Pemilu Damai sebagai Upaya Menjaga Reformasi

Minggu, 24 Februari 2019 | 09:57 WIB
0
587
Pemilu Damai sebagai Upaya Menjaga Reformasi
Ilustrasi Bersatu lawan intoleransi, radikalisme, dan terorisme/desain:Sukarja diolah dari Freepik.com

Pemilihan Umum atau kita biasa memendekkannya dengan sebutan Pemilu adalah salah satu cara untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdemokrasi.

Sebuah negara bisa disebut menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, apabila di negara tersebut adanya jaminan dalam kebebasan berpikir dan berpendapat. Dan, dari semua itu, salah satunya diwujudkan dengan adanya pemilu.

Namun, apa yang kita alami selama Pemerintahan Orde Baru (1967-1998), sepertinya pemilu hanya dijadikan sebagai alat melegitimasi Pemerintahan yang berkuasa.

Tak ada kesimbangan dalam kekuatan politik. Bahkan, Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ketika itu masih bernama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang terdiri dari 3 angkatan dan Polri bersama Pegawai Negeri Sipil (PNS) berada dalam satu kekuatan, yaitu Golongan Karya yang tak lain sebagai kendaraan politik Penguasa Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.

Ketika itu, jika dipandang dari luar, Indonesia memang dianggap sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Namun, ketika kita sendiri melihatnya dari dalam, ternyata kita bukanlah negara demokrasi.


Pemilu Pasca-Reformasi

Rakyat dan bangsa Indonesia baru benar-benr mulai merasakan arti sebuah demokasi ketika diselenggarakannya pemilu pertama setelah reformasi, tepatnya 7 Juni 1999.

Entahlah, ada makna apa pemilu pasca-Reformasi itu diselenggarakan di tanggal 7 Juni?

Penulis melihatnya, tanggal 7 Juni ini begitu istimewa, mengingat tanggal 6 Juni dan tanggal 8 Juni merupakan tanggal yang istimewa, yakni 6 Juni sebagai hari kelahiran Presiden Pertama RI Sukarno, sedangkan tanggal 8 Juni adalah tanggal kelahiran Presiden Kedua RI Soeharto.

Apa pun alasanya, yang paling penting adalah bahwa alam demokrasi di Tanah Air ini sudah mulai tubuh, dan kita sendiri yang akan mengembangkan dan menyuburkannya di masa mendatang.

Bayangkan saja, ketika keran demokrasi itu dibuka lebar-lebar, tak mengherankan jika ada 48 partai politik yang mengikuti pemilu di tahun 1999, sedangkan sebelumnya Pemilu hanya diikuti 2 partai dan satu Golkar.

Dari setiap pemilu ke pemilu berikutnya, jargon pemilu damai akan terus menjadi jargon yang terus disuarakan.

Alasannya, Pemilu pasca-Reformasi ini harus dijaga agar tetap menjadi pemilu yang damai. Kualitasnya akan terus ditingkatkan, dan itulah yang membedakannya dengan pemilu di masa Orde Baru.

Tak perlu ada lagi kecurigaan terhadap penyelenggara pemilu, yang saat ini dipegang Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen, dengan fungsionaris yang juga dipilih secara independen. Begitu pula, ada pihak-pihak yang mengawasipelaksanaannya, yang dipilih dan dingakat juga secara independen.

Hal ini jelas berbeda ketika pemilu diadakan di masa orba, dimana penyelenggara pemilu adalah Kementerian Dalam Negeri, yang tak lain berada di bawah penguasa Orde Baru sendiri.

Pemilu damai adalah sebuah harapan untuk hidupnya sebuah demokrasi. Pemilu damai adalah upaya agar kita tak lagi kembali ke masa lalu, dimana demokrasi hanya sebuah slogan belaka.

Pemilu damai adalah upaya untuk menjaga apa yang telah dilakukan para pejuang reformasi agar bisa terus berjalan dalam koridornya yang benar, dan tidak justru kembali ke masa-masa yang otoritarian, seperti yang terjadi pada pemerintahan di era Soeharto, yang menurut beberapa aktivis, sangat kejam sehingga bangsa Indonesia jangan pernah kembali ke masa tersebut.

"Otoriter itu kejam, jangan kita kembali ke masa-masa itu. Ini pesan saya di usia lanjut, tolong pertahankan demokrasi, konsolidasikan demokrasi, canangkan dengan baik, jangan kebelinger," kata Jimmy Siahaan, aktivis 77 dan 78, dalam diskusi bertema "Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa" di Jakarta, Rabu (2/5/2018).

Reformasi sudah berjalan hingga 20 tahun. harus diakui, bahwa cita-cita reformasi belum selesai, dan masih harus terus diperjuangkan.

Tantangan yang kita hadapi pun terus berkembang, mulai dari intoleransi, radikalisme, dan juga terorisme. Semua itu harus dihadapi secara bersama-sama. Kalau kita kalah, maka sia-sia sudah reformasi yang digulirkan para mahasiswa 20 tahun lalu.

Hal senada juga dikatakan aktivis 98 Eli Salomo Sinaga dalam Deklarasi Pemilu Damai yang diselenggarakan PepNews bahwa di negeri ini, tak perlu lagi ada ruang untuk intoleransi, radikalisme, apalagi terorisme.

Mengapa? Karena segala perbedaan dan caranya sudah memiliki wadahnya, yaitu melalui proses pemilu. Dalam pelaksanaan pemilu hingga terpilihnya pemenang pemilu, ada kewajiban semua warga negara, baik yang akan dipilih maupun yang akan memilih untuk sama-sama menjalankan proses kontestasi tersebut dalam semangat persatuan nasional, dan bukan justru menyuburkan perpecahan nasional.

Oleh karena itu, tak ada alasan lain, bahwa pemilu damai merupakan tugas kita semua untuk menyebarkannya, karena itulah upaya kita untuk tetap menjaga kokohnya NKRI.

Salam dan terima kasih!

***