Lemahnya Partisipasi Masyarakat Miskin Perdesaan

Gerakan warga yang kuat dan pemerintah desa yang demokratis menjadi syarat keberhasilan peningkatan kesejahteraan warga tersebut

Jumat, 25 Juni 2021 | 21:36 WIB
0
201
Lemahnya Partisipasi Masyarakat Miskin Perdesaan
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi Penulis

Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa muncul dengan semangat untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mendorong partisipasi dari masyarakat. Tantangan yang muncul dalam melibatkan warga miskin dalam kebijakan di desa adalah lemahnya daya tawar mereka di forum Musyawarah Desa (Musdes) dan rendahnya tingkat kehadiran.

Dua indikator tersebut dapat dijadikan patokan untuk melihat masalah partisipasi warga miskin dalam kebijakan desa.

Antlöv (2019) menjelaskan bahwa ketiadaan kontrol terhadap kepala desa menyebabkan pemerintahan desa tidak selalu memihak kepada kepentingan masyarakat. Menurut Antlöv (2019), para anggota Badan Permusyawaratan Desa yang seharusnya menjadi wakil masyarakat pun memiliki pemahaman terbatas mengenai tugas dan tanggung jawabnya dalam mengawasi pemerintah desa. Musdes justru semata menjadi sarana bagi kelas atas untuk terus mempertahankan kedudukannya.

Studi Habibi (2021) lebih jauh menunjukan langkah kepala desa yang juga seorang petani kapitalis cenderung mengambil sikap “cari aman” dengan tidak mau terlibat dalam pengambilan keputusan di sebuah Musdes mengenai penentuan harga sewa traktor. Habibi (2021) menunjukan aspirasi warga miskin yang terdiri dari buruh tani dan petani gurem sulit diakomodasi di dalam Musdes dan pada akhirnya mereka hanya bisa mengungkapkan kekecewaan pada para elit melalui “perlawanan sehari-hari.”

Sedangkan, rendahnya kehadiran warga miskin dalam proses kebijakan di desa tidak dapat dilepaskan dari waktu mereka yang diprioritaskan untuk mencari penghidupan maupun upaya elit desa untuk mengeksklusi warga miskin. Hasil survei Bank Dunia (2018) terhadap 4.000 responden di 112 desa menunjukan bahwa memang ada peningkatan jumlah kehadiran dari warga dalam forum Musdes dari sebanyak 15,7% pada 2016 menjadi 16,2% pada 2018 dari total proporsi penduduk desa.

Penduduk yang hadir di dalam forum Musdes berdasarkan kajian Bank Dunia (2018) adalah laki-laki yang memiliki bekal pendidikan memadai, pernah mengikuti kegiatan politik dan berasal dari kelas atas.

Kajian Bank Dunia (2018) menunjukan terjadi penurunan dalam hal jumlah penduduk yang berani mengemukakan pendapat di Musdes dari 38,3 % pada 2016 menjadi 31,5 % pada 2018 dan yang berani menanyakan target program dari 21,9% di 2016 menjadi 14,6 pada 2018. Bank Dunia (2018) menjelaskan bahwa aparat desa sengaja memilih secara selektif untuk hanya mengundang kelas atas melalui undangan tertulis

Faktor lain yang menyebabkan warga miskin tidak dapat hadir disebabkan waktu mereka habis untuk memenuhi kebutuhan hidup. Studi yang dilakukan Sambodho (2019) menunjukan bahwa penduduk yang bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan, dan warga miskin lainnya lebih mengutamakan penghidupan dibandingkan hadir dalam Musdes. Sutiyo & Nurdin (2015) menjelaskan bahwa warga miskin di desa yang mengantungkan hidupnya dari pertanian hanya dapat menghadiri pertemuan sosial pada malam hari itupun harus sembari diberi insentif.

Membangun Gerakan Warga

UU 6/2014 merupakan bentuk pencapaian dari gerakan sosial yang berhasil mendorong perubahan kebijakan untuk menghormati kekhasan budaya dan inisiatif dari warga seperti dijelaskan Vel, Zakaria & Bedner (2017). UU 6/2014 memang telah membuka forum partisipasi, namun tanpa adanya gerakan yang mempersiapkan warga untuk berpartisipasi menyebabkan justru hanya elit desa yang menikmati agenda seperti dijelaskan studi Berenschot & Sambodho (2017). Hal tersebut menjadi buah simalakama dari ketiadaan pendidikan politik bagi warga desa yang sudah sejak Orde Baru telah terdepolitisasi dari proses kebijakan.

White (2017) dan Habibi (2018) juga menjelaskan bahwa kita sering melupakan di desa terdapat masalah ketimpangan agraria yang kuat, sehingga tidak tepat apabila ada anggapan bahwa dengan sendirinya warga akan bersatu mengawal pembangunan desa. Belum lagi, Zakaria & Vel (2017) memaparkan bahwa pemberian otonomi desa masih terhambat masalah tumpang tindih birokrasi di atasnya.

Gerakan warga dari bawah diperlukan untuk melengkapi keberhasilan dalam mendorong lahirnya UU Desa. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan pendidikan politik bagi warga desa, agar siap memperjuangkan agenda peningkatan kesejahteraan dalam pembangunan desa. Kajian Kamim (2019) misalnya menunjukan peran dari jejaring kampus dan organisasi masyarakat sipil bersama dengan pemerintah desa untuk melibatkan warganya dalam perencanaan pembangunan dengan gerakan yang sudah terorganisir.

Warga desa diberikan pelatihan untuk melakukan pemetaan sosial bersama dengan fasilitator. Warga dilibatkan disebabkan mereka lah yang memiliki pengetahuan mengenai lingkungan fisik sekitar, kepemilikan lahan di antara sesama mereka dan data-data sosial-ekonomi lainnya. Pemetaan secara mandiri menjadi pijakan awal untuk mendorong pembangunan desa sesuai dengan kebutuhan warganya. Pemetaan juga membantu warga memiliki pengetahuan yang memadai mengenai pembangunan desanya, sehingga siap berpartisipasi dalam kebijakan desa. Apalagi Bank Dunia (2018) menjelaskan pentingnya pengetahuan warga yang memicu mereka untuk hadir dalam Musdes.

Gerakan warga yang telah memiliki pengetahuan memadai dapat mendorong kebijakan desa yang memihak pada masyarakat misalnya memberikan bagian dari anggaran desa untuk menyelesaikan masalah kesehatan reproduksi seperti dalam kajian Kamim (2019). Gerakan warga juga dapat mendorong penyelesaian ketimpangan agraria di desa. Langkah itu disebut “reforma agraria dari bawah” seperti yang dilakukan di Desa Ngandagan, Purworejo pada tahun 1960-an yang berhasil mendorong pemerintah desa untuk mendistribusikan hak garap kepada para buruh tani dan petani gurem. Keberhasilan tersebut kemudian ditiru oleh desa di sekitar Ngandagan.

Reformasi agraria dari bawah biasanya diawali dari aspirasi dan dorongan dari para petani gurem untuk menyelesaikan masalah agraria yang mereka hadapi. Gerakan warga yang kuat dan pemerintah desa yang demokratis menjadi syarat keberhasilan peningkatan kesejahteraan warga tersebut (Wiradi, 2009).

***