Anak Muda dan Media dalam Menjaga Persatuan Pasca Pemilu

Salah satu langkah konkrit yang bisa dilakukan adalah, stop menanyakan “kemarin milih siapa?” bergaulah seperti biasanya, yang pasti tetaplah bersikap kritis atas dasar peduli Indonesia.

Selasa, 16 Juli 2019 | 08:53 WIB
0
426
Anak Muda dan Media dalam Menjaga Persatuan Pasca Pemilu
Milenial (Foto: Muslim Obsessiom)

Di era digital ini, media semakin di mudahkan dalam menyebarkan beragam informasi, pelan tapi pasti berita di media konvensional perlahan ditinggalkan dan masyarakat mulai mengakses segala informasi dari gawai yang dimilikinya.

Dalam ranah media online, kuantitas bisa menjadi lebih penting daripada kualitas, berbeda dengan media mainstream seperti media cetak yang harus menunggu 24 jam untuk terbit, sedangkan media online, hampir setiap detiknya mengisi berbagai lini masa sosial media, entah informasi tersebut benar ataupun sesat yang penting informasi tersebut tersampaikan. 

Yang tak kalah berbahaya adalah media yang berisi konten provokatif dan jauh dari kesan sejuk, seperti ajakan untuk tidak patuh terhadap demokrasi, atau ajakan untuk melaksanakan kegiatan yang inkonstitusional.

Dalam hal ini, media dan anak muda memiliki keterkaitan, dimana media menyebarkan berbagai menu informasi dan anak muda merupakan pengguna internet terbanyak yang mengonsumsi informasi yang semakin cepat ditawarkan oleh media.

Jika informasi yang diberikan oleh media merupakan informasi yang meneduhkan, jauh dari kesan provokasi maka hal tersebut akan berimbas pada sikap penerima informasi setelah mengonsumsi berita yang dibacanya.

Namun jika informasi yang disajikan oleh media merupakan informasi hoax dan provokatif, tentu saja hal ini akan membahayakan banyak pihak, karena nada-nada provokasi justru akan berdampak pada konflik antar masyarakat sehingga polarisasi antar pihak tidak terelakkan.

Berita tentang Ratna Sarumpaet misalnya, ketika media menyampaikan berita bahwa dirinya dianiaya, rasa empati pun muncul kepadanya, namun Ratna yang merupakan simpatisan Prabowo – Sandiaga saat itu juga membuat simpatisan lainnya merasa geram dengan kubu Jokowi – Ma’ruf. Polarisasi disini makin jelas.

Namun secara mengejutkan, masyarakat di seluruh Indonesia akhirnya mengetahui bahwa wajah Ratna Sarumpaet sebelumnya telah menjalani operasi plastik, sekalipun berita tersebut terbukti hoax, polarisasi tetap saja muncul bahkan hingga MK membacakan putusan hasil sidang sengketa hasil pemilu.
Kalau sudah begini, apa peran media sebagai penyaji informasi dan anak muda yang merupakan mayoritas peneriman informasi dari media.

Peran Media Pasca Pemilu

Pemilu 2019 yang telah dilaksanakan memang menyajikan berbagai drama yang dapat diberitakan, mulai dari klaim pemenangan, truk kontainer, petugas KPPS yang meninggal, hingga ancaman untuk melaporkan sengketa Pemilu ke mahkamah internasional.

Saat ini media bisa diibaratkan seperti dapur berbagai fakta dan pendapat, media memiliki kuasa untuk mengunggah berita apapun, bahkan kelompok ormas juga bisa membuat media baik melalui platform ataupun melalui sosial media yang memang digandrungi oleh anak muda.

Media juga mendapatkan tugas tambahan untuk menjaga kestabilan politik, karena seperti selayaknya makanan, jika informasi yang diberikan adalah informasi yang sarat gizi, tentu pihak penerima produk media berupa berita maupun informasi, akan dapat menyikapi pemberitaan tersebut dengan bijak.

Apalagi Indonesia memiliki keragaman suku bangsa dan agama sampai pandangan politik, media juga dituntut harus mampu menjadi forum yang tidak menyinggung terkait SARA.


Selain memberikan informasi, media baik media massa maupun elektronik, sudah semestinya menjadi lembaga pendidik bagi masyarakat luas.

Peran Anak Muda Pasca Pemilu

Anak muda juga tidak boleh abai terhadap perkembangan politik, karena anak muda-lah yang nantinya akan menjadi pengambil kebijakan beberapa tahun kemudian untuk menggantikan seniornya.

Anak muda memiliki peran dalam mengakhiri drama Pilpres, setidaknya di lingkungan terdekatnya, ajak kembali kawan yang tadinya beda pilihan, traktir ngopi kalau perlu, atau ajak Nobar ketika ada pertandingan sepakbola. Keterlibatan banyak orang dalam hobi yang sama tentu akan mendistraksi perbedaan pilihan.

Salah satu langkah konkrit yang bisa dilakukan adalah, stop menanyakan “kemarin milih siapa?” bergaulah seperti biasanya, yang pasti tetaplah bersikap kritis atas dasar peduli dengan Indonesia, bukan kritis karena terprovokasi oleh berita yang diragukan kebenarannya.

Pastinya anak muda perlu menyadari, bahwa kubu Jokowi sedang bersiap untuk merumuskan kabinet yang akan membantunya dalam periode kedua. Sedangkan kubu Prabowo tengah berusaha legowo atas putusan MK yang tidak mampu menggeser posisi petahana dari kursi kepresidenan. Setuju atau tidak setuju itulah demokrasi.

***