Dua lembaga peradilan, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) yang seharusnya bisa memberi kepastian hukum, malah membuat keputusan saling bertentangan. Tentu ini sangat membingungkan bagi pihak yang harus menjalankan keputusan tersebut. Dalam hal ini KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya nomor 30/PUU-XVI/2018 yang menyatakan anggota DPD tidak boleh menjadi pengurus parpol.
Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa seorang pengurus partai politik termasuk bekerja. Oleh karena itu dalam putusannya MK melarang pegurus partai politik menjadi anggota DPD. Jadi kalau mau menjadi anggota DPD harus mengundurkan diri dari kepengurusan partai.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dianggap merugikan Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) yang juga sebagai ketua DPD. Maruk amat sama jabatan. Dan OSO mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan uji materi terkait keputusan MK yang melarang pengurus partai politik menjadi anggota DPD.
Oleh Mahkamah Agung (MA) gugatan uji materi Oesman Sapta Odang (OSO) dikabulkan. Dengan dikabulkannya gugagatan uji materi oleh MA, otomatis pengurus partai politik boleh menjadi anggota DPD. Padahal keputusan Mahkamah Konstitusi melarang pengurus partai menjadi anggota DPD.
Keputusan Mahkamah Agung (MA) ini justru membuat ketidakpastian hukum. MA berkilah bahwa keputusan tersebut sudah sesuai prosedur.
Keputusan MA ini membuat bingung KPU sebagai pihak penyelenggara pemilu, keputusan mana yang akan dipakai, apakah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA)? Dua keputusan lembaga peradilan ini saling bertolak belakang. Bukannya memberi kepastian hukum, malah membuat bingung.
Harusnya dua lembaga peradilan saling bersinergi dan saling menguatkan keputusan supaya ada kepastian hukum. Bukan malah mementingkan ego masing-masing.
Perseteruan dua lembaga peradilan ini bukan kali ini saja, sebelumnya dua lembaga ini juga pernah saling lempar tanggung jawab dan saling tuding, bahwa lembaganya tidak berwenang melakukan uji materi. Ini terkait waktu itu, peraturan KPU yang melarang mantan koruptor atau bandar narkoba untuk menjadi caleg yang akhirnya oleh Mahkamah Agung peraturan KPU tersebut dibatalkan dengan alasan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
Nah, kalau dulu Mahkamah Agung berdalih membatalkan keputusan KPU karena bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Maka harusnya KPU mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi dibanding mentaati keputusan Mahkamah Agung (MA). Kenapa? Karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) setingkat undang-undang dan lebih tinggi derajatnya.
Dan sebenarnya spesialisasi penguji undang-undang atau peraturan apapun adalah Mahkamah Konstitusi (MK) yang lebih berwenang menguji materi atau menafsirkan suatu undang-undang atau peraturan.
Keputusan Mahkamah Agung yang membolehkan pengurus partai menjadi anggota DPD sulit untuk bisa dijalankan atau dilaksanakan oleh KPU.
Inilah kelemahannya lembaga peradilan kita. Ketika lembaga peradilan seperti Mahkamah Konstitusi membuat keputusan yang melarang anggota DPD untuk rangkap jabatan jadi pengurus partai maka pihak yang dirugikan tersebut masih bisa mengajukan gugutan kepada lembaga peradilan lain, yaitu Mahkamah Agung.
Ternyata keputusannya berbeda dengan keputusan MK. Harusnya kalau sudah ditolak gugatannya oleh MK, lembaga seperti MA harus saling menguatkan terhadap keputusan MK, bukan malah saling tumpang tindih.
Inilah dua lembaga peradilan yang bukan membuat kepastian hukum, tapi malah membuat bingung.
Jangan-jangan MA masuk angin nih.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews