Nasionalisme Level Dewa: Satu Orang Satu Bendera Merah Putih

Indonesia akan hidup sepanjang masa, selama masih ada ‘merah putih’ di setiap dada rakyatnya. Dan itu dimulai dengan cara memiliki lalu mengibarkannya...

Minggu, 16 Agustus 2020 | 16:09 WIB
0
357
Nasionalisme Level Dewa: Satu Orang Satu Bendera Merah Putih
Merah Putih di Hutan Bang Abak (Dok Pribadi)

 Rasanya, fenomena menarik ini hanya ada di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara). Tidak di kabupaten lain. Setiap orang, menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, wajib mengibarkan bendera merah putih.

Bukan satu kantor satu bendera. Bukan satu rumah satu bendera. Tetapi, satu orang satu bendera. Jika suatu rumah memiliki 5 anggota keluarga, maka bendera yang berkibar di depan rumah itu ada lima lembar. Merah putih pun berkibar di mana-mana dengan jumlah: sesuai jumlah penduduk!

 

Kebijakan satu orang satu bendera di Kabupaten Malinau Kalimantan Utara, bukan sekadar simbol. Hal ini merupakan suatu upaya sistematis dari sang Bupati Dr. Yansen TP., MSi, dalam mengobarkan semangat kebangsaan di kabupaten yang berbatasan langsung dengan Malaysia itu. Nasionalisme di perbatasan sangat penting.

Selama ini, sebagian masyarakat di pinggiran dan terpencil belum mendapatkan sentuhan kesejahteraan. Mereka yang tinggal di perbatasan dengan Malaysia seringkali berinteraksi dengan warga jiran tersebut, dan menyaksikan betapa lebih sejahtera tetangganya itu. Warga lebih banyak menikmati hasil produksi orang Malaysia dalam kehidupan sehari-hari, sehingga muncul kalimat menggelitik, “Malaysia di perutku, Indonesia di dadaku.”

Pada beberapa kesempatan, tuntutan kesejahteraan itu kadang disertai dengan “ancaman” kebangsaan, seperti mengibarkan bendera Malaysia, atau pernyataan “mau bergabung dengan Malaysia”. Padahal esensinya bukan soal kebangsaan itu, melainkan kebutuhan perhatian dari pemerintah baik daerah maupun pusat. Mereka butuh disejahterakan. Mereka butuh perhatian. Hal yang kadang direspon secara tidak tepat oleh pemerintah.

YTP (sapaan sang bupati) punya cara khas dalam membangun semangat kebangsaan di wilayahnya. Malinau berpenduduk hanya 80-an ribu orang. Sebagian besar beragama Kristen dan beretnis Dayak. Namun demikian, Indonesia mini tergambar di sana. Semua agama yang diakui di Indonesia ada di Malinau: Islam, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu. Beragam suku juga tinggal di sana: Jawa, Sunda, Bugis, Manado, Makassar, Toraja, Batak, Aceh, Minang, Melayu, Bali, Timor, Maluku, Papua, dll.

Sejak menjabat sebagai bupati pada 2011 lalu, nilai kebangsaan menjadi salah satu ciri khas YTP. “Tabu bicara perbedaan agama dan etnis di sini,” ujarnya berulang kali. Baginya semua orang sama. YTP beragama Kristen dan beretnis Dayak Lundayeh, namun dia adalah pemimpin semua umat dan seluruh etnis. YTP tak pernah membeda-bedakan. Dia masuk ke semua agama, etnis, dan golongan. Rumah dinas dan pribadinya seringkali menjadi tempat kegiatan agama selain Kristen, seperti Islam. Kadang, warga yang beragama Islam bertanya-tanya, “Ini beneran pak Bupati?”

“Buat kalian mungkin Lambang Garuda dengan Bhineka Tunggal Ika-nya adalah benda mati. Buat saya, Bhineka Tunggal Ika itu hidup. Harus hidup dalam sikap, ucapan, dan tindakan kita,” katanya meyakinkan. Kalimat-kalimat ini bukan sekali dua kali dia sampaikan. Selama mengenalnya sejak 2014, setiap kali berjumpa dan berdiskusi, kalimat-kalimat bernilai kebansgaan itu selalu keluar dari mulutnya. Dan ini yang penting: ucapannya sesuai dengan tindak-tanduknya.

Sikap nasionalisme itu dia tunjukan dalam berbagai kebijakan di Malinau. Misal, Malinau tidak pernah membeda-bedakan warga pribumi atau pendatang. Semua orang yang sudah ber-KTP Malinau punya hak dan kewajiban yang sama di sana. Kebijakan pemerintah ini sangat penting sebagai pondasi dan teladan bagi seluruh warga.

Misal dalam penyelenggaran pesarta budaya dua tahunan Irau, seluruh suku bangsa yang tinggal di Malinau, diberikan kesempatan unjuk gigi. Bukan hanya diberikan kesempatan, melainkan juga difasilitasi. Sang bupati sendiri yang memotivasi mereka untuk menampilkan ciri khas dari setiap suku tersebut.

Beberapa pejabat sipil dan militer yang pernah bertugas di Malinau, pasti merasakan sikap nasionalisme sang bupati. Pernah ada Kapolres (Kepala Polisi Resort Malinau) yang berasal dari Jawa Barat (Sunda), tak percaya dengan apa yang dilihatnya, yaitu tarian Jaipongan bisa tampil dalam Irau. Penampilnya adalah warga Malinau keturunan Jawa Barat. Pun demikian seorang Dandim yang berasal dari suku Jawa, menyaksikan hal serupa di sana, dan memantik keharuan nilai kebangsaan.  

Selama enam tahun bersahabat dengan YTP, saya merasakan sendiri betapa nasionalisnya sang bupati. Semangatnya selalu berkobar-kobar setiap kali berbicara tentang Indonesia. Dia mendambakan Indonesia yang maju dan sejartera. Sesuai dengan motonya untuk Malinau: berubah, maju, dan sejahtera.

Kabupaten berwilayah besar di perbatasan yang baru mekar, yang sebelumnya nyaris tak terdengar (namanya kalah pamor oleh Malino di Sulawesi Selatan), namun kini sudah boleh bertepuk dada dan percaya diri. Perekonomian selalu meningkat, kesejahteraan main merata, geliat warga lokal makin bergairah, dan semangat pemberdayaan begitu membuncah.

YTP punya visi besar sebagai seorang pemimpin yang berasal dari kabupaten terpencil. “Think global, act local” menjadi salah satu patokannya. Jangan heran jika kemudian sosoknya menasional. Dia jadi salah satu kepala daerah terbaik 2017 versi Majalah Tempo. Dia menjadi Ketua DPD Partai Demokrat Kaltara. Bahkan sejak Mei 2020, YTP dipecraya SBY dan AHY sebagai Wakil Ketua Umum Partai Demokrat. Posisi yang tidak sembarangan. Pada pilkada 2020 ini, YTP pun maju sebagai Cawagub Kalimantan Utara.

 

Kembali ke bendera merah putih jelang HUT RI 17 Agustus ini. Malinau bergeliat dengan semangat yang khas dalam kebangsaan. Semangat yang ditularkan oleh pemimpinnya. Satu orang satu bendera menjadi simbol bahwa sebagai rakyat Indonesia, harus selalu menanamkan jiwa nasionalisme dalam dadanya.

Semangat yang penting ini justru lahir dari kabupaten terpencil di perbatasan. Suatu bentuk nasionalisme level dewa. Indonesia akan hidup sepanjang masa, selama masih ada ‘merah putih’ di setiap dada rakyatnya. Dan itu dimulai dengan cara memiliki lalu mengibarkannya...

 Lagu Bendera, karya grup band Cokelat pun langsung terngiang di telinga.

--------------

Merah putih teruslah kau berkibar...
Di ujung tiang tertinggi di Indonesiaku ini...
Merah putih teruslah kau berkibar...
Kuakan selalu menjagamu...

--------------