Saya Buzzer, Tapi Bukan Jokower

Zaman sekarang ini, Jurnalis pun tidak menutup kemungkinan untuk menjadi seorang buzzer, apa lagi situasi dan kondisinya sangat memungkinkan. Toh profesi tersebut tidak ada yang dilanggar.

Rabu, 9 Oktober 2019 | 22:11 WIB
0
587
Saya Buzzer, Tapi Bukan Jokower
Ilustrasi: Buzzer politik Indonesia. | www.bizlaw.id

Seorang teman yang juga penulis sangat panas kupingnya ketika Tempo meminta agar buzzer Istana ditertibkan. Salah apa buzzer kok harus ditertibkan. Boleh gak kalau kita bilang Tempo harus ditertibkan, karena sudah melecehkan kepala negara dengan illustrasi sampul depannya.

"Saya ini buzzer yang sering terima bayaran dari korporasi, saya juga pernah jadi buzzer Istana, sewaktu Pilpres kemarin, tapi saya bukan Jokower lho.." katanya.

Terus saya biarkan dia mengeluarkan uneg-unegnya terhadap Tempo, yang diplesetkan menjadi Tempe.

"Saya tanya sama kamu, kenapa itu Tempe menyerang buzzer Istana..karena sakit hati diserang sama buzzer Jokowi, saya meskipun bukan Jokower..saya juga marah kalau kepala negara dilecehkan seperti itu". Ujarnya lagi.

Memang pada Pilpres 2019 dia kerap terima order untuk menulis tentang pasangan Jokowi-Ma'ruf, tapi saya pikir sebagai seorang buzzer profesional wajar saja sih dia menerima pekerjaan tersebut, toh dia mengakui bukan pendukung fanatik Jokowi.

Selepas Pilpres dia tetap menjalankan profesinya sebagai buzzer dari korporasi. Tidak bisa dipungkiri di zaman internet, dan, media sosial membuka peluang berbagai profesi, dan itu pilihan hidup yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Apakah menjadi buzzer politik bisa merusak reputasi seorang buzzer.? Memang makna buzzer menjadi peyoratif karena keterlibatan buzzer dalam politik.

Ada yang berpendapat, keterlibatan buzzer di Indonesia dalam peristiwa politik telah berkontribusi negatif terhadap citra dan pemaknaan khalayak terhadap buzzer.

Perilaku seperti itu bukan cuma dilakukan oleh buzzer Jokowi, buzzer lawan politik pun sama. Kita pernah tahu seperti apa Saracen mengelola berbagai akun "hantu" untuk menyebarkan berita hoaks, untuk menyerang Jokowi.

Ada satu group yang sama dengan lebel Muslim Cyber Army (MCA), dan beberapa media online yang lahir hanya untuk kebutuhan Pilpres, yang seperti ini malah tidak ada yang gubris saat itu, kenapa baru sekarang buzzer Istana dianggap perlu ditertibkan.

Kenapa Tempo saat itu tidak gerah dengan buzzer lawan politik Jokowi.? Disinilah persoalannya, mungkin Tempo kehilangan netralitasnya untuk melihat sesuatu secara objektif. Tempo butuh sesuatu yang bombastis untuk meningkatkan traffic pembacanya.

Atau jangan-jangan Tempo sendiri sudah menjadi buzzer suatu kelompok, yang sengaja untuk mendeskreditkan Pemerintah.?

Kegelisahan seperti inilah yang dialami teman saya diatas, meskipun dia bukan Jokower garis keras, namun dia tidak bisa terima pelecehan tempo terhadap fisik Presiden Jokowi.

"Kalau Mau kritik Presiden, kritiklah kebijakannya, jangan lecehkan fisiknya..memvisualkan sosok Presiden dengan narasi yang negatif itu tidak elok buat media sekelas Tempo, dulu Tempo tidaklah seperti itu, mau naikkan traffic pembaca, carilah cara yang halal, dan tidak melanggar Kode etik Jurnalistik". Katanya lagi.

"Jadi kamu kritik Tempo bukan sebagai buzzer Istana nih". Tanya saya.

"Ya gaklah..kan Pilpres sudah selesai..ini cuma karena rasa kemanusiaan saya terganggu, carilah makan dengan cara yang benar..saya meskipun pernah jadi buzzer Istana, tapi saya juga tidak membabi buta dalam menyerang lawan politiknya". Sambung teman saya lagi.

Buzzer juga manusia, dan punya rasa kemanusiaan, bukan semata-mata karena menerima bayaran, terus harus berbuat sesuai dengan pesanan. Tidak Semua ternyata seperti itu.

Sangat sadar terhadap apa yang disuarakan, dan tahu dampaknya terhadap persatuan. Dalam berbangsa, persatuan tetaplah yang nomor satu, toh buzzer tetap profesional, siapapun yang membutuhkan, disitulah dia bekerja.

Memang ada buzzer yang militan, yakni pendukung militan dari tokoh yang dikaguminya. Disamping sebagai pendukung, dia pun menerima bayaran dari setiap aktivitas yang dilakukannya.

Ada dua kategori buzzer, ada buzzer Idealis, ada juga buzzer Idealis. Teman saya diatas seperti tipe buzzer Idealis.

Buzzer idealis biasanya akan selektif dan pilih pilih dalam mengambil suatu pesana. Dia akan menerima pekerjaan dari klien yang sesuai atau cocok dengan hati nuraninya dia aja bukan semata mata di bayar.

Buzzer komersil biasanya akan mengambil pekerjaan apa aja asalkan ada sesuatu yg bisa di dapat. Bisa uang , bisa juga tiket liburan dan lain sebagainya.

Kalau saya jadi buzzer, saya akan jadi buzzer yang idealis. Tidak sepenuhnya memenuhi pesanan sesuai yang diinginkan, yang penting apa yang disampaikan tepat sasaran.

Zaman sekarang ini, Jurnalis pun tidak menutup kemungkinan untuk menjadi seorang buzzer, apa lagi situasi dan kondisinya sangat memungkinkan. Toh profesi tersebut tidak ada yang dilanggar.

***