Logika Logistik Jadi Prioritas, Cinta Demokrat ke Prabowo Kian Terhempas

Jumat, 23 November 2018 | 07:57 WIB
0
446
Logika Logistik Jadi Prioritas, Cinta Demokrat ke Prabowo Kian Terhempas

 

Sudah bukan rahasia umum lagi, ketika perhelatan politik 5 tahunan menjadi ladang dimana uang "segudang" pun kerap dinilai kurang menjadi modal meraih suksesi. Sadar akan hal itu,kalangan politik harus adu kreatifitas. Prinsip ekonomi dimana modal minimalis harus mampu meraup suara maksimalis menjadi jurus paten bagi kandidat yang berkompeten.

Berbeda halnya dengan kalangan yang justru menilai banyak uang,banyak pula  peluang menang. Menggandeng kalangan pengusaha sebagai pasangan pun seakan menambah bobot dan peluang kemenangan.

Belakangan ada hal menarik yang perlu dicermati dari kubu Prabowo Sandi. Setelah mengurangi kadar hoax dan gimmic politik  yang membuat heboh jagad permedsosan layaknya artis yang ingin naik daun, percik-percik ketidakkompakan koalisi pengusungnya mulai muncul.

Habis PKS terbitlah Demokrat. Bukan untuk menguatkan koalisi pengusung Prabowo Sandi, melainkan justru terkesan melemahkan. Kecewanya seorang pedagang tempe yang tak dijumpai oleh Sandi, akan berbeda nilainya dengan kekecewaan SBY terhadap Prabowo.

Ya, SBY punya perhitungan matang terkait menang kalah pertarungan pilpres 2019 . Begitu pun dengan Prabowo. hanya saja sudut pandang perhitungan masing-masing pastinya berbeda. SBY yang sudah berpengalaman meraih kemenangan pada masa keemasan Demokrat. Terlihat belum tune ini dengan frekuensi suksesi ala Prabowo Sandi.

Improvisasi lapangan sudah sedemikian menegaskan, bahwa Demokrat punya kepentingan yang berbeda diluar target pilpres 2019. Para caleg Demokrat pun seolah dibiarkan untuk menyesuaikan dengan kondisi lapangan. Sekiranya diperlukan, mengusung Jokowi untuk mempertahankan perolehan kursi pun seolah sah-sah saja.

Tak cukup dengan strategi yang dimiliki dedengkot Demokrat yang berhasil mengantarkannya memperoleh kursi Presiden, Prabowo terlihat mengedepankan logika logistik. Alhasil partai baru besutan mantan adik iparnya pun cukup menjadi andalan. Selain partai Gerindra sebagai motor utama.

Buaian cita-cita kembali pada kejayaan orde baru membuat Prabowo lupa bahwa Cendana apapun kondisinya sudah tidak seperti dulu. Inikah sebentuk romansa cinta dalam mihrab politik?.

Prabowo-Sandi sebagai pasangan pengantin pilpres harusnya mampu menebar cinta bukan saja kepada rakyat Indonesia yang menjadi lahan perolehan suara. Melainkan pula harus mampu menjaga cinta dari partai politik dan segenap tokoh yang mengusungnya.

Ya, mereka yang tergabung dalam BPN selaku motor pemenangan pastinya memiliki cinta terhadap Prabowo. Begitupun sebaliknya. Prabowo harus mencintai mereka sebagai sebuah tim yang akan bersama-sama meraih kuasa.

 Lantas bagaimana dengan Demokrat dalam hal ini SBY?. Jika sedari awal, banyak hal yang membuat cinta Demokrat dianggap tidak sempurna terhadap Prabowo. wajar jika ditengah perjalanan, Prabowo menambatkan hatinya pada Titik Soeharto selaku  pion partai berkarya yang notabene  mantan istrinya. Cinta lama bersemi kembali alias CLBK? . Tentu sah-sah saja.

Masalahnya adalah ketika logika logistik menjadi prioritas, Prabowo pun seakan menjadi "cowok matre". Dan cinta Demokrat, sebut SBY seolah terhempas. 

Mungkinkah logika logistik Prabowo ke Titiek, berlaku juga terhadap SBY terhadap Prabowo? Bagaimana sejatinya perputaran aliran dana kampanye tim Prabowo Sandi beserta segenap jajaran partai pengusungnya?.

Apa mungkin support dana partai berkarya terhadap Prabowo akan digunakan juga untuk mendanai motor penggerak dari Demokrat? Atau malah Demokrat berbesar hati merogoh kocek sendiri untuk suksesi Prabowo Sandi. Itu logika logistik yang liar berseliweran dalam benak saya.

Sejauh ini Demokrat dengan segenap potensi ketokohan SBY-AHY seolah wait and see terhadap konstelasi yang berjalan tiap menit tiap detik. Sementara Prabowo -Sandi melesat bak busur panah masuk ke kantong-kantong massa di beberapa daerah dengan issue "kepenak jamanku tho?".

Terlepas efektif tidaknya issue tersebut ada sisi positif yang bisa diambil dimana Prabowo terkesan memiliki konsep program pembangunan kedepan. Meskipun itu bersifat hanya copy paste dari apa yang sudah ada di bank data Cendana. Setidaknya lebih ada bobotnya dibanding ketika harus bermain dengan isue agama dan hoax yang membabi buta.

SBY tampak terpaku menatap langgap suksesi Prabowo Sandi. Tokoh Demokrat yang pernah dua kali menjabat Presiden RI masih belum bergeming untuk turut berebut suara mengkampanyekan Prabowo. Apakah SBY memang type injured Times? Atau justru hanya menjadi pemain cadangan bagi Prabowo Sandi?

Arena pertarungan menuju pilpres 2019 tentu bukanlah biduk catur dimana pion-pion kecil yang berada di depan yang diharuskan maju terlebih dahulu. baru kemudian Raja, Ratu, Patih bertahan di garis serang belakang. Membaca sikap SBY dalam langgam suksesi Prabowo seakan ada semburat cinta yang terhempas. Entah karena apa.

Jika benar logika logistik yang Prabowo miliki terhadap Titik Soeharto mampu menahan langkah SBY untuk lekas ambil bagian. Harus ada hitungan matematis yang jelas atas gambaran kemenangan bagi Prabowo. Sebab kini, Presiden dipilih langsung dengan sekian mekanisme yang jauh berbeda pada era Soeharto.

Kelompencapir sebagai bentuk pengorganisasian massa level grass root ala Soeharto, tentu  belum lah cukup jika harus kembali dihidupkan untuk menandingi para pegiat medsos di era milenials. Wajar jika akhirnya SBY membiarkan cintanya kepada Prabowo terhempas dan tak jelas.

***

Sumber Foto: Kumparan.com