks, dan kawan-kawannya itu. Itu argumentasi mereka yang (maaf) naif sekali!
Bagi yang kerja di akar rumput, dan berhadapan dengan massa langsung. Itulah cerminan politik uang yang masih terus masif terjadi. Apa yang akan disangkal oleh kelas intelektual kalangan sebelah, tapi akan sangat kentara di kalangan bawah.
Bagi para musuh ideologis Jokowi, pilpres itu memang ibarat perang. Dan kabar baiknya, tentu saja Jokowi menunjukkan kesungguhan untuk semakin menangkal permainan politik uang, sinyalemen makin minimal-nya adalah keluhan para calon penjual suara musiman. Wah kok makin gratisan?
Hal ini cukup dipengaruhi gerakan deklarasi dukungan terhadap Jokowi yang mula-mula dilakukan universitas-universitas negeri di nyaris sekujur Indonesia itu, merupakan warna yang menarik. Ketulusan dan kesungguhan mereka rupanya memiliki efek kejut tak terduga.
Mereka memang tidak berkontribusi secara langsung terhadap pilihan di tangan voters. Tapi setidaknya berhasil mengurangi perpindahan pilihan akibat politik uang. Bagaimana mungkin? Mereka menyelamatkan silent majority yang masih bingung menentukan pilihan, bukan karena tidak tahu prestasi Jokowi. Terutama terhadap gempuran fitnah yang memang mudah menggoyahkan iman!
Jokowi itu presiden untuk seluruh rakyat Indonesia. Walau ia tampak hanya didukung kisaran tipis 54-55%, tapi itu jumlah riil yang benar-benar tulus mendukung. Coba sesekali tanya apa jumlah sisanya itu yang 45-46% adalah penentang Jokowi. Saya yakin hanya 10% yang betul akut dan permanen membenci Jokowi.
Jangan lupa masa kini sudah "abad ekonomi", bukan lagi "abad ideologi". Abad ekonomi itu ciri dasarnya adalah keserakahan, jika mereka tidak makin kaya maka siapa pun yang memerintah akan dianggap gagal!
Dan jangan salah, untuk saat ini, Jokowi itu "traktor kemajuan yang ekonomis", ia akan bergerak terus ke sana ke mari, tanpa pandang bulu basis-basisan dukungan. Dan catat ia sangat ekonomis. Nyaris tak ada uang negara yang ia curi. Itu hal terpenting...
Sekali lagi percayalah Jokowi itu President All People, bahwa The All President Man tampak linglung dan canggung itu keniscayaan. Bukankah ini abad mileneal, siapa sih yang tidak begtu?
Canggung itu nama tengah kita!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews