Faktanya, Virus yang Sudah “Mati” Ternyata Bisa “Hidup” Kembali

Jika suatu hari kelak virus Covid-19 mencoba menginfeksi, maka sel-sel B akan segera memproduksi antibodinya untuk mencegah infeksi.

Senin, 22 Maret 2021 | 14:00 WIB
0
261
Faktanya, Virus yang Sudah “Mati” Ternyata Bisa “Hidup” Kembali
Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB. (Foto: Detail.id)

Hongkong mencatat kasus pertama paralisa otot wajah setelah vaksinasi Covid-19. Seorang pria berusia 69 tahun dengan riwayat hipertensi dilaporkan mengalami paralisa wajah (gejala Bell’s palsy) 2 jam setelah divaksinasi (pertama) dengan Sinovac pada 6 Maret 2021.

Yang pertama kali dirasakan adalah rasa tidak nyaman di mata kiri, dan tidak bisa menutup sempurna segera setelah vaksinasi. Keesokan harinya ngences (drooling) dari mulut sebelah kiri, dan segera pergi ke rumah sakit.

Sehari kemudian dia sudah boleh keluar dari rumah sakit. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang kondisinya. Bell’s palsy umumnya bersifat temporer, dan akan membaik dengan sendirinya dalam waktu beberapa minggu atau bulan.

Bell’s palsy Bisa Dipicu oleh infeksi ulang oleh virus yang dormant (tidur) kemudian aktif kembali. Kasus ini segera dilaporkan sebagai reaksi yang tak diharapkan (adverse reaction), meskipun belum tentu ada kaitan langsung.

Hal tersebut diungkapkan Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB. Perihal jumlah laporan reaksi yang tidak diharapkan dalam insiden di Hong Kong ini termasuk rendah: 7,6 laporan per 10.000 dosis.

Sementara di negara lain: Inggris 39,9; Singapura 38,2; Australia 23,4. Indonesia? KIPI? Kejadian Ikutan Paska Imunisasi.

Namun perlu diingat bahwa di setiap negara program vaksinasi dan kriteria pelaporannya bisa bervariasi, sehingga angka-angka di atas tidak bisa begitu saja diperbandingkan.

Hongkong memulai vaksinasi massal pada akhir Februari dan telah ada 93.000 dosis vaksin yang disuntikkan, dengan rincian: 91.818 dosis Sinovac dan 1.207 dosis Pfizer.

Dan mencatat 69 jenis reaksi yang tidak diharapkan, diantaranya 30 pria dan 17 wanita usia 30 – 90 tahun, yang terpaksa dikirim ke rumah sakit karena mengeluhkan/mengalami fatigue, pusing dan bahkan stroke.

Pada kasus stroke, seorang pria usia 74 tahun dengan riwayat diabetes dan hipertensi, 6 hari setelah divaksinasi dia mengalami kelemahan otot pada sisi tubuh sebelah kiri dan sulit berbicara (slurred speech). Kasus stroke ini juga ditemukan di Garut.

Adapun kematian setelah vaksinasi itu tercatat 4 orang: Seorang pria, 63 tahun, dan wanita 55 tahun, keduanya menderita penyakit kronis; Seorang pria, 71 tahun, tanpa catatan penyakit kronis, dan seorang wanita, 70, dengan riwayat hipertensi dan radang sendi osteoarthritis.

Wanita itu meninggal 9 hari setelah mendapat vaksinasi. Catatan Arie Karimah itu ditulis dalam akun Facebook-nya pada Sabtu, 20 Maret 2021. Ada yang menarik perhatian dalam tulisan tersebut. Yakni, terkait Bell’s palsy yang bisa dipicu oleh infeksi ulang oleh virus yang dormant (tidur) kemudian aktif kembali.

Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, saya sering menulis bahwa virus yang “dilemahkan atau dimatikan” itu bisa bangun kembali pada suatu suhu tertentu. Sebab, diantara yang mati itu dapat dipastikan masih ada yang pura-pura “tidur atau mati”.

Vaksin Sinovac dibuat dengan salah satu teknologi yang paling kuno, yang sudah digunakan sejak 100 tahun yang lalu. Yaitu menggunakan virus Covid-19 yang telah “dinonaktifkan” atau “dimatikan”. Berarti benar: mengandung virus hidup yang dilemahkan.

Sinovac mengumpulkan sampel cairan tubuh yang mengandung virus dari pasien di China, Inggris, Italia, Spanyol, dan Swiss. Sampel virus dari China sendiri digunakan sebagai dasar vaksin. Dari sini nanti juga bisa menjawab:

Mengapa dengan menggunakan teknologi yang sama bisa menghasilkan efikasi vaksin yang berbeda? Mengapa diperlukan uji klinis internasional untuk mengukur efikasi yang lebih baik, karena produknya kelak juga akan dipasarkan ke berbagai negara?

Para peneliti di Sinovac memiliki kultur virus dalam jumlah besar di sel-sel ginjal monyet, yang mereka pilih sebagai hewan percobaan. Virus tersebut kemudian dibunuh dengan zat kimia beta-propiolactone, yang akan berikatan dengan gen-gen virus.

Akibatnya virus tidak bisa lagi melakukan replikasi (membelah diri, beranak-pinak). Namun spike proteinnya yang menonjol di bagian luar virus tetap utuh.

Virus tersebut kemudian “diekstraksi” dan dicampur dengan adjuvant, yaitu senyawa berbasis alumunium. Fungsi adjuvant dalam proses vaksinasi adalah untuk merangsang sistem imun di tubuh kita merespon terhadap vaksin yang disuntikkan.

Karena virusnya “sudah mati”, maka penyuntikan vaksin tidak akan menyebabkan seseorang terinfeksi virus Covid-19. Tapi, ternyata faktanya di Hongkong dan di Indonesia, tidak sedikit yang terinfeksi Covid-19 setelah divaksin Sinovac.

Setelah berada di dalam tubuh kita virus tersebut akan dimakan (difagositosis) oleh salah satu jenis sel immune yang bernama sel T, yang memiliki bagian yang disebut dengan “antigen-presenting cell”.

Antigen-presenting cell ini akan melumatkan virus dan menyisakan sebagian fragmennya di permukaan tubuhnya. Nantinya sel immune yang lain, yaitu Helper T cell akan mengenali fragmen tersebut.

Jika fragmen tersebut cocok dengan protein yang ada di permukaan Helper T cell, maka sel-sel T akan diaktifkan, dan mengundang sel-sel immune yang lain untuk merespon terhadap vaksin.

Sel immune lainnya yang bernama sel B juga akan menemukan fragmen protein virus. Sel B memiliki protein di permukaan tubuhnya dengan berbagai bentuk, yang beberapa diantaranya mungkin akan cocok untuk berikatan dengan fragmen protein virus Covid-19.

Jika sudah berikatan, sel B akan menarik sebagian atau keseluruhan fragmen ini ke dalam tubuhnya, kemudian mulai memproduksi antibodi yang cocok dengan bentuk permukaan virus. Produksi antibodi setelah vaksinasi ini belum diketahui akan berlangsung selama berapa bulan.

Itu sebabnya kelak jika diajukan permohonan izin edar, bukan EUA (Emergency Use of Authorization), monitoring titer antibodi dan kemampuan mencegah terinfeksi utu akan berlangsung selama 2-4 tahun, bukan sekedar 3-6 bulan.

Setelah divaksinasi sistem imun akan merespon jika kelak terjadi infeksi oleh virus Covid-19 yang hidup. Sel-sel B akan segera mengenali virus Covid-19 dan menghasilkan antibodi yang akan berikatan/menetralkan virus melalui spike proteinnya, sehingga virus tidak bisa memasuki sel-sel tubuh kita.

Meskipun dalam waktu beberapa bulan tetelah vaksinasi titer antibodi akan berkurang, tapi tubuh kita memiliki memori B cells, yang akan mengingat bentuk virus Covid-19 hingga bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun kemudian.

Jika suatu hari kelak virus Covid-19 mencoba menginfeksi, maka sel-sel B akan segera memproduksi antibodinya untuk mencegah infeksi. Tapi, faktanya virus Covid-19 masih tetap saja bisa menginfeksi seseorang yang divaksin.

Berarti, kecepatan Covid-19 tidak bisa diimbangi oleh sel-sel B yang memproduksi antibodi manusia yang sudah divaksin. Bukan tidak mungkin, proses infeksi Covid-19 dalam vaksin itu terjadi beberapa minggu, bulan, atau tahun kemudian.  

Bahkan, ada yang terjadi dalam hitungan hari seperti yang menimpa Dokter JF di Palembang dan beberapa nakes lainnya di Indonesia yang terinfeksi Covid-19 setelah divaksin.

Teranyar adalah yang menimpa dr. Heru Dwiantoro W, SpOG (K) di RSUD Sidoarjo. Meski sudah divaksin, Dokter Heru meninggal karena terinfeksi Covid-19, Sabtu (20/3/2021).

***