Jejak Politik Pecah Belah di Indonesia

Ini ujian buat Demokrat, yang Ketua Umumnya masih muda dan dikelilingi tokoh-tokoh muda juga. Seberapa kuat internal parpol yang didirikan SBY ini bersatu padu menghadapi politik pecah belah.

Kamis, 4 Februari 2021 | 09:45 WIB
0
371
Jejak Politik Pecah Belah di Indonesia
Partai politik (Foto: RMOL.id)

Tak perlu kaget dengan konferensi pers Ketua Umum Demokrat – Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Pemimpin termuda di kalangan parpol besar itu, menuding ada upaya pihak luar bersama intenal partai itu, menggunakan politik pecah belah, untuk mengambil alih Partai Demokrat. Kenapa tak perlu kaget?

Karena politik pecah belah parpol sudah biasa di Indonesia. Bukan hal baru dan bukan hal istimewa.

Pelakunya bisa beragam. Mulai dari pihak yang berkuasa, pihak yang ngebet berkuasa, pihak yang mencari tunggangan kekuasaan, dan bermacam pihak lainnya. Pelakunya berbeda-beda, tapi motif dan tujuan akhirnya seperti tujuan partai politik: kekuasaan.

Kali ini kembali saya menulis artikel tentang politik, karena ada isu yang bermuatan pendidikan politik kepada para pembaca. Melek politik. Atau literasi politik. Kita harus memahami politik, minimal agar tidak dikibuli oleh para pelaku politik praktis (alias politisi). Tak ada hitam putih dalam politik. Semuanya abu-abu. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Sudut pandang etika juga boleh.

Nah, jejak-jejak politik pecah belah di Indonesia mudah ditelusuri. Sudah sering terjadi, silih berganti menimpa beragam partai politik. Tidak peduli besar atau kecil. Ketika melihat jejak sejarah inilah, saya persilakan Anda untuk menilainya: hitam atau putih. Atau tetap abu-abu.

Pada masa kolonial Belanda, politik pecah belah (divide et impera) menjadi andalan mereka dalam menguasai bumi Nusantara. Benar, saat itu belum ada partai politik seperti sekarang. Yang ada adalah kekuatan-kekuatan dalam bentuk kerajaan atau kesultanan. Tapi praktiknya sama saja. Politik pecah belahlah yang dijalankan. Belanda piawai memainkan strategi ini.

Mereka tahu, dalam setiap kerajaan dan kesultanan selalu ada pihak yang kecewa, atau mungkin ingin menjadi penguasa. Di Aceh, di Sumatera Barat, di Mataram, di Banten, dan di berbagai wilayah lain yang masih kerajaan itu, Belanda sukses menjalankan politik pecah belah. Kalau disamakan dengan sekarang, anggap saja kekuatan kerajaan itu seperti partai politik.

 Salah satu kehebatan Belanda dalam politik pecah belah selain mengadu domba internal kerajaan, adalah mengadu dua kekuatan suku terbesar di Nusantara, Jawa vs Sunda. Kisah Majapahit dan Pajajaran menjadi materi informasi yang mereka olah sedemikian rupa sehingga menimbulkan kebencian dari salah satu pihak. Jika disetarakan dengan sekarang,

Belanda menyebarkan berita bohong (hoaks) dan juga hate speech (ujaran kebencian). Kalau Belanda hidup di Indonesia sekarang, mereka pasti dikejar-kejar polisi dengan Undang-Undang ITE.

Dampak dari strategi itu luar biasa. Orang Sunda masa lalu menjadi sangat tidak simpati kepada orang Jawa. Sesuai tujuan Belanda, sehingga kedua suku terbesar ini sulit bersatu. Padahal sesungguhnya mereka bersaudara. Entah yang mana saudara tua atau saudara muda.

Jejak peninggalan politik pecah belah Belanda pada Jawa vs Sunda ini, tampak pada tak adanya nama jalan Majapahit, Hayam Wuruk, dan Gajah Mada di seluruh kota provinsi Jawa Barat. Luar biasa bukan?

Setelah Indonesia merdeka, tentu saja tak ada lagi kekuatan kerajaan, kesultanan, suku, dan sejenisnya dalam urusan politik dan kekuasaan. Muncullah partai politik sebagai bagian dari sistem demokrasi yang kita anut. Parpol menjadi bagian vital demokrasi dan begitu punya kuasa dalam menenetukan arah negara.

Ternyata, orang Indonesia (terutama para penguasa dan ngebet berkuasa) menjalankan politik pecah belah warisan Belanda itu dengan suka cita. Partai politiklah yang menjadi sasaran utama.

Pada Orde Lama, bung Karno justru tidak menyukai partai politik. Apalagi dalam jumlah banyak. Menurutnya demokrasi multipartai tidak sehat buat Indonesia. Politik pecah belah justru dilakukan oleh pihak luar negeri, yang punya kepentingan terhadap Indonesia terutama yang tidak menyukai kepempimpinan Soekarno.

Politik pecah belah parpol marak terjadi pada masa Orde Baru. Soeharto menjalankan sistem pemerintahan otoriter yang dibalut dengan istilah Demokrasi Pancasila. Jumlah parpol yang banyak dipangkas menjadi hanya tiga, sejak tahun 1970-an, sehingga hanya tersisa Golkar, PPP (Partai Persatuan Pembangunan), dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia).

Pemerintah tak mengizinkan berdirinya parpol selain itu. Pada pelaksanannya, Golkar menjadi partai penguasa. PPP dan PDI tidak bisa leluasa masuk ke pemerintahan, namun harus selalu mendukung pemerintah. Mereka harus mengikuti maunya pemerintah. Tawar menawar lebih banyak dalam urusan bahan bakar parpol. Bukan politik dan kekuasaan.

Siapa yang berani melawan Soeharto, maka karier politiknya akan habis. Politik pecah belah parpol dijalankan penguasa Orde Baru itu untuk PPP dan PDI.  

Pada 1978, terjadi konflik besar di PPP yang melibatkan beberapa kekuatan di dalamnya, termasuk NU (Nahdatul Ulama). NU adalah salah satu kekuatan PPP, selain ormas seperti Muhammadiyah dan Parmusi. Pemerintah mendukung salah satu pihak yaitu D.J. Naro, sehingga perpecahan tak terhindarkan. Kejadian serupa terulang pada 1981. Sampai puncaknya pada 1984, NU keluar dari PPP.  Belakangan, D.J. Naro tak lagi mendapatkan dukungan dari Soeharto.

Baca Juga: Rapuhnya Karakter Pemimpin di Indonesia

Yang paling menyita perhatian tentu saja peristiwa Kudatuli. Saat itu, pemerintahan Orde Baru menjalankan politik pecah parpol terhadap PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Megawati sebagai ketua umum terpilih tidak diakui. Soeharto menilai Megawati punya potensi besar untuk mendapatkan dukungan rakyat, karena masih trah Soekarno. Tak boleh dibiarkan, sehingga pemerintah lebih condong ke PDI pimpinan Soerjadi. Terjadilah konflik besar dan berdarah pada 27 Juli 1996. Megawati pun kemudian membuat PDI Perjuangan (PDIP).

Pada era Reformasi, politik pecah belah parpol masih terjadi. Bahkan semakin menarik, karena tidak hanya melibatkan penguasa saja, namun juga partai politik lain. Pada 1999, PDI P menang besar dengan perolehan suara 35%. Tapi pada Pemilu berikutnya 2004, peroleh suara mereka jatuh. Terjadi politik pecah belah di dalam PDI P, yang ditengarai melibatkan ‘orang luar.’ Dinamika politik era Reformasi semakin seru karena demokrasi yang lebih terbuka. Bukna Demokrasi Pancasila.

Beberapa parpol besar berkonflik dan pecah. PPP kembali mengalaminya, dengan dualisme ketua umum. Sebelumnya PKB juga demikian, ketika trah Gus Dur dikesampingkan. Tak ketinggalan Hanura juga mengalami pecah kongsi dengan dualisme kepemimpinan. Ketua umum yang diakui pemerintah-lah yang kemudian tetap bertahan.

Mereka yang tersingkir, sebagian membangun parpol baru. Jangankan parpol besar atau sedang, parpol kecil pun terkena politik pecah belah, yang menimpa Partai Berkarya pimpinan Tommy Soeharto, yang terbelah tahun 2020 lalu.

Jadi, ketika 2021 ini muncul dugaan politik pecah belah terhadap Partai Demokrat, memang tak perlu kaget. Hal yang lumrah dan sangat mungkin terjadi (lagi). Publik hanya cukup paham saja tentang siapa yang beretika dalam berpolitik dan siapa yang tidak. Etika politik memang sudah biasa diabaikan.

Siapa dalangnya? Bisa siapa saja. Bisa pemerintah, bisa orang bagian dari pemerintah, bisa musuh politik, bisa internal parpol yang ngebet kekuasaan atau kecewa, bisa tokoh di luar parpol yang berniat menjadikan Demokrat sebagai kendaraan politik, dan kemungkinan lainnya. Bisa juga kombinasi.

Ini ujian dan cobaan buat Demokrat, yang Ketua Umumnya masih muda, dan dikelilingi oleh tokoh-tokoh muda juga. Seberapa kuat internal parpol yang didirikan oleh SBY ini bersatu padu menghadapi politik pecah belah. Tahun 2011-2012 lalu, Demokrat sudah melewati badai besar.

Seharusnya, kali ini mereka sudah lebih tangguh dalam mengelola ombak lautan politik Indonesia.

***