Respon TKN Jokowi-Ma'ruf yang tidak bermanuver memprotes penangkapan para politisi pendukung Joko Widodo pantas berganjar simpati.
Politisi terjaring OTT KPK itu bukan peristiwa luar biasa. Biasa saja. Termasuk OTT Romahurmuzi, politisi muda ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang melejit popularitas pribadinya semenjak ia dan parpolnya pindah haluan mendukung Jokowi. Begitu saya memandangnya.
Politisi -sekelas ketua parpol sekalipun- terjaring operasi tangkap tangan KPK itu cuma persoalan siapa yang sedang apes. Ironi memang. Tetapi begitulah yang terjadi jika politik hanya diisi para politicker, orang-orang yang mengejar kekuasaan bukan demi pewujudan gagasan-gagasannya akan kehidupan publik yang lebih baik.
Yang bikin menarik justru reaksi kawanan politisi terhadap peristiwa OTT tersebut. Kalau kita mengikuti perkembangan berita penangkapan para politisi dalam satu dua tahun terakhir, entah karena kasus asusila, penggunaan narkotik, penipuan, kekerasan, pun korupsi, tampak cukup jelas bahwa ternyata respon terhadap peristiwa itu juga ada polanya, terpolarisasi berdasarkan perkoncoan politik di seputar pilpres.
Kubu pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno lazimnya menanggapi urusan hukum yang menyeret konco-konconya sebagai kriminalisasi. Sebaliknya kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin lebih legawa dan menghormati proses hukum.
OTT Rohmy ini salah satu contohnya. Rohmy adalah tokoh sangat penting di kubu Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Boleh dikatakan ialah tokoh kunci di balik perjodohan capres Joko Widodo dengan cawapres KH Ma'ruf Amin. Silakan Om-Tante periksa lagi berita-berita menjelang penentuan cawapres di kubu Jokowi.
Di masa-masa awal koalisi Jokowi, beberapa pekan sebelum dan setelah pengumuman KH Ma'ruf Amin sebagai cawapres pendamping Jokowi, Rohmy bahkan terlihat sebagai juru bicara utama Jokowi.
Di depan publik, Rohmy lebih terlihat sebagai politisi yang menghubungkan Jokowi dengan para ulama NU dibandingkan Cak Imin misalnya. Gara-gara itu, Rohmy pernah disindir Fadli Zon lewat puisi sebagai makerlar doa.
OTT Rohmy tentu sangat merugikan kubu Jokowi, terutama dalam konteks hilangnya mata rantai penting yang menghubungkan TKN dengan PPP. Boleh saja kita menduga, tanpa Rohmy, akan sulit menjaga sebesar-besarnya onderdil PPP sebagai mesin politik bergerak seirama menyokong pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Maka sudah jelas OTT Rohmy merugikan TKN. Karena merugikan, lazimnya reaksi TKN adalah jengkel, bahkan mungkin pula marah dan menduga macam-macam tentang KPK. Apalagi jumlah duit yang terlibat di balik kasus Rohmy seujung kuku saja dibandingkan kasus-kasus OTT lainnya.
Namun sikap TKN justru legawa. Meski nyatakan turut berempati terhadap Rohmy, TKN menghormati upaya KPK memberantas korupsi dan menyatakan turut mendukung proses yang dilaksanakan KPK.
Sikap kubu Jokowi ini serupa ketika tokoh lain sepenting Rohmy, Mensos Idris Marham dari Golkar jadi tersangka kasus korupsi pembangkit listrik. Idrus menunjukkan itikat baik dengan mengundurkan diri dari jabatannya dan kubu Jokowi sepenuh hati menyerahkan proses hukum berjalan di tangan KPK.
Begitu pula ketika para kepala daerah pendukung Jokowi banyak yang terjerat OTT KPK. Tanpa menuduh KPK memiliki intensi macam-macam, kubu Jokowi membiarkan proses hukum berjalan.
Dengan demikian, tampaklah pola respon kubu Jokowi terhadap kasus-kasus hukum yang menyeret orang-orang di kubunya. Mereka mendukung sistem berjalan sebagaimana mestinya.
Coba bandingkan respon kubu Prabowo-Sandiaga ketika konco-konco mereka yang terlilit kasus hukum. Misalnya saat Komisi Pemberantasan Korupsi mencekal Wakil Ketua DPR asal Partai Amanat Nasional, Taufik Kurniawan. Amien Rais langsung bereaksi menyerang KPK, menuduh KPK melakukan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi.
Tanggapan sejenis dilontarkan anggota BPN lainnya ketika para pendukung Prabowo-Sandiaga, seperti Rizieq Shihab, Bahar bin Smith, Andi Arief, Ahmad Dhani, Buni Yani, dan Rocky Gerung diperiksa polisi atau KPK, baik sekadar dimintai keterangan sebagai saksi pun jadi tersangka. Apapun upaya penegakan hukum terhadap para pendukung Prabowo-Sandiaga, kubu ini mengkampanyekannya sebagai kriminalisasi.
Respon Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf yang tidak bermanuver memprotes penangkapan para politisi pendukung Joko Widodo pantas berganjar simpati.
Dalam pandangan saya, di tengah kondisi korupsi yang seharusnya kejahatan luar biasa justru menjadi kriminal yang banal oleh karena seringnya para pejabat dan politisi tersandung, ukuran untuk menilai komitmen pemberantasan korupsi bukanlah pada ada tidaknya para koruptor di tengah kubu petahana atau penantang.
Ukuran yang lebih pas justru terletak pada apakah masing-masing kubu legawa ketika aparatur berwenang -KPK, kepolisian, dan kejaksaan- memproses hukum orang-orang penting di kubunya.
Adalah lucu ketika ada kelompok menjanjikan akan memberantas korupsi namun bikin ribut dengan pernyataan macam-macam ketika yang terjerat kasus justru anggota kelompoknya. Syukurlah, kubu pendukung Joko Widodo tidak bersikap demikian.
Karena itu, meski menyayangkan Romahurmuzyi terlibat kasus suap ecek-ecek, sikap Jokowi dan TKN justru membuat saya kian yakin, memilih Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dalam pilpres April ini adalah sebaik-baiknya pilihan yang tersedia saat ini.
Bagaimana dengan Anda, Om-Tante?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews