Kenapa Jokowi Bilang Banjir Lebih Mudah Ditangani Kalau Jadi Presiden?

Anggaran pembelian lahan dan naturalisasi Dinas SDA "cuma" 960M, tak sampai 1T. Bandingkan dengan anggaran trotoar atau Formula E yang 1.6T. Bukan hal bagus dari sisi prioritas dan etika.

Sabtu, 4 Januari 2020 | 13:04 WIB
0
391
Kenapa Jokowi Bilang Banjir Lebih Mudah Ditangani Kalau Jadi Presiden?
Joko Widodo (Foto: Kompas.com)

Banjir Jakarta di awal tahun 2020 ini kembali memicu polemik. Tapi kali ini saya tak akan bahas soal ini, melainkan soal pernyataan Jokowi karena mungkin belum banyak yang tahu cerita di baliknya.

Dalam wawancaranya hari ini Anies mengatakan,

"...selama air dibiarkan dari selatan masuk ke Jakarta dan tidak ada pengendalian dari Selatan, maka apa pun yang kita lakukan di pesisir termasuk di Jakarta tidak akan bisa mengendalikan airnya."

Anies benar. Usaha di hulu harus dilakukan seiring perbaikan di hilir. Hal ini pun sudah disadari bahkan sudah dieksekusi Jokowi sejak ia masih duduk di Balaikota.

Januari 2014 saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI, Jokowi pernah mengadakan rapat koordinasi dengan Gubernur Jabar saat itu, Aher, dan KemenPU, tentang pembangunan 2 waduk di Jawa Barat. Lokasinya di Sukamahi dan Ciawi. Inilah bagian dari solusi pencegahan banjir Jakarta di sisi hilir.

Saking ngebetnya agar cepat selesai, waktu itu bahkan Pemprov DKI bersedia menanggung beban biayanya. Sayangnya, keinginan Jokowi ini sebetulnya menabrak birokrasi.

Ya, karena secara aturan, sulit bagi Pemprov DKI bisa membeli lahan di luar wilayahnya. Apalagi pembebasan lahan memang jadi kewajiban pemda setempat. Sementara APBD Jabar sendiri tak sebesar DKI. Pada akhirnya, rencana 2 waduk itu "kurang tenaga".

Jadi jangan heran kalau ucapan di atas meluncur dari lisan Jokowi. Ia sudah merasakan betul bahwa penanganan banjir Jakarta memang tidak bisa "digerakkan" Pemprov DKI sendiri. Karena kegiatan ini perlu koordinasi lintas instansi, yaitu KemenPU, Pemprov DKI dan Pemprov Jabar.

Idealnya, inisiatif penanggulangan banjir DKI digerakkan oleh Presiden. Karena memang hanya Presiden lah yg punya kuasa "mengendalikan" kementerian dan menekan Pemerintah Propinsi.

Di hulu, pembuatan 2 waduk berfungsi sebagai penyangga bagi Ciliwung. Sehingga limpahan air dari Ciliwung tidak langsung masuk ke Jakarta, melainkan ditampung dulu di dua waduk tersebut.

Tak tanggung-tanggung, kini memang Pemerintah Pusatlah yg ambil alih semua pembiayaan demi mempercepat pembangunan. Ya, semua, baik 1.2T untuk pembebasan lahan maupun 1.2T untuk konstruksi.

Inilah contoh nyata bagaimana kuasa Presiden Jokowi mampu memangkas kendala birokrasi yg dulu dirasakan "Gubernur" Jokowi, dirinya sendiri. Karena dengan kuasanya, Presiden lebih mudah bermanuver menyelami arus birokrasi.

Sementara, di hilir, normalisasi memang sudah dijalankan. Artinya, lengkaplah usaha perbaikan hulu-hilir di periode 2012-2017.

Permasalahannya, seiring pergantian Gubernur DKI, ada perubahan kebijakan di hilir. Anies menolak normalisasi. Apa akibatnya? 2 tahun belakangan ini normalisasi mandek sementara naturalisasi "ngambang". Pergubnya sendiri baru muncul April 2019.

2 Waduk ditargetkan selesai di 2020. Tapi sayangnya, 2 tahun ini normalisasi macet di kisaran 50%. Masih ada 16 km dari 33 km Ciliwung yg pembebasan lahannya harus dikebut. Karena sewaktu Menteri Basuki dan Gubernur Anies melakukan inspeksi udara, mayoritas area yg sudah dinormalisasi relatif lebih baik keadaannya.

Terlepas pilihan naturalisasi, normalisasi atau kombinasi, jangan sampai tiap tahun berjalan tanpa kemajuan sehingga penduduk jadi korban. APBD 2020, anggaran pembelian lahan dan naturalisasi Dinas SDA "cuma" 960M, tak sampai 1T. Bandingkan dengan anggaran trotoar atau Formula E yang 1.6T. Bukan hal bagus dari sisi prioritas dan etika.

Kurangi wacana kata-kata dan beutifikasi semata, 2020 krisis makin nyata, menantang di depan mata. Waktunya gaspol kerja.

***