Pernah nonton film Scooby Doo? Bukan. Bukan yang skubidu bambam, skubidu bambam. Itu sih, jenis musik Nasidaria . Tapi ini Scooby Doo yang diambil dari nama seekor anjing pengecut.
Scooby bersama empat temannya biasanya kebagian tugas bagaimana mengusir hantu. Di rumah kosong ada pocong bergentayangan. Atau di sebuah bekas taman bermain.
Demit itu hadir untuk menakuti siapa saja yang masuk ke lingkungan tersebut. Sialnya sebagai anjing menakut, Scooby Doo sering ketiban pulung. Dikejar hantu sampai jumpalitan.
Yang menarik dari film Scooby Doo adalah penjelasan rasional bahwa ada motif di balik setiap peristiwa. Lima sekawan itu akhirnya membongkar irasionalitas hadirnya hantu-hantu tersebut. Menangkapnya dan membeberkan tujuan menakut-nakuti rakyat.
Biasanya yang nyaru jadi hantu adalah penjahat yang tidak menghendaki orang lain berkeliaran di daerah tersebut. Bisa untuk menutupi kebusukannya. Bisa untuk menguasai aset rumah dan gedung. Atau bisa juga ada motif ekonomi lain.
Dia menjadi hantu. Menakuti rakyat dan memetik manfaat dari ketakutan tersebut.
Saya rasa, di Indonesia kini banyak politisi yang masa kecilnya keranjingan nonton Scooby Doo. Dia meniru para penjahat di film itu untuk diterapkan di negeri ini. Kalau rakyat sudah ditakut-takuti dia berharap ketakutan itu akan dimanfaatkan untuk mengkapitalisasi suaranya dalam Pemilu.
Jokowi menyebut perilaku ini sebagai politik Genderuwo. Politik yang suka menakut-nakuti rakyat. Misalnya, menakuti rakyat dengan isu PKI. Menakuti rakyat dengan isu Indonesia akan bubar pada 2030. Menakuti rakyat bahwa orang Boyolali akan diusir kalau masuk ke hotel mewah.
Mereka juga menakuti rakyat dengan bendera hitam yang bertuliskan kalimat tauhid.
Ada juga yang menakuti rakyat soal utang pemerintah. Nanti anak cucunya disuruh bayar utang, katanya. Lho, emang Indonesia baru saja berdiri? Kan berdiri sudah lama. Pernah gak, mereka disuruh bayar utang?
Boro-boro mau bayar utang pemerintah, utang rokok di warung tetangga aja kalau ditagih tar-sok. Ini mau sok-sokan mikirin utang negara. Gaya lu.
Tapi hantu tak selamanya menakutkan. Ada hantu lucu juga, yang membisiki nenek-nenek habis dioperasi plastik untuk mengaku habis digebuki. Ada juga hantu yang menakuti umat Islam dengan bendera tauhid. Padahal itu bendera teroris.
"Kalau yang nyuruh kibarkan bendera itu di Indonesia, jenisnya hantu apa dedemit, mas," Abu Kumkum bertanya. Saya sedang tidak bergairah menjawab.
Politik Genderuwo adalah politik film Scooby Doo. Politisi bangke menyaru jadi hantu menakut-nakuti rakyat. Untung saja rakyat kita sudah cerdas. Meski kadang gigi menggigil juga karena ketakutan, ujung-ujungnya penyamaran mereka pasti terbongkar. Seperti hoax yang terbuka ke publik.
Contohnya, ketika hoax Ratna Sarumpaet akhirnya terbeber. Niatnya mau memprovokasi rakyat dengan menyebar isu kengerian bahwa nenek-nenek ditabokin di Bandung. Nyatanya yang didapati cuma nenek genit pasien psikiatri.
Politik Genderuwo sampai sekarang terus dimainkan. Itulah yang membuat Jokowi geram. Wong Indonesia sudah hampir 100 persen terang benderang masa masih mau main hantu-hantuan juga?
Tapi itulah politik. Apalagi menjelang pemilu begini. Ada sebagian orang yang gak punya prestasi kerjanya membuat ketakutan di mana-mana. Maksudnya biar terpilih. Mirip hantu jadi-jadian dalam film Scooby Doo. Emangnya rakyat bodoh, gampang ditakut-takuti dengan hoax begitu?
"Kum, untuk DPRD Depok nanti kamu pilih siapa?" tanyaku iseng kepada Abu Kumkum.
"Saya pilih Prabowo, mas," jawab Kumkum santai.
"Kok Prabowo, sih?" saya heran. "Prabowo bukan untuk DPRD, Kum. Dia itu Capres."
"Ohh, kalau untuk Capres saya pilih Jokowi dong, mas..."
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews