Semiotika Bendera Jonru

Sabtu, 24 November 2018 | 22:31 WIB
0
546
Semiotika Bendera Jonru
Jonru (Foto: Detik.com)

Kemarin Jonru bebas. Foto-foto kebebasannya, termasuk bagaimana dia bersujud di lantai tanah di luar dinding penjara disebar di media sosial. Banyak yang sumringah, baik mereka yang memuja ataupun mencelanya. "He is back!

Jonru adalah sosok fenomenal. Namanya membesar di sosial media karena polarisasi dukungan antarcapres di Indonesia. Politik yang receh menghasilkan juga manusia-manusia unik yang mendapat panggung meski di bagian pinggiran. Ribuan follower dan likersnya menyemut di dinding akun "fans page"nya.

Ia berada di deretan nama-nama paling populer di kubu Prabowo. Sejak 2014 hingga kemudian mencapai puncaknya di Pilkada DKI yang menggelegar berdarah-darah. 

Jonru kemudian sedikit demi sedikit mendapat panggung di ruang kaca, juga media mainstream. Namanya mulai dikenal, menjadi rujukan -tentu karena konsistensinya pada tulisan-tulisannya di sosial media yang cenderung kritis tanpa ampun ke penguasa.

Jokowi tak kenal dia, pastinya. Tapi Jonru tak habis-habis mengulik Jokowi, hingga ke foto, pakaian ihram sampai ke batas paling semenjana- dia menuduh ibunda Jokowi bukanlah ibu kandungnya. 

Tentu banyak pendukung Jokowi tak lagi mampu berdiam diri, sehingga suatu kali seorang Akbar Faizal kemudian menyeretnya ke ranah pidana karena pasal ujaran kebencian.

18 bulan vonisnya, dan setelah menjalani selama 14 bulan kurungan, Jonru -pahlawan sosial media dari kubu Prabowo ini, mencium udara kebebasannya. Dia berhak atas pembebasan bersyarat yang memang jamak diberikan ke terpidana yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman.

**

Satu hal yang pasti yang membuat orang-orang seperti Jonru, Buni Yani bermunculan, juga mengubah konsistensi Ratna Sarumpaet, Amien Rais, dan sebagainya adalah keberpihakan POLITIK.

Keberpihakan dalam pengertian ini bukanlah sesuatu yang luhur yakni antara kebenaran atau kejahatan, tapi hal yang subtil pada sosok atau kubu pasangan calon di kontestasi politik tertentu.

Sehingga muncul pemeo bahwa prestasi apapun yang dicapai oleh Jokowi, akan tetap dianggap rendah dan remeh oleh pendukung Prabowo. Sebaliknya untuk hal-hal yang belum bisa dicapai pemerintahan sekarang, akan diberi label sebagai kebohongan besar oleh kelompok anti Jokowi.

Artinya apa, bahwa pertarungan wacana di lembah demokrasi Indonesia bukanlah soal perang mencari makna yang sejati. Tapi perang memenangkan makna. Perang merebut perhatian massa. Kalau issue membesar disertai mobilisasi massa berdemonstrasi, maka itu adalah kemenangan politik nyata buat mereka.

Hal ini bermunculan sangat kentara pada kasus kekasaran bicara Ahok vs Habib Rizieq misalnya. Ahok berkata kasar dan keras maka ia dianggap menistakan agama dan rakyat kecil, tapi kata-kata yang tak kalah kotornya kalau keluar dari mulut seorang Habib Rizieq akan dianggap lumrah dan tidak perlu menimbulkan gejolak.

Respon pun berbeda, Ahok didemo berjilid-jilid sampai berusaha menekan proses pengadilan, sementara Habib Rizieq dipuja sebagai panglima umat, bahkan karakternya disamakan pula dengan sahabat nabi.

Jonru dan Buni Yani adalah juga contoh yang kentara. Jonru misalnya, hanya soal foto Jokowi duduk di penghujung senja dipersoalkan sebagai editan untuk pencitraan. Posisi kain ihram pun dipersoalkan, belum lagi soal riwayat kehidupan ibunda Jokowi diusik-usik seperti tak punya tata karma.

Sementara, junjungannya Prabowo tak pernah dia persoalkan bagaimana keluarganya yang bercerai, punya riwayat menjadi kroni Soeharto, tak mampu membaca Quran, tak pernah atau tak bisa menjadi Imam sholat dan sebagainya. Intinya ini soal politik yang dangkal.

Kasus Bendera yang baru-baru ini hangat pun punya semiotika nya tersendiri. Kalau Banser, yang kebetulan menjadi lawan politik kelompok islam radikal yang juga secara kebetulan bersembunyi di ketiak kubu Prabowo, menyatakan itu bendera HTI dan kemudian dienyahkan dengan cara dibakar maka kelompok islamis itu meradang dan tersulut amarahnya seketika.

Alasan bahwa itu bendera tauhid diangkat-angkat untuk menutupi kemarahan politik mereka. Apalagi baru saja mereka keok lunglai karena kasus hoax Ratna Sarumpaet yang memalukan hingga tujuh petala bumi.

Bendera yang mereka klaim sebagai bendera tauhid, sangat mudah ditemukan persesuaiannya dengan simbol-simbol yang dipakai ormas terlarang HTI yang sudah dibubarkan pemerintah. Karena HTI dibubarkan pemerintah, maka secara diametrikal menjadikan pihak Jokowi atau pemerintah menjadi juga lawan politik mereka. Musuh dari musuhmu adalah kawanku.

Maka mudah saja HTI dan simbol-simbionya menjadi sekubu dengan Prabowo dan koalisi pendukungnya.

Tak mudah menemukan jejak digital, meski ex pengurus HTI menyangkal bahwa bendera yang dibakar adalah bendera mereka. Bendera yang disebut panji ARayah dan AlLiwa itu jelas adalah bendera representasi HTI, karenanya pemuda Banser merampas dan karena sebab personal dia membakarnya.

Yang dia bakar adalah lambing ormas HTI yang sudah jelas terlarang karena dianggap merongrong ideologi bernegara Pancasila yang hendak mereka ganti dengan khilafah, sebuah tafsir politik yang masih gamang untuk diterapkan di semua negeri Islam.

Semiotika bendera, Jonru dan semacamnya ini sungguh menghina akal sehat. Karena perbendaharaan makna kita menjadi berlumpur ketika dicampur adukkan dengan orientasi politik.

Agama, berikut simbol-simbolnya menjadi korban yang paling menderita karena ditunggangi untuk menyerang kubu lawan. Persis ketika pasukan Muawiyah melawan Ali, pasukan Aisyah melawan Ali, pemberontak Mesir melawan Usman, pembantaian dinasti Umayah oleh Abbasid, dan sebagainya. Sejarah memang selalu berulang.

Saya berharap bahwa di penjara yang telah selesai dijalani Jonru, dia belajar mengenai Filsafat dan Logika, agar perbendaharaan makna yang dia miliki semakin diperkaya dengan konsistensi pada definisi, berpedoman pada epistemology yang konsisten untuk semua wacana yang dia hendak geluti.

Dan paling penting, Jonru perlu menyadari bahwa kontestasi politik itu hal yang paling dangkal dalam kehidupan yanga adiluhung. Peristiwa lima tahunan tak pantas menjadi musabab akal pikiran menjadi cacat selamanya. Apalagi menjadi titik tolak menyebarkan kebencian. Terlalu remeh.

***