Sejak kapan bendera dianggap penting? Sejak manusia mulai percaya pada simbol-simbol. Sejak kapan manusia percaya pada simbol-simbol? Sejak ia kehilangan sisi kemanusiaannya yang paling mendasar.
Bahwa ia mungkin merasa Homo sapiens yang lain, yang berbeda dengan Homo sapiens yang lainnya. Sehingga ia perlu bendera, untuk menunjukkan bahwa saya di sini dan kamu di sana, dan mereka di bagian yang lain lagi.
Artinya tak ada yang namanya Bendera Tauhid itu? Dalam arti tiba-tiba Tuhan membuat bendera sendiri. Yang ada adalah manusia yang menganggap benderanya adalah bendera simbol agama mereka, bertuliskan kalimat berhuruf tertentu dengan simbol yang menunjukkan keyakinan tertentu.
Saya tidak mau mengkotak-kotakkan bahwa Tauhid itu bermakna agama tertentu. Ia bisa agama apa saja, bisa Islam, Kristen, Hindu, atau apa pun. Dan masing-masing tentu juga punya, bedanya hanya siapa yang suka mengekspose dan melebih-lebihkannya. Mana yang tetap menyimpannya sebagai bagian dari properti ritual dan spiritual.
Dalam Perang Salib, perang agama terpenting yang pernah tercatat dan tidak pernah jelas benar siapa pemenangnya itu. Bendera tentu menjadi sangat penting, sepenting mereka yang merasa perlu membela agamanya secara mati-matian. Yang selalu saya ingat dari Perang Salib itu, hanya dari kekacauan inilah kemudian lahir tokoh yang bernama Drakula, seorang pejuang yang merasa dikhianati oleh Tuhan-Nya sendiri. Lalu berubah menjadi manusia abadi, monster penghisap darah yang berbalik menteror umat yang dulu menjadi penganut agama yang pernah dibelainya. Ironik!
Jika hari-hari ini ribut-ribut tentang bendera Tauhid yang dibakar, lalu muncul pembelaan dari sana sini. Siapakah yang sebenarnya mereka bela itu? Atau sebaliknya mereka musuhi itu?
Aneh karena yang dibelai dan dimusuhi adalah sama-sama orang Islam sendiri. Ini mengulang cerita ratusan tahun yang lalu. Peristiwa pertempuran antara Cirebon dan Portugis di Batavia, yang ujungnya melahirkan kontroversi tak pernah selesai sampai hari ini tentang tanggal lahir Jakarta.
Sebagai orang yang pernah jadi kurator di Museum Sejarah Jakarta, saya merasa absurd satu-satunya artefak yang menjadi pengingat peristiwa tersebut hanyalah sebuah bendera. Sebuah bendera yang konon juga harus direkonstruksi ulang.
Bila dbanding dengan bendera yang kemarin dibakar itu, akarnya barangkali sama. Hanya bendera yang dalam kultur Kesultanan Cirebon itu disebut Macan Ali (sebenarnya sih lebih sering disebutkan sebagai Macan Ngali), jauh-jauh lebih rumit teks dan isinya. Ia juga bertuliskan lafal Allah, ada gambar pedangnya, tapi juga ilustrasi macan.
Tubuh macannya sendiri, digambarkan secara kaligrafis sebagai ayat-ayat yang sangat kompleks. Khas kaligrafi Cirebon-an. Benarkah bendera ini yang dipakai Fatahillah saat menaklukan Jayakarta? Tidak jelas, tapi itulah satu-satunya jejak yang ada.
Belakangan, warga Betawi menggugat sejarah tersebut, mereka menganggap apa yang terjadi pada peristiwa tersebut justru sejarah kelam pembantaian orang Betawi oleh pasukan Cirebon. Mereka mendaku bahwa pada saat itu pun sebenarnya orang Betawi telah menjadi muslim. Artinya, muslim membantai muslim dengan bersimbolkan bendera Tauhid itu. Horotoyoh...
Saya hanya merasa aneh, karena di siaran radio RRI, yang semestinya bersifat nasionalis dan berimbang itu. Nyaris setiap dua jam sekali masalah ini tak henti dibahas. Dengan nara sumber dari MUI yang terus menerus menekankan bahwa bendera Tauhid itu harus dihormati, tidak bisa dilarang, dan boleh digunakan siapa saja.
Muncul tanggapan dari publik yang menuntut pelaku pembakaran mesti dihukum tegas! Lepas dari si pelaku bertindak emosional, tak pernah dibicarakan apa tindakan terhadap pelaku yang bersikap provokatif itu: menantang dan sengaja mengibarkan "sesuatu" yang dianggap akan memancing kehebohan. Mereka yang berisik ini, jumlah tidak banyak tapi resek dan bising sekali.
Menunjukkan mereka sangat reaktif terhadap apa saja yang mereka tidak sukai. Di sini menunjukkan bahwa Ahok itu juga tak lebih bendera dalam bentuk yang lain, mungkin ia dianggap sebagai Bendera Salib (sic!) Mereka ini orang-orang yang seperti rumput kering yang mudah terbakar, lupa bahwa yang mereka hadapi adalah institusi Islam terbesar yang bagaimana pun secara legal dan sosial lebih memiliki kekuatan atau justifikasi atau akar otentik sebagai pembela negeri ini.
Dan saat ini mereka berhadap-hadapan secara nyata. Di dunia lain mereka yang menjadi sponsor provokasi tersebut tentu saat ini bertepuk tangan riang, mereka berhasil membuat keriuhan sesaat. Sangat sesaat, sebelum digantikan masalah lain. Suatu gambaran masyarakat sakit parah yang gila masalah. Hobi mendramatisir masalah sepele, tapi mengabaikan masalah besar. Masyarakat yang mulutnya bersuara lebih cepat dan keras dari kemampuannya berpikir dan menganalisa masalah!
Bagi saya bendera itu semestinya disimpan di lemari, di dalam hati yang paling dalam, dalam ruang yang paling sunyi. Apalagi kalau itu harus punya makna sebagai Tauhid, ketauhidan. Sesekali dikibarkan baik, tapi kalau hanya untuk menunjukkan kesombongan ya dibakar itu lebih baik.
Yang mereka bakar itu bukan kalimat suci, itu hanya tulisan yang akhirnya justru menjadi "Tuhan Baru" bagi mereka sendiri. Yang sebenarnya dibakar itu keangkuhan mereka, kepongahan yang bahkan dibenci oleh Tuhan mereka sendiri.
Saya selalu setuju apa-apa yang suci itu mau dibakar, mau ditenggelamkan, mau dipendam ya tetap saja suci. Kalau hanya dibakar lalu tidak jadi suci, ya memang karena bukan barang suci.
Karena itu beragama itu bukan masalah berbendera, apa warna bendera kita, apa yang tersimbolkan dalam bendera itu. Beragama itu masalah bagaimana kita bersedia berendah hati sebagai makhluk yang bersifat fana dan tak berdaya di mata Sang Pencipta-Nya....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews