MEMANG, keberadaan partai politik (parpol), acapkali disebut – sebut sebagai institusi infrastruktur politik masyarakat. Bahkan, tak terbayangkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tanpa ada institusi – institusi politik masyarakat.
Kehadiran parpol, hakikatnya berperan dan berfungsi menjemput aspirasi dan kepentingan – kepentingan masyarakat. Akan tetapi, di era disrupsi dewasa ini, aspirasi – aspirasi termasuk kontrol atas jalannya roda pemerintahan, nyaris tak terdengar dari lembaga – lembaga politik masyarakat, dan lembaga politik resmi, seperti DPR/D. Justru ingar bingarnya bertubi – tubi datang dari warga nitizen, baik secara personal maupun melalui petisi – petisi seperti dalam laman Change.org, dan lain sejenisnya.
Sensitivitas warga nitizen menyuarakan aspirasinya, patut diapresiasi. Partisipasi politik via media sosial tidak dapat dianggap remeh temeh, justru menjadi bagian yang integral dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan – kebijakan negara (pemerintahan). Derajat keterlibatannya, secara sadar atau tidak, sesungguhnya mengembangkan nilai – nilai politik demokrasi.
Sementara, sensivitas parpol nyaris tak terdengar. Bahkan sunyi senyap ditelan arus perubahan digitalisasi politik yang dimainkan atau diperankan warga nitizen. Keberadaan parpol, yang sejatinya bukan berpangku tangan menunggu warga masyarakat mengadu (menyampaikan aspirasi), justru harus lebih sensitif atas isu – isu yang menyangkut kepentingan warga masyarakat. Begitu pun mereka para wakil rakyat (DPR/D) peran dan fungsinya mestinya lebih responsif (lagi), oleh karena sebagai lembaga politik resmi dalam merajut dan merumuskan kehendak rakyat, bukan sunyi senyap ditelan ingar bingar kemegahan fasilitas.
Profil parpol dalam menggenjot eksistensinya belakangan ini “kejar – kejaran” dengan demokratisasi digitalisasi politik, yang nyaris sempoyongan, bahkan trend kepercayaan publik terhadap parpol, terus menerus turun berdasarkah hasil survei yang dilakukan lembaga-lembaga survei sejak priode Mei 2020 hingga Maret 2021 (baca: khususnya parpol yang ada di badan legislatif)
Gegap gempita isu yang terlontar harusnya mendapat perhatian parpol, karena mereka memikul fungsinya sebagai pelaku sosialisasi, pendidikan, dan komunikasi politik, di samping artikulasi dan agregasi kepentingan. Namun, parpol sibuk dengan persoalan konflik internal (faksi – faksi yang berada di sekelilingnya).
Sudah merupakan fakta, bahwa platform politik nasional negeri ini demokrasi menjadi alternatif pilihan dalam kepolitikannya.
Seiring dengan itu, keberadaan kelompok kepentingan, mengisyaratkan lembaga – lembaga demokrasi semakin kondusif untuk menjembatani kebhinekaan aspirasi dan tingkah laku politik masyarakat. Agregasi kepentingan merupakan sarana terjadinya konsensus dalam mendukung kebijaksanaan umum tertentu. Dalam teori struktural fungsional, agregasi kepentingan diperlukan sebagai salah satu fungsi – fungsi dasar masukan yang dilaksanakan dalam suatu sistem politik.
Bagaimana dengan partai politik yang secara formal melakonkan artikulasi kepentingan warga masyarakat?
Mestinya seiring dengan trend perubahan dewasa ini, atau era digitalisasi, sensitivitas partai politik harus lebih menonjol dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Begitu pun suprastruktur politik seperti DPR/D tanggap terhadap gelombang aspirasi dan tuntutan (tingkah laku) politik warga masyarakat.
Persenyawaannya, adanya political will suprastruktur politik, meramui artikulasi atau agregasi kepentingan pada sistem mekanisme politik yang lebih demokratis, hanya sebuah patamorgana. Kekuatan lembaga – lembaga politik atau demokrasi, yang memiliki peran dan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat, justru tuna sensitivtas politiknya.
Sedangkan gelombang warga nitizen dengan narasi – narasi “politik” sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam berpartisipasi dan sekaligus kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan, dapat menunjukkan sensitivitasnya bagi pementingan persoalan – persoalan kehidupan masyarakat bangsa ini. ‘Ruang digital’ menjadi arena partisipasi dan kontrol warga nitizen (masyarakat) terhadap pergulatan penyelenggaraan pemerintahan.
Ironis memang, kalau saja peran dan fungsi institusi politik (infrastruktur politik – partai politik, dan suprastruktur politik – wakil rakyat) di era digitalisasi, justru kehilangan ruh substansinya.*
Bandung, 21 Mei 2021
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews