Bersatunya Pasangan Capres dan Cawapres yang Bersaing dalam Satu Pemerintahan

Ini demokrasi banana, dimana politik oposisi tidak dianggap luhur. Ketimbang menjadi tokoh oposisi, elit berlomba bergabung dengan kubu yang dulu menjadi lawan.

Minggu, 27 Desember 2020 | 14:35 WIB
0
289
Bersatunya Pasangan Capres dan Cawapres yang Bersaing dalam Satu Pemerintahan
Presiden Jokowi dan menteri baru (Foto: merdeka.com)

Perombakan kabinet Jokowi di era pandemik, Desember 2020, menjadi sangat unik. Cawapres dari Pilpres 2019 yang berkompetisi, Sandiaga Uno, resmi menyusul pasangan Capresnya, Prabowo, berdua menjadi menteri bagi kompetitornya yang terpilih: Jokowo- Maaruf Amin.

Wow! Hanya di Indonesia peristiwa ini dapat terjadi. Aneh tapi Nyata!

Peristiwa ini bisa masuk yang pertama dalam World Guiness Book of Record. Untuk dunia demokrasi yang menganut pemilihan presiden langsung, ini bisa menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia.

Pertanyaannya baik atau burukkah hal ini bagi membangun tradisi demokrasi yang sehat?

Jawab: Ada tiga tafsir!

Masih terbayang suasana dan batin pemilihan pilpres tahun 2019. Ini pertarungan politik tingkat nasional yang paling membelah dalam sejarah Indonesia.

Persahabatan, dunia kerja, bahkan hubungan keluarga bisa pecah karena beda pilihan politik dalam pilpres. Politisasi agama dan politik identitas membuat keterbelahan itu menjadi emosional.

Seolah olah, Pilpres 2019 itu pertarungan hidup dan mati bagi masa depan Indonesia. Jika yang satu menang, indonesia mungkin akan bubar karena salah arah. Jika yang lain menang, Indonesia mungkin akan menjadi negara agama.

Lihatlah perbedaan visi dan misi dua pasangan capres dan cawapres ini dalam tiga kali debat. (1) Terkesan mereka bertarungan karena menawarkan masa depan Indonesia yang berbeda.

Lihatlah polarisasi dalam masyarakat sipil yang mendukung. Seolah perjuangan suci menyelamatkan agama menjadi pertaruhan dalam pilpres.(2)

Bahkan ketika KPU secara resmi mengumumkan pemenang, polarisasi tak kunjung berhenti. Isu people power terdengar. (3)

Ternyata hingar blingar tahun 2019 ini berlangsung setahun saja. Lihatlah kini di tahun 2020. betapa harmoni dan mesranya dua pasangan capres yang bertarung itu. Mereka bersanding menjalankan satu pemerintahan.

Netizen terbelah pro dan kontra. Yang tak suka, jika kita gunakan umpatan betawi, merespon: Makdikipe! Sialan. Gua ketipu!

Yang suka, merespon sebaliknya. Aha! Peace! Bravo!

Tiga tafsir politik dapat diberikan merespon peristiwa langka ini. Positif, Netral dan Negatif.

Kita mulai tafsir positif dulu.

Jokowi- Ma’ruf dan Prabowo-Sandi menyadari persatuan dan Indonesia yang kuat itu kepentingan utama. Maka, kooperasi setelah kompetisi menjadi pilihan pertama.

Terpilihnya nama- nama baru dalam kabinet, dan aneka kebijakan Jokowi termasuk dalam UU Cipta Kerja, sudah menunjukkan pesan yang kuat.

Jokowi ingin mencapai sebuah legacy besar: pemerintahan yang kuat, dengan investasi dan ekonomi sebagai panglima. Dan Islam yang moderat yang berani, dan mengakar, di kementrian agama.

Perpaduan politik yang stabil, plus investasi yang masif, plus pemihakan kepada kultur agama yang melindungi keberagaman adalah pilihan.

Bersatunya dua pasangan capres dan cawapres harus dilihat dari kaca mata yang lebih besar. Kesediaan mereka bersatu itu justru gambar kualitas negarawan.

Bagaimana dengan tafsir yang netral?

Tafsir yang netral berangkat dari posisi Prabowo dan Sandi. Mengapa mereka bersedia menurunkan status dari Presiden dan Wapres (walau masih calon) ke level menteri belaka?

Dua tokoh ini tetap menjadi calon tangguh untuk pilpres 2024. Ini hukum besi politik belaka. Nama mereka jauh lebih berkibar jika tetap beredar di panggung nasional.

Menjadi menteri hanyalah sasaran antara untuk maju kembali dalam pilpres 2024.

Bagaimana dengan tafsir negatif?

Politik di kalangan elit masa kini terlalu elastis. Tanpa core philosophy yang kuat. Tanpa prinsip kebijakan yang tegas.

Mudah sekali mereka berpindah haluan menyebrang ke kubu lawan. Semudah ganti baju. Sekecil ganti sepatu.

Tak lagi mereka peduli dengan para pendukung yang “berdarah-darah,” yang mengira sang capres dan cawapres membawa perspektif alternatif.

Ini demokrasi banana, dimana politik oposisi tidak dianggap luhur. Ketimbang menjadi tokoh oposisi, elit berlomba bergabung dengan kubu yang dulu menjadi lawan.

Bukankah ini pertanda bahwa persaingan program yang dikira serius itu hanyalah asesori belaka.

Saya sendiri memilih tafsir yang positif. Ini lebih karena saya berharap dan menyukai pesan itu: Pemerintahan yang kuat. Investasi yang tumbuh. Dunia agama yang moderat melindungi keberagaman.

Selamat untuk kita semua. Yang diwarnai agama dapat berseru: Takbir! Yang sekuler bisa menyeru: Take Bir!

Ini untuk merayakan hidup dalam politik yang orang bilang BELI SATU, DAPAT DUA.

Degan hanya memilih Jokowi-Ma’ruf, kini juga dapat Prabowo-Sandi.

Apakah esai ini serius? Atau kelakar? Silahkan tafsir sendiri.

Desember 2020

Denny JA

***

CATATAN

1. Perbedaan visi capres dan cawapres 2019 menjadi isu saat itu

2. Pembelahan pendukung yang emosional antara pendukung capres dan cawapres 2019 juga sangat nyata

3. Bahkan people power dicanangkan melanjutkan polarisasi politik