Ironi Sang Pemula, "Monyet" dalam "Bumi Manusia"

Setelah Indonesia merdeka, peran kesejarahan Tirto Adhi Surjo sebagai "Sang Pemula" kurang diakui bangsanya sendiri; tidak mendapat tempat dalam historiografi Indonesia modern.

Minggu, 25 Agustus 2019 | 12:52 WIB
0
774
Ironi Sang Pemula, "Monyet" dalam "Bumi Manusia"
Buku

"Siapa kasih kowe ijin datang kemari, monyet !"
"Kowe kira, kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet !"........... (Herman Mellema kepada Minke, dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer).

Saya tidak menonton film 'Bumi Manusia'-nya sutradara Hanung Bramantyo, yang lagi laris di kalangan penonton remaja, generasi millenial.  Kata teman yang sudah menonton, film yang diangkat dari novel Pramoedya Ananta Toer itu memang "disesuaikan" dengan selera millenial saat ini.

Saya tidak menonton filmnya, hanya baca bukunya, sejak pertama kali diterbitkan tahun 1985, yang diberikan sendiri oleh pengarangnya, Pramoedya Ananta Toer, bersama bukunya yang lain, SANG PEMULA (1985).

'BUMI MANUSIA' adalah sekuel dari tetralogi ('Bumi Manusia', 'Anak Semua Bangsa' , 'Jejak Langkah', dan 'Rumah Kaca'), mahakarya Pramoedya Ananta Toer selama masa pembuangannya di Pulau Buru, yang membuat pengarangnya masuk nominasi peraih Nobel Sastra.

Saya baca berulangkali tetralogi ini.... dan selalu terpukau, khususnya kepada tokoh utamanya, MINKE.

Baca Juga: "Bumi Manusia" Panggung untuk Nyai Ontosoroh

Kita semua tahu, Minke adalah jelmaan fiksi dari tokoh historis, R.M. Tirto Adhi Soerjo (TAS), salah satu perintis nasionalime Indonesia modern, juga "bapak pers" pelopor jurnalistik di Indonesia. Dia juga perintis dalam banyak bidang lain....."Sang Pemula" !

Seakan sudah menjadi takdir.  Setiap perintis atau pemula, yang menjembatani "dunia lama" menuju "dunia baru", akan menghadapi dilema yang sama. Dia tercerabut dari dunia lamanya, teralienasi; tapi juga tidak sepenuhnya diterima di dunia baru. 

Bahkan di dunia baru itu, dia akan mengalami berbagai reaksi negatif, termasuk yang bernada rasialis, seperti yang dialami tokoh TAS dan Minke.

Seperti ditulis Prof. Dr. A. Teeuw, tokoh Minke dalam 'Bumi Manusia' "....menampilkan kelahiran manusia Indonesia modern, langsung menembus derita ganda: perpisahan pahit dengan dunia feodal tradisi Jawa, dan penghinaan konfrontasi terhadap sistem kolonial dalam wajah aslinya yang jahat....".

Maka bukan tanpa alasan Pram memilih nama Minke sebagai plesetan 'monkey' (monyet). Itulah cara Pram mengejek rasialisme yang dipraktikan kolonial Belanda, yang menganggap rendah pribumi Jawa.

"Pramoedya Ananta Toer mengangkat persepsi orang Eropa tentang orang Jawa sebagai monyet-monyet ke dalam tingkat retorika yang lebih tinggi", tulis Prof. Frances Gouda dalam bukunya, DUTCH OVERSEAS, Colonial Practice in the Netherlands Indies, 1900-1942.

Rasialisme yang begitu nyata, tulis Frances Gouda, tercermin dari ungkapan Belanda yang populer masa itu : "...al draaght een aap een gouden ring, het is en blijft een lelijk ding" (walaupun mengenakan cincin emas, seekor monyet tetap saja makhluk buruk rupa)!

Itulah nasib yang dihadapi Minke, tokoh fiksi dalam ' Bumi Manusia', sekaligus tokoh historis Tirto Adhi Soerjo, seperti diuraikan Pramoedya dalam karya nonfiksinya, sebuah kajian sejarah yang menantang, SANG PEMULA (Hasta Mitra, 1985).

Baca Juga: Film "Bumi Manusia" Karya Pramoedya dan Evolusi Indonesia

Ironisnya, perannya sebagai perintis nasionalisme Indonesia modern, sengaja dihilangkan dalam dokumen sejarah yang dibuat Belanda. Hal itu bisa dimaklumi. Bukankah sejarah Indonesia era itu "ditulis dari loji-loji gudang dan di atas geladak kapal-kapal VOC", seperti kata sejarawan van Leur?!

Pramoedya mengungkapkan (berdasarksn dokumen dan data historis) bahwa C. Snouck Hurgronje, G.A.J. Hazeu dan D.A. Rinkes adalah para ilmuwan Belanda pengabdi politik kolonial yang telah membuat kesengajaan, sehingga seorang inisiator utama kebangkitan nasional seperti Tirto Adhi Soerjo menjadi 'non-person' dalam sejarah bangsanya sendiri.

Tapi lebih ironis lagi, setelah Indonesia merdeka, peran kesejarahan TAS sebagai "Sang Pemula" juga kurang diakui bangsanya sendiri; tidak mendapat tempat yang proporsional dalam historiografi Indonesia modern.

Itulah nasib, ironi sekaligus tragedi yang dialami tokoh historis Tirto Adhi Soerjo (TAS) dalam 'SANG PEMULA', sekaligus tokoh fiksi Minke dalam 'BUMI MANUSIA" dan sekuelnya.

Memang, Tirto Adhi Soerjo dan Minke adalah tokoh yang sengaja "dilupakan dan terlupakan"! 

***