Psikologi Oposisi

Namanya politisi itu memang gemar tebar pesona dan tebar janji, mereka akan berjanji membangun jembatan walaupun tidak ada sungai di sana.

Sabtu, 19 Oktober 2019 | 07:56 WIB
0
366
Psikologi Oposisi
Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Foto: Kompas.com)

Saya bisa memahami kenapa Partai Gerindra masuk kabinet.

Semua langkah Gerindra adalah agar solid secara internal dan tidak gaduh di dalam.

Karena tujuan soliditas inilah mengapa Sandiaga Uno kembali ke Gerindra dan Prabowo mengatakan akan melakukan yang terbaik untuk Gerindra. Nalar politisi yang begitu bisa dimaklumi.

Dimaklumi bukan berarti dibenarkan, dimaklumi karena Prabowo berbicara sebagai politisi dan ketua dewan pembina partai, bukan sebagai negarawan. Jangan kebalik.

Saya juga bisa memhami kenapa Demokrat merapat ke Istana, karena memang Demokrat perlu menyelamatkan nasib mereka 2024 terutama nasib karir politik putra mahkota nya AHY yang sedang diujung tanduk dan di pileg lalu mereka kehilangan jutaan suara.

Begitu juga dengan sikap PAN yang sampai saat ini mengatakan akan beroposisi, ini terdengar normal saja karena PAN adalah partai papan bawah yang harus kerja keras untuk tetap eksis. Saat arus bawah PAN ingin oposisi maka PAN akan oposisi, tapi jika arus bawah PAN nanti ingin koalisi maka PAN akan koalisi.

Demikian juga dengan PKS, saya tidak setuju PKS mengatakan opsosisi karena syarat oposisi mereka tidak memenuhi syarat, PKS adalah partai 3 besar papan bawah yang kursinya hanya 50 dan tidak akan berpengaruh banyak di parlemen.

Jangankan mau "melawan" penguasa, memikirkan nasibnya sendiri saja sangat kewalahan agar tetap bisa eksis di 2024. Maka di titik ini, PKS sangat logis dan akan memilih mengutamakan suara arus bawah PKS yang memang terkenal militan anti penguasa.

Beroposisi bagi PKS belum tentu membuat partai ini besar, tapi berkoalisi dengan Jokowi dipastikan partai ini akan hancur, maka logisnya adalah berada di luar pemerintahan dan mengikuti selera mayoritas stakeholder PKS yang memang "ekstrem" anti rezim.

Jadi apa yang dilakukan PKS sebenarnya bukan oposisi tapi memilih mudhorot paling kecil untuk nasib mereka 2024. Fikih politik PKS memang begitu. Ditambah lagi, janji kampanye PKS dulu di masa masa proses pileg yang akan memperjuangkan soal SIM dan Pajak Motor bisa dikatakan akan mustahil mampu terealisasi melihat ril kekuatan mereka di Senayan saat ini.

Semua partai saat ini khususnya yang kemarin berada di gerbong 02 lebih kepada sikap menyelamatkan diri masing masing di depan pemilih masing masing agar tidak mengalami degradasi pada pemilu 2024. Sejatinya bukan oposisi, karena sama sekali tidak memenuhi syarat.

Oposisi itu konotasinya adalah langkah mengedepankan rakyat di atas partai dan pribadi, bukan langkah cari aman untuk tetap eksis dan tidak punah ditinggal pemilih. Maka syarat ini tidak ada di 2 partai yang saat ini mengaku oposisi (PAN & PKS).

Apalagi, tanpa semua partai kubu 02 sebenarnya koalisi Jokowi 5 tahun mendatang sudah sangat solid dan kuat, ditambah lagi koalisi ini didukung media dan militer. Jadi koalisi 01 sebenarnya sangat tidak membutuhkan kubu 02 dari awal.

Namun, agar rezim Jokowi ini tidak terlihat serakah, tidak monopolistik, dan rakyat tidak terpecah. Maka dilakukanlah langkah langkah "merangkul" 02 dengan imbalan recehan kursi kursi sisa dan jabatan jabatan "buangan".

Misal kursi wakil ketua DPR dan kursi wakil ketua MPR yang didapat Gerindra. Sedangkan jabatan yang besar besar jangan beraharap Gerindra dapatkan. Karena yang besar besar dan kakap tetap top priority nya kepada partai koalisi 01.

Semua partai hanya sedang menyelamatkan diri masing masing, makanya saya melihat 2019-2024 oposisi itu sama sekali tidak ada. Yang ada adalah partai partai yang terus mengaku oposisi agar terlihat militan didepan pemilihnya, padahal deal deal politik di belakang meja terus berjalan.

Namanya politisi itu memang gemar tebar pesona dan tebar janji, mereka akan berjanji membangun jembatan walaupun tidak ada sungai di sana (Margareth Tratcher).

Tengku Zulkifli Usman, Analis Politik.

***