Dalam melihat siapa yang akan menang nanti, jangan berpatokan pada kemenangan di TPS tempat Anda menyoblos, apalagi mengacu pada provinsi tempat Anda tinggal.
Fokus pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) tidak pernah lepas dari pulau Jawa. Barang siapa menguasai Jawa, dia akan memenangkan perebutan istana. Semua paham itu, dan mesin politik akan selalu bekerja dengan target tersebut.
Mari kita lihat jumlah pemilih di Pemilu 2019.
Tahun ini, dari total 190.770.329 pemilih tetap, hampir separuhnya tinggal di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ketiga provinsi berpopulasi jumbo tersebut masing-masing menyumbang 17,4%, 16,2% dan 14,6% pemilih.
Kalau digabung dengan Jakarta, Banten dan Yogyakarta, total suara di pulau ini hampir 60 persennya atau tepatnya 58,02% DPT.
Benar-benar jumbo, bukan?
Lihatlah grafiknya. Tiga provinsi berpemilih terbesar tanah air berjarak sangat jauh dengan provinsi di peringkat keempat dan seterusnya yang hanya satu digit.
Hasilnya: tujuh provinsi dengan jumlah pemilih dua persen ke atas, saat digabung, menyumbang 24,97% pemilih. Sementara 24 provinsi lainnya, yang jumlah pemilihnya di bawah dua persen, hanya berisi 26,76% pemilih.
Jadi kalau hanya mengejar menang, cukup fokus di 10 besar provinsi, yaitu Jabar, Jatim, Jateng, Sumatera Utara, Banten, Jakarta, Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Selatan dan Riau.
Lalu apa pengaruhnya persentase jumlah pemilih di tiap-tiap provinsi dengan proses hitung nyata (real count) suara yang saat ini sedang berlangsung dan diperbarui hasilnya jam per jam di website KPU?
Pertama, kemenangan Paslon di satu provinsi tidak bisa dibandingkan dengan kekalahannya di provinsi lain. Karena setiap provinsi punya potensi suara yang berbeda.
Mari kita ambil contoh Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Misalkan Jokowi unggul 55% di Jawa Tengah tapi kalah 45% di Yogyakarta. Itu artinya, Jokowi berpotensi meraih 16.572.639 suara berdasarkan DPT terakhir. Lalu Prabowo menang 55% di Yogyakarta tapi kalah 45% di Jateng, itu artinya potensi suara yang bisa diraih Prabowo hanya 14.056.136 suara.
Selisihnya mencapai 2,5 juta suara. Beda jauh bukan?
Kedua, persentase jumlah pemilih mempengaruhi hasil real count, tergantung provinsi mana yang datanya diinput ke sistem KPU. Kalau yang masuk ke website KPU adalah satu dari tiga provinsi raksasa, otomatis perolehan total suaranya akan langsung signifikan.
Berdasarkan data yang saya himpun per hari Rabu (24/4) pukul 23.35 WIB, data yang masuk ke KPU Pusat sudah mencapai 47.431.896 suara di 31% TPS yang ada.
Hasil akumulasinya, Jokowi memimpin dengan perolehan 55,82% suara. Kok bisa?
Di Jawa Tengah saja, Jokowi meraih 5.433.232 suara. Itu sudah lebih dari 11% total suara yang terinput. Lalu di Jawa Timur, Jokowi mendapatkan 3.574.806 suara atau 7,52% dari suara yang terinput.
Mari kita bandingkan dengan Prabowo. Di Jateng, Paslon 02 hanya mendapatkan 3,44% suara (1.631.485), sementara di Jatim hanya 3,27% suara (1.594.983).
Suara yang masuk dari provinsi lain persentasenya jauh di bawah kedua provinsi tersebut. Jabar saja yang jumlah DPT-nya tertinggi di Indonesia baru menyumbang masing-masing 3,79% dan 4,53% untuk Jokowi dan Prabowo.
Apakah ini berlangsung organik atau ada kesengajaan input–dalam arti ada upaya memprioritaskan penginputan data dari provinsi tertentu?
Tapi saat ini sebaran internet cukup merata di banyak provinsi, sehingga setiap provinsi mustinya punya kesempatan untuk merampungkan rekapitulasi suara secara paralel dengan provinsi lain.
Dan fakta bahwa masih sedikit suara dari Jawa Barat yang terinput dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur–padahal provinsi ini paling dekat ke Jakarta dan paling banyak jumlah pemilihnya–patut dikritisi.
Namun saya tidak ingin berspekulasi di situ.
Pesan yang ingin saya sampaikan lewat ulasan mesin politik kali ini adalah: dalam melihat siapa yang akan menang nanti, jangan berpatokan pada kemenangan di TPS tempat Anda menyoblos, apalagi mengacu pada provinsi tempat Anda tinggal.
Lihat provinsi mana yang jumlah pemilihnya berukuran raksasa, dan siapa yang menang di situ.
Saat jumlah pesertanya dua paslon, pemenang Pilpres hanya ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak di tingkat nasional. Bukan berdasarkan sebaran suara apalagi berdasarkan kemenangan di provinsi tertentu.
Misalkan jumlah suara yang masuk 150 juta, maka pemenangnya adalah yang berhasil meraih minimal 75 juta plus 1 suara.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews