Disclaimer 2021

Sekali lagi titip Jokowi. Jokowi itu sekarang sekedar barang titipan, ia berharga jika sampai akhir kepada penggunanya. Dan kita semua adalah tujuan akhirnya. Kalau gak juga sampai?

Kamis, 7 Januari 2021 | 22:20 WIB
1
244
Disclaimer 2021
Presiden Joko Widodo (Foto: Ayocirebon.com)

Sesuai janji saya, tahun ini saya akan lebih fokus menulis tentang sejarah berbagai hal. Saya memiliki beberapa program dalam banyak ekspedisi di dalam dan di luar negeri yang pantas saya kabarkan untuk para sahabat.

Saya tak akan lagi, ribut cerita berita aktual atau sok membuat analisa tentang politik. Apalagi berkait dengan Jokowi. Realitas bahwa Jokowi telah banyak berubah, tak bisa saya pungkiri. Sedikit banyak membuat saya patah, coklek ati ning ora tugel.

Dari seorang yang out of the box, menjadi seorang yang lucunya jatuh jadi komandan dari League of The Crazy Rich Man.

Silahkan dicek satu persatu? Adakah orang idealis yang tersisa dalam Kabinet Jokowi. Dan pantas untuk kita belai. Penarikan Sandi, Lutfi, Budi Sadikin, dan Sakti Wahyu Trenggono hanya menggemukkan deretan "kaum menak, yang sialnya tak lebih blantik" dalam kabinetnya terbaru. 

Tak mungkin berharap ada sejenis Agus Salim di masa lalu, yang sampai akhir hayatnya rumah saja masih pindah-pindah kontrakan tiap tahun. Atau dalam konteks hari ini: barangkali berharap seorang Syafii Maarif diajak bergabung dalam tim-nya sebagai sosok teladan yang dituakan!

Toh dia sudah didampingi "sosok orang tua" lain, yang tak lebih merek pilsener obat kuat yang berfungsi sebagai "anget-anget". Minuman penghangat tubuh, yang siap mengintai dan membantai balik setiap saat. Seorang figur yang tiba-tiba, tak layak divaksin karena usianya kelewat banyak.

Saya jadi yakin, bahwa sebagai bekas tukang kayu dengan fokus produk interior. Jokowi ternyata memang suka membuat keseimbangan antara barang tua-lawasan dengan produk avant-grade yang sungguh gak gampang dipahami seleranya...

Bagi saya, Jokowi terlalu off-side, ketika alih-alih merekrut figur manajer yang handal membangun sesuatu. Ia merekrut trio pebasket, yang sesungguhnya tak lebih makelar jual-beli perusahaan. Orang-orang model lingkaran wall-street, yang cuma ahli goreng menggoreng saham. Beli murah, jual mahal! Para pemburu rente, yang setiap wong cilik membatin. Kok ada yah orang sedemikian beruntung. Terbiasa hidup di atas penderitaan orang yang sedang kalah, lalu mengolahnya demi keuntungan berlipat.

Tak heran, kalau pemerintah Jokowi setelah dihantam isu oligarkis tak henti-henti. Hingga saat ini ia jatuh harga menjadi rezim plutokrasi. Apa itu plutokrasi? Plutokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mendasarkan suatu kekuasaan atas dasar kekayaan yang mereka miliki. Inilah titik terlemah dan terburuk yang tak termaafkan.

Ia bisa saja berbicara bahwa "orang-orang kaya" yang diberi kehormatan untuk duduk di pemerintahan, akan sudah bisa memilih "golek jeneng dudu jenang". Akan mencari nama baik, bukan tambahan kekayaan. Pret!

Bohong besar, Si Pluto yang tertangkap basah korupsi dana bansos. Dia terbukti mencuri uang negara, antara lain hanya untuk menyewa jet pribadi dalam menjalankan tugasnya. Lalu kita harus berpikir tulus dan baik terus?

Jokowi memang luar biasa berubah!

Sampai akhir 2019, ia selalu mengatakan bahwa keluarganya tak tertarik masuk di dunia politik. Mereka lebih suka dagang martabak atau pisang goreng. Tapi di tahun 2020, dua dari tiga orang anaknya. Satu anak sulung dan satu suami adiknya, mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Melanggar aturan? Tidak! Mereka mengkhianati etika dan merusak tatakrama dan citra kerendahan hati yang dibangun selama sepuluh tahun terakhir!

Ia dianggap pecatur hebat, ketika berani membubarkan FPI. Bagi saya tidak, ia terlalu terlambat untuk berani bertindak tegas. Hingga, ia dianggap membuang waktu terlalu banyak untuk semakin menambah musuh.

Moment pembubaran HTI, sebenarnya adalah waktu yang paling tepat. Kenapa mesti diicrit-icrit, ditunda-tunda kalau akhirnya ujungnya adalah sama saja. Protes publik terhadap pembubaran FPI, itu sama persis dengan saat pembubaran HTI.

FPI istimewa? Sangat tidak! FPI itu sejenis event organizer politik jalanan dengan kedok agama, yang bisa siapa saja memanfaatkan. Asal itung2an rupiahnya jelas! Apa hasilnya? Tetap saja ia dianggap otoriter, anti demokrasi, dan bla bla bla.

Saat ini, kondisi Jokowi mungkin tampak sangat kuat dan solid! Bukan karena ia kuat, tapi musuhnya yang sesungguhnya juga terlalu naif, minim kreativitas, dan kurang militansi. Tidak ada oposisi yang rasional, kreatif, dan berideologi kerakyatan. Kedok agama yang digunakan hanya tampak kokoh di permukaan, tapi di arena politik praktis ia sesungguhnya dengan mudah jatuh harga setiap saat. Sesuatu yang sebenarnya sangat kuno dan terbelakang, bila tetap digunakan di era demokrasi yang instant, profan, dan terbuka ini. Menjelaskan kenapa jauh lebih banyak negara maju memilih berideologi sekuler.

Apakah saya ikut meninggalkan Jokowi?

Dalam falsafah Jawa, ada istilah "tega larane, ora tega patine". Saat ini Jokowi tampak sehat-sehat saja, baik-baik saja. Ia tak tampak sedang sakit apalagi akan jatuh dan mati. Tidak! Lalu untuk apa, kita terus menerus melakukan pembelaan yang tidak perlu dan (mungkin) tidak dibutuhkan.

Yang tersisa saat ini, hanya oposisi yang sangat negotiable. Terlalu mudah terbeli, walau tampak berdiri tegak luar. Tapi karena memang tak ada yang berminat mengajak masuk ke dalam. Kalau pun media, masih menyuarakan suara minor. Bukankah memang begitu watak media: bad news is good news. Media masih juga berfungsi sebagai berita untuk menyenangkan mereka yang patah hati. Semakin banyak yang sakit hati, pertanda bahwa media masih ada manfaatnya dan berharap sedikit berumur lebih panjang.

Tentang para SJW? Sudahlah anggap saja itu sejenis FPI dalam bentuk lain. Bahwa itu juga sejenis mata pencaharian. Tidak berisik, ora eksis, enggak bayaran!

Sekali lagi titip Jokowi. Jokowi itu sekarang sekedar barang titipan, ia berharga jika sampai akhir kepada penggunanya. Dan kita semua adalah tujuan akhirnya. Kalau gak juga sampai?

Sampai, sampai....

NB:

Mulai besok, saya akan membuat serial tulisan tentang hal sepele, sesepele upil hidung. Tulisan serial sejarah Kali Code, sungai yang membelah kota Yogyakarta dan yang tak banyak orang tahu ikut mengubah sejarah Indonesia sampai hari...

***