Senjakala Surya Paloh

Sebenarnya kasus Johnny G.Plate belum seberapa dengan kasus mantan Jaksa Agung Prasetyo yang diindikasi melakukan kejahatan politik luar biasa.

Kamis, 18 Mei 2023 | 20:31 WIB
0
367
Senjakala Surya Paloh
Surya Paloh (Foto: detik.com)

Pada hari Rabu (17/5/2023) Surya Paloh berdiri di depan awak media. Ia terisak-isak dan meradang marah karena salah satu kadernya diborgol di depan gedung Jaksa Agung. Separuh parau Surya Paloh berkata “Terlalu mahal… terlalu mahal dia diborgol untuk statusnya sebagai menteri, sebagai sekjen Partai…” matanya kosong seakan menatap kehancuran partainya.

Partai yang disebut-sebut sebagai “Restorasi Indonesia” malah terjebak menjadi partai pencoleng qnggaran negara dan kisah Johnny G. Plate seakan menjadi babak senjakala Surya Paloh, sebuah babak menyedihkan yang kelam setelah ia menjalani kehidupan cemerlang melewati keberuntungan ke keberuntungan lainnya. 

Surya Paloh lahir tahun 1951 di Banda Aceh dari pasangan pejabat Polisi dan ibu rumah tangga biasa. Walaupun ia anak perwira polisi, tapi dia merasa tidak punya naluri sebagai polisi, ia memilih bisnis sebagai jalan hidupnya. Sejak sangat muda Surya Paloh mendidik dirinya untuk berbisnis.

Di usia 14 tahun ia membangun bisnis leveransir, memenuhi barang-barang kebutuhan pokok lalu setelah itu membangun biro pariwisata yang membuat ia kenal banyak orang.

Keberuntungan pertama Surya Paloh adalah ia punya kakak ipar bernama Yusuf Gading yang kelak menjabat Dirjen Bantuan Sosial di Departemen Sosial (Depsos), dan menjadi tokoh pencetus lotre NALO sebuah bisnis judi yang dilegalkan negara dan amat terkenal pada 1970-an.

Dari kakak iparnya inilah Surya Paloh dibiayai bisnisnya di Medan, salah satunya menjadi agen importir mobil Ford dan VW di Kota Medan, juga mengelola sebuah hotel di Aceh.

Kejeniusan utama Surya Paloh bukan soal bisnis, apalagi politik. Tapi Surya Paloh punya naluri ‘membaca jaman’ kemampuan inilah yang membawa Surya Paloh ke titik puncak tapi sekaligus memerosokkannya ke jurang terbawah pada kemudian hari. Setelah ia berhasil membangun bisnis dan karir politik lewat Golkar di Medan ia berpindah ke Jakarta. Pusat kota yang jadi indikator keberhasilan seseorang pada waktu itu.

Di Jakarta inilah dia melihat bahwa masa depan Suharto, penguasa Orde Baru saat itu sangat bergantung pada arah media, tahun itu 1986 dimana masyarakat mulai bosan terhadap Suharto. Di satu sisi yang menarik keuntungan dengan berlawanan Suharto karena itulah yang disukai masyarakat, tapi di sisi lain dia menggantungkan keamanan dan bisnisnya pada lingkaran Suharto, praktis Surya Paloh berdiri di dua kaki.

Di bawah kemampuan membaca jaman inilah, Surya Paloh di tahun 1986 mendirikan harian Prioritas, yang merupakan milestone perjalanan bisnisnya terpenting. Di sini Surya Paloh membuat berbeda dengan harian lainnya, mulai dari layout-nya yang berwarna, tulisan-tulisannya yang menarik terutama dari kolom opini yang isinya kerap menyentil pemerintah. Inilah yang kemudian membuat Harmoko gerah.

Tak lama setelah berdiri di tahun 1987 harian Prioritas pun dibredel, tapi Surya Paloh memenangkan bisnisnya. Dalam waktu singkat dia bisa mencapai 100 ribu eksemplar dan dia tak kekurangan investor untuk membangun harian baru. Karena kemampuan Surya Paloh menempatkan Harmoko sebagai public enemy dan itu disukai masyarakat. Tapi disisi lain, Surya Paloh menjadi pendukung Orde Baru dengan Golkar-nya.

Di sini terlihat sekali naluri dasar Surya Paloh tak ingin jauh-jauh dari kekuasaan. Setelah harian Prioritas dibredel Harmoko, Surya Paloh mendirikan bisnis bernama “Media Indonesia” yang kelak akan merajai bisnis media di jaman reformasi. 

Di tahun 1998 kekuasaan Suharto jatuh, tapi tidak bagi Surya Paloh dia merapat ke penguasa baru. Justru setelah kejatuhan Suharto inilah, titik penting Surya Paloh membangun kerajaan media besar. Imperium media Surya Paloh itu mencakup stasiun TV berbasis berita yang amat fenomenal: Metro TV.

Persiapan rencana imperium media ini disiapkan Surya Paloh sejak 1999. Tahun demi tahun kehidupan Surya Paloh penuh kegemilangan, ia merapat kepada siapa saja yang berkuasa sampai pada masa Jokowi. 

Di masa Jokowi inilah puncak bisnis Surya Paloh terjadi tapi juga kehancuran politiknya karena salah “Membaca Jaman”.

Kemunculan Surya Paloh dalam menyiapkan organ politik tersediri dimulai tahun 2010. Ia mendirikan ormas yang diberi nama Nasional Demokrat, Nasdem. Banyak tokoh masyarakat dikumpulkan dalam wadah ormas ini termasuk Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Tapi di tahun 2011 sontak ormas ini berubah menjadi Partai Politik dan banyak membuat tokoh dalam ormas ini kecewa lalu mengundurkan diri seperti Sri Sultan yang karena kemawasan hatinya bahwa Parpol ini akan berjalan tidak benar. 

Surya Paloh hidup dalam alam pikiran SBY dia lebih melihat Partai Politik akan tumbuh pesat bila dilakukan dengan money politics liberalisasi politik di jaman SBY sudah membuat Surya Paloh berpikiran konyol bahwa membeli suara elektoral harus dibiayai dengan uang bukan dengan ideologi, karena ia tumbuh di alam Orde Baru dan juga besar di masa SBY maka pikirannya hanya dua dalam membesarkan Partai Politik: “Uang dan Permainan Hukum”. 

Jokowi adalah keberuntungan terakhir Surya Paloh dalam dunia bisnis dan politik, di tahun 2014 kecemerlangan Jokowi menyilaukan publik Indonesia dan Surya Paloh berdiri di sisi yang tepat, Nasdem menjadi partai penyokong Jokowi di jam-jam pertama. Dan kemenangan Jokowi di tahun 2014 membuat Surya Paloh langsung menjalankan operasi politiknya yang didasarkan dua hal itu: “Uang dan Permainan Hukum”.

Pertama kali intervensi bisnis Surya Paloh ke Indonesia dengan kekuatan politiknya adalah memasukkan usaha rekan bisnisnya dari RRC, Sam Pa pemilik jaringan perdagangan minyak Sonangol untuk mensuplai minyak dari negara Angola ke Pertamina, setelah itu Surya Paloh memainkan kunci penting yaitu menempatkan Jaksa Agung Prasetyo sebagai ‘Panglima Politiknya’, ia juga menempatkan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sebagai cash cow aliran dana ke Partai.

Dari setoran-setoran inilah dibangun gedung megah “Nasdem Tower” sebuah kantor partai paling mewah bila dibandingkan kantor-kantor partai lain. 

Penempatan ‘Orang Paloh’ sebagai Jaksa Agung menempati posisi strategis Nasdem dalam tembakan-tembakan politiknya. Nasdem di tahun 2019 banyak membajak kader dari partai-partai lain baik sebagai caleg ataupun kepala daerah dengan todongan “Dikasuskan oleh kejaksaan atau ikut Nasdem” hal ini juga dilakukan Prasetyo dengan memperalat aparat kejaksaan di daeah-daerah.

Surya Paloh kerap membanggakan dia tidak meminta mahar politik, hal ini jelas karena kebutuhan biaya logistik kampanye politik dipenuhi dari setoran-setoran menterinya dan Jaksa Agung Prasetyo. 

Tapi tak selamanya karir Surya Paloh cemerlang. Tiba-tiba saja posisi Prasetyo sebagai Jaksa Agung tidak digunakan lagi oleh Presiden Jokowi. Juga Menperindag diserahkan ke partai lain di luar Nasdem. Satu-satunya peluang adalah Johnny G. Plate yang memegang kementerian Kominfo. Menkominfo Johnny G. Plate diperintahkan untuk mengumpulkan dana demi kepentingan Pemilu 2024. 

Di Kominfo banyak proyek, tapi ada satu proyek yang nilainya signifikan dan diciptakan untuk digarong, proyek itu ada di bagian Kominfo bernama BAKTI, sebuah badan layanan umum untuk kelancaran komunikasi di wilayah-wilayah terpencil. Proyek itu pembangunan menara BTS dengan nilai total 10 trilyun. 

Menurut beberapa sumber, rencana menggarong anggaran BAKTI dilakukan beberapa minggu setelah Johnny G. Plate dilantik menjadi Menteri Kominfo. Suatu saat Direktur Utama menghadap Menteri Johnny, setelah berbasa basi sejenak Dirut BAKTI, Anang Latief mengatakan ada satu proyek strategis yang beranggaran besar tapi punya peluang diambil keuntungannya. Otak kriminil Johnny G. Plate pun sigap membaca peluang itu.

Langkah pertama Johnny meminta agar tender proyek BAKTI 10 trilyun dilakukan secara tertutup dan meminta Anang Latief mengumpulkan pengusaha-pengusaha yang bisa diajak ‘cengli’ untuk memark up biaya peralatan. Lalu bergeraklah Anang Latief sesuai perintah Johnny G. Plate dia mengumpulkan pengusaha-pengusaha yang kerap terlibat di proyek Kominfo dan punya hubungan khusus dengan Anang. 

Namun beberapa bulan kemudian aksi Anang ini terendus BPK. Badan Pemeriksa Keuangan meminta kasus proyek BAKTI di evaluasi. Tapi walaupun kasus ini sudah terendus BPK, Anang tetap melanjutkan aksi rampoknya di anggaran BAKTI.

Baru di tahun 2021 beberapa LSM membaca laporan BPK dan melakukan investigasinya sendiri, awalnya LSM ini hanya menemukan penyelewengan sebesar 1 trilyun.

Barulah di akhir 2021 kasus ini ditangani kejaksaan agung, jauh sebelum Nasdem mengumumkan pencalonan Anies Baswedan jadi kasus ini tak terkait dengan pencalonan Anies Baswedan justru langkah Surya Paloh mencalonkan Anies Baswedan adalah tameng bila kasus BAKTI terungkap maka ia bisa beralasan ini adalah ‘intervensi politik’ bukan murni kasus hukum.

Brutalnya lagi kasus perampokan anggaran BAKTI diungkap Kejaksaan Agung bukan hanya 1 Trilyun tapi senilai 8,3 Trilyun ini artinya 80% anggaran proyek itu digarong. 

Setelah melalui rangkaian penyelidikan yang panjang oleh pihak Kejaksaan. Maka satu persatu pemain garong anggaran BAKTI ditangkapi termasuk Dirut BAKTI Anang Latief. Puncaknya adalah penangkapan Menkominfo Johnny G. Plate pada rabu (17/5/23) dan Surya Paloh mengumpulkan awak media melakukan konferensi pers dengan tujuan menggambarkan kasus Johnny G.Plate adalah alat Jokowi untuk mengganyang partainya.

Hal yang sama disampaikan kader Nasdem Willy Aditya yang terang-terangan menyatakan Presiden adalah Petugas Partai yang seenaknya main tangkap.

Begitupun Anies Baswedan yang menyatakan dengan nada religius: “Tuhan akan berpihak pada kebenaran” Tapi sayang skenario Surya Paloh untuk mempersepsikan kasus BAKTI Kominfo adalah persoalan politik gagal total, karena efeknya adalah kemarahan rakyat yang meluas terhadap kelakuan Johnny G.Plate. 

Sekarang tinggal Surya Paloh merenungi nasib menghadapi kehancuran Partainya, juga ancaman akan pemeriksaan aliran dana BAKTI ke dirinya. Sebenarnya kasus Johnny G.Plate belum seberapa dengan kasus mantan Jaksa Agung Prasetyo yang diindikasi melakukan kejahatan politik luar biasa. 

Tapi inilah senjakala Surya Paloh, sebuah akhir kelam dari pebisnis politik yang salah membaca jaman.

Anton DH Nugrahanto