Damai Tidak Selalu Lahir karena Diam

Minggu, 24 Februari 2019 | 10:11 WIB
0
532
Damai Tidak Selalu Lahir karena Diam
Wajah ceria teman-teman penulis di acara Deklarasi Penulis untuk Pemilu Damai - Foto: PepNews

"Banyak yang cinta damai, tapi perang semakin ramai." Penggalan lirik lagu Perdamaian yang dipopulerkan Gigi tersebut rasanya sangat relevan dengan situasi hari ini.

Saya sendiri masih berusaha untuk berdamai. Minimal di kehidupan rumah tangga, damai mengurus buah hati, suami, pekerjaan rumah tangga, juga diri sendiri. Karena bagaimana bisa kita bercita-cita mewujudkan perdamaian bangsa atau, misalnya, berbicara menciptakan pemilu yang damai jika dalam lingkup rumah tangga saja masih mengedepankan emosi.

Menurut saya pribadi, damai itu bisa terwujud dengan sikap tidak memaksakan. Karena sesuatu yang dipaksa itu tidak enak bukan?

Misalnya nih, anak sedang tidak mau makan. Daripada memaksanya membuka mulut, mungkin bisa ajak ia melakukan kegiatan lain dulu atau berikan ia pilihan mau makan apa.

Atau ketika badan sudah lelah, saya tidak pernah memaksakan diri untuk masak atau melakukan pekerjaan rumah lainnya. Saya bisa istirahat atau melakukan hobi saya sementara, menjahit, membuka berbagai marketplace yang menggiurkan atau sekadar keluar rumah ngobrol-ngobrol dengan tetangga.

Daripada saya stres dan kemudian meluapkan emosi pada anak dan suami kan? Nanti siapa yang bayar belanjaan online saya? Hehe..

Nah, dalam berdemokrasi pun saya pikir tidak jauh berbeda. Buat apa kita ngotot memaksakan pilihan kita pada orang yang sudah bulat memiliki pilihan jagoannya? Tidak ada gunanya.

Biarkan saja jika ia memang sudah yakin. Tapi apakah, dengan begitu kita jadi hanya diam, saja? Tidak juga, ini bukan ajakan untuk diam. Malah kita harus lebih lantang bersuara.

Kumandangkan kelebihan jagoan kita, kemukakan apa saja alasan kita memilihnya, prestasi, rekam jejak dan program kerjanya.

Perkara ada yang tidak suka, tidak setuju atau mengejek, biar jadi urusan orang tersebut saja. Terdengar mudah ya, namun, tidak semudah itu memang untuk dilakukan.

Saya pribadi sesekali terpancing emosi kok, gemas sekali ada orang fitnah, sebar hoaks seenaknya. Tapi saya yakin masyarakat kita hari ini jauh lebih maju dan bisa melihat mana yang layak dipilih dan dipercaya.

Pada acara Deklarasi Penulis Untuk Pemilu Damai, 17 Februari 2019 lalu, salah seorang penulis wanita, Mbak Lia Yuniar menyampaikan pengalamannya terkait pandangan orang-orang terdekat terhadapnya yang dikenal sering menyampaikan unek-uneknya di media sosial.

Ketika mendengarnya bercerita tentang ibunya yang menganjurkan Mbak Lia supaya jangan 'bicara macam-macam' di media sosial, sebenarnya saya tersenyum dalam hati karena ibu saya pun kerap kali, memberi petuah serupa.

"Ga usah tulis macem-macem lah neng, takut nanti ada masalah. Mendingan fokus urus anak suami aja udah", begitu nasihatnya di telepon.

Saya pribadi mengerti kekhawatirannya, banyak sekali ibu-ibu korban UU ITE yang harus berakhir berurusan dengan pihak berwajib. Namun di lain sisi, saya pikir pada situasi tertentu kita perlu bersuara, entah itu berupa kritik, apresiasi, niatkan saja menyebarkan semangat, optimisme juga nilai-nilai positif. Anggap saja sedang mewariskan peradaban, yang lebih baik untuk generasi kita.

Seperti juga disinggung oleh salah satu pembicara di acara yang berlangsung pekan lalu itu, Eli Salomo, bahwa orang-orang memang perlu bersuara sepanjang itu membawa dampak penting untuk banyak orang.

"Reformasi, dulu lahir pun karena ada yang mau bersuara dan ada yang mau menyuarakan masalah yang menggurita dan sangat sulit dilawan," kata aktivis 1998 itu. "Kalau semua diam, tidak ada ada perubahan, dan mungkin kita masih dalam cengkeraman kezaliman."

Sekarang, kata Eli Salomo, kita beruntung karena memiliki realitas yang jauh lebih baik. Mau melempar kritikan dan saran kepada pemerintah tidak sesulit dulu. Kebebasan bersuara lebih terjamin. "Kalau dulu orang-orang melempar kritikan seperti maraknya di media sosial hari ini (mengecam pemerintah, misalnya) bisa-bisa tinggal nama," katanya lagi.

Jadi, salah satu yang perlu disyukuri hari ini adalah kedamaian yang terjamin oleh kebebasan tersebut. Namun kebebasan itu sendiri, entah dalam berpendapat dan sejenisnya, jangan sampai menjadi bumerang, salah kaprah, hingga merusak kedamaian itu sendiri.

Pemaparan Eli Salomo dan cerita-cerita dari para peserta di acara yang mengusung tema Deklarasi Damai Penulis Indonesia, meninggalkan banyak ilham kepada saya dan teman-teman.

Itu juga saya simak dari obrolan bersama teman-teman.

Menjelang pulang seusai acara tersebut, saat berbincang dengan beberapa teman, di pojokan ruang makan di Hotel Santika, Slipi, sempat berbicara sebentar dengan Mbak Riap Windhu dan Andi Mirati Primasari. Mereka juga sepakat kalau acara yang mengusung ide seputar kedamaian ini perlu dan memang dibutuhkan. Sebagai pengingat atau rambu-rambu untuk para penulis.

"Kalau ikut acara seperti ini tuh, membantu kita untuk bisa ingat lagi, di luar perkara cari duit lewat penulisan, penulis memang perlu mengakrabkan sesuatu yang berharga untuk pembaca. Cerita tentang damai, salah satunya," kata Mbak Windhu saat itu.

Begitu juga Mbak Mirati, dia sempat menunjukkan harapannya, semoga saja PepNews dapat mengorganisasikan para penulis untuk dapat menciptakan berbagai hal yang dibutuhkan banyak orang. "Acara begini bisa bikin kita bisa saling silaturahmi dan juga memberi kita pandangan-pandangan baru," kata dia.

Bagi saya, acara-acara seperti diadakan PepNews ini sekaligus menjadi salah satu, ibarat kata, penyiram rohani. Sebab sehari-hari berkutat dengan urusan rumah tangga, dan sesekali menulis, di sini justru bisa mendapatkan banyak bahan baru dan menyegarkan pikiran dan sudut pandang.

Terutama sudut pandang yang berhubungan dengan masa depan. Sebab kedamaian itu sendiri adalah masa depan. Jika pikiran-pikiran baik dapat lebih sering dikembangkan, pikiran tentang damai dapat sering ditampilkan kepada banyak orang, saya pikir kedamaian itu sendiri akan lebih punya harapan untuk bertahan hingga jauh ke masa depan.

Ke masa ketika anak-anak yang hari ini bergembira dapat bermain leluasa, kelak pun mereka masih bisa menikmati masa depan dengan kegembiraan. Bebas dari ketakutan. Salam damai.

***