Kedung Ombo, Luka Lama Boyolali Seperti Tersulut Api

Senin, 5 November 2018 | 16:44 WIB
0
1706
Kedung Ombo, Luka Lama Boyolali Seperti Tersulut Api
Demo warga Boyolali (Foto: Detik.com)

Boyolali di era Orde Baru pada masa pemerintahan Soeharto menyimpan kepahitan panjang yang sampai saat ini pun sebenarnya belum tertuntaskan. Penolakan penggusuran karena sangat kecilnya ganti rugi masih menyisakan 662 keluarga belum menerima ganti rugi sampai kini, meskipun waduk raksasa Kedung Ombo di Jawa Tengah yang terkenal itu sudah diresmikan oleh Presiden Soeharto sejak 18 Mei 1991 silam.

Mengapa warga Boyolali, ketika Capres Nomer Urut 2 Prabowo Subianto -yang notabene dulu adalah menantu pemimpin Orde Baru Soeharto- menyinggung “Tampang Boyolali” dalam pidatonya peresmian kantor pemenangannya di Boyolali, mereka seperti bensin tersulut api?

Terlepas dari konteks apapun pidato Prabowo Subianto di depan para pendukungnya di kantor pemenangan Boyolali, yang kemudian viral dan digunjing luas di media sosial, peristiwa kepahitan penduduk Boyolali yang dipicu proyek Waduk Kedong Ombo di era Orde Baru itu cukup mendalam.

Coba kita kilas balik ke belakang rentetan peristiwanya. Bermula dari tahun 1985 ketika pemerintah Soeharto merencanakan membangun waduk baru di Jawa Tengah, yang bisa dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22.5 megawatt dan dapat menampung air untuk setidaknya 70 ribu hektar sawah di sekitarnya.

Pembangunan waduk ini dibiayai dengan pinjaman Bank Dunia senilai AS $ 156 juta, dari Bank Exim Jepang AS $ 25.2 juta dan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia mulai tahun anggaran 1985 sampai dengan 1989. Waduk mulai diairi pada 14 Januari 1989, menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Boyolali, Grobogan. Sebanyak 5.268 keluarga sekitar 30.000 jiwa kehilangan tanah yang sudah lama menjadi penghidupan mereka akibat pembangunan waduk ini.

Boyolali menyimpan luka khusus untuk proyek waduk, yang lokasi bendungan utamanya justru di Kabupaten Grobogan, bukan di Boyolali. Mereka yang lebih banyak menikmati irigasi justru di sisi seberang waduk di Kabupaten Grobogan. Sementara Boyolali yang seolah di punggung waduk, justru tidak menikmati manfaat irigasi waduk – yang cakupan genangannya mencapai 6.256 hektar (perairan 2.830 hektar dan lahan daratan 3.746 hektar) ini.

Khususnya warga Boyolali, warga yang tergusur mencapai 3.006 keluarga umumnya tinggal di wilayah (kecamatan) Kemusu, Boyolali yang relatif subur. Hampir separuh wilayah genangan dan separuh dari sekitar 30.000 jiwa yang ditenggelamkan tanahnya. Padahal, wilayah Kemusu tanahnya merupakan tanah pertanian yang relatif subur. Mayoritas penduduk Kemusu, Boyolali waktu itu, mata pencaharian utamanya adalah bertani. (Cf Tanah Sumber Nilai Hidup, YW Wartaya Winangun 2004).

Ketika sebagian besar warga sudah meninggalkan tanah dan desanya -saat air sudah mulai menggenangi wilayah yang tercakup genangan waduk dari berbagai sungai, di antaranya Sungai Braholo, Sungai Tengah, Sungai Nglanji, Sungai Tapen dan Sungai Sambas di Jawa Tengah – masih tersisa sekitar 600 keluarga yang bertahan, karena ganti rugi yang dijanjikan akan mereka terima jumlahnya sangatlah kecil.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Soepardjo Rustam (1983-1988) sebelum genangan waduk bergulir, sudah menetapkan ganti rugi Rp 3.000 (tiga ribu rupiah) permeter persegi. Sementara kenyataan di lapangan, oleh aparat pelaksana warga dipaksa menerima ganti rugi Rp 250 (dua ratus lima puluh rupiah) permeter persegi. Warga yang bertahan tak mau terima ganti rugi kecil harus mengalami teror, intimidasi oleh aparat dan bahkan kekerasan fisik akibat perlawanan mereka. Bahkan yang tetap membandel, tak mau menyingkir atau menerima ganti rugi, mereka dicap PKI.

Presiden Soeharto sendiri dalam pidato pembukaan Waduk Kedung Ombo (18 Mei 1991) mengatakan, “dirinya memahami bahwa orang atau warga yang tidak mau menerima pembangunan Waduk Kedung Ombo disusupi oleh komunis,” tulis Ikrar Nusa Bhakti, dalam bukunya Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru: Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli (2001:280).

Pemerintah memaksa warga pindah dan tetap bersikukuh mengairi lokasi waduk. Sehingga akibatnya masih banyak warga yang terpaksa tinggal di tengah-tengah genangan air. Beberapa kiai, seperti KH Hammam Ja’far pengasuh Pondok Pesantren Pabelan Magelang waktu itu, dan juga rohaniawan seperti Romo Mangunwijaya serta Romo Sandyawan, melakukan pendampingan terhadap para warga yang terdampak genangan Kedung Ombo tetapi tidak mau digusur. Kiai-kiai dan rohaniwan ini di antaranya membangun sekolah-sekolah darurat untuk sekitar 3.500 anak-anak, dan menyediakan atau membangun rakit guna dipakai sebagai moda transportasi warga Kedung Ombo, yang sebagian besar desanya sudah berubah menjadi danau.

Terkait masalah hukum ganti rugi lahan yang terkena proyek Kedung Ombo, pengacara Frans Hendra Winarta mengungkapkan dalam tulisannya, “pemerintah melakukan intervensi ke lembaga peradilan, di dalam hal ini Mahkamah Agung,” tulisnya. Ketua Mahkamah Agung Purwoto Gandasubrata dipanggil Presiden Soeharto setelah keluarnya putusan Kasasi Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan gugatan warga Kedung Ombo.

“Ketua Mahkamah Agung meminta agar Kasus Waduk Kedung Ombo diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Ketua MA kemudian mengeluarkan Surat Keputusan yang menetapkan penundaan eksekusi ganti rugi terhadap warga Kedung Ombo,” tulis Frans Hendra Winarta. Sementara itu, pemerintah Orde Baru bersikukuh membangun waduk, meskipun merugikan petani yang lama tinggal di sana. (Frans Hendra Winarta, dalam bukunya Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum, 2009).

“Selain itu, (warga Kedung Ombo) diperlemah secara hukum, citra PKI tak lupa dilekatkan kepada warga Kedung Ombo. Di Kedung Ombo, petani yang membangkang untuk menyerahkan tanahnya dicap sebagai PKI dengan cara diberi kode ET (Eks Tapol) di KTP mereka,” (Ikrar Nusa Bhakti, 2001:280).

Perjuangan untuk “mendapat ganti rugi yang layak” pun terus diperjuangkan sebagian rakyat Kedung Ombo (banyak di antaranya dari Boyolali) yang belum menerima ganti rugi, meskipun peradilan sudah diintervensi oleh pemerintah Orba. Dan ketika warga terus memperjuangkan (menuntut) Gubernur Jawa Tengah pada 2001 untuk membuka kembali Kasus Kedung Ombo, dan melakukan negosiasi ulang ganti rugi tanah yang belum terselesaikan? Pemda Provinsi Jawa Tengah, dan juga Kabupaten pun mengatakan, bahwa masalah ganti rugi tanah sudah selesai.

Tampang Boyolali 

Tidak mengherankan, jika ketika Capres Nomor Urut 2 Prabowo Subianto dalam konteks yang lain, menyinggung “Tampang Boyolali” dalam pidato peresmian Kantor Pemenangan Prabowo-Sandi di Kabupaten Boyolali, Selasa (30/10/2018) lalu, masyarakat Boyolali bak bahan bakar bensin tersambar api.

Rekaman pidato, yang menyebut kata “Tampang Boyolali” itu langsung viral di dunia maya. Padahal, Prabowo dalam pidatonya itu sebenarnya berbicara dalam konteks kesenjangan sosial. Ia menyebutkan bahwa Jakarta dipenuhi gedung menjulang tinggi dan hotel-hotel mewah. Yang bahkan para pendukung Prabowo di peresmian gedung itupun tak mampu menyebutkan nama-nama hotelnya.

“Dan saya yakin, kalian nggak pernah masuk hotel-hotel tersebut, betul? (Disahut hadirin, betuuul... pada acara tersebut). Mungkin kalian diusir, tampang kalian tidak tampang orang kaya, tampang kalian ya tampang orang Boyolali ini..,” kata Prabowo waktu itu.

Meski mungkin maksudnya bercanda, akan tetapi lantaran kepekaan masyarakat Boyolali sudah lama mengalami kekecewaan terutama semasa pemerintahan Orde Baru Soeharto? Maka sensitifitas warga pun berlebih. Bahkan hari Minggu (4/11/2018) pun di Boyolali terjadi “aksi unjuk rasa” terhadap ucapan Prabowo soal Tampang Boyolali itu, dalam sebuah aksi turun ke jalan “Forum Boyolali Bermartabat”.

Ratusan orang turun ke jalan mendemo Prabowo, yang mereka nilai “menghina martabat orang Boyolali”. Bahkan di Balai Sidang Mahesa Kabupaten Boyolali pun juga digelar acara aspirasi terkait pernyataan Capres Nomer Urut 2, sekitar 2.500 yang hadir. Acara berlangsung dari pukul 08.00 sampai 10.30. Komentar pun ramai-ramai diunggah di medsos.

“Mari kita bersama-sama menjaga martabat kabupaten kita tercinta ini, agar tidak tidak dilecehkan oleh orang yang mengaku sebagai calon pemimpin Indonesia...,” ungkap Rahman Handoyo, satu dari puluhan komentar yang di antaranya diunggah di laman facebook oleh Galuh Kristicahyani, Minggu.

Atau jangan-jangan, ketika meresmikan Rumah Pemenangannya di Boyolali Prabowo Subianto belum tahu, bahwa Boyolali di Jawa Tengah sudah sangat terkenal sebagai daerah penghasil susu sapi, dan susunya segar-segar. Kalau di Solo, susu segar di berbagai penjuru jalan umumnya adalah susu segar Boyolali dengan drum-drum susu dari logam yang khas. Maka di mata orang Solo dan sekitarnya, Boyolali disebutnya Kota Susu.

Lebih dari itu, Boyolali merupakan tempat pertama di Jawa Tengah yang memiliki pabrik keju dari susu sapi peliharaan mereka. Gerai salah satu produsennya di Boyolali, Keju Indrakila misalnya, tagline nya nggak kalah seru dari tagar para Capres Cawapres 2019 kali ini. “Keju Lokal Rasa Internasional”.

Nah, kalau Cawapres Nomer Urut 2 (yang hobi anjangsana-anjangsini) pas singgah di Boyolali, silakan mampir di “Rest Area Nyusu” di Susu dan Keju Indrakila di Jalanan Utama Boyolali. Atau mampir nyusu di kios-kios susu-susu Boyolali yang lainnya. Asyik loh, nyusu di Boyolali. Semboyan di “Rest Area Nyusu” ini pun bikin otak tegang menjadi pyur pyur, tenang.

*** 

“Nyusu Ndisik di Boyolali, Ben Padang Mripate...,” bunyi tulisan di salah satu Rest Area Nyusu di Boyolali. Maksudnya, “Nyusu Dulu lah di Boyolali, Biar Terang Matanya,”. Selamat nyusu di Boyolali.... *

 

Jimmy S Harianto, pensiunan wartawan Kompas tinggal di Jakarta