Karena nama-nama kandidat tersebut lebih populer atau familiar di telinga mereka. Bukan karena rakyat mengetahui kelebihan mereka.
Meskipun dengan resiko disebut 'buzzer', di masa Pilkada dan Pilpres kemarin saya gencar menyuarakan dua hal kepada publik:
Pertama, agar mulai peduli, belajar dan memiliki partisipasi politik dengan ngesot ke TPS.
Tentu ke TPS tidak asal nyoblos, karena itulah perlunya belajar dan menambah wawasan tentang politik, secara ilmu.
Catat, secara ilmu. Artinya tidak sekedar membaca sembarang ts 'ngompol' yang bersliweran di TL.
Mengapa ngesot ke TPS itu penting? Karena setiap satu suara kita itu menentukan nasib hajat hidup jutaan orang selain diri kita sendiri.
Salah mencoblos atau tidak mencoblos sehingga memberi ruang pemimpin yang salah untuk terpilih, maka kerugiannya akan ditanggung oleh jutaan masyarakat. Mungkin bukan anda, tapi orang lain.
Contohnya seperti terpampang pada gambar. Rakyat Jakarta telah mengambil keputusan yang fatal!
Seringkali pemilih Gubernur terpilih memberi argumen tentang prestasi-prestasi ybs, tapi prestasi2 tsb sama sekali tidak atau hanya sedikit berelevansi dengan hajat hidup seluruh rakyat Jakarta.
Sementara kerugian yang dirasakan jutaan rakyat Jakarta dengan terpilihnya ABas banyak sekali.
Dalam pandangan saya, sorry to say pemilih ABas adalah orang2 BODOH yang tidak pandai berhitung. Meskipun mereka berpendidikan atau nilai matematikanya A atau 100% sekalipun.
Karena kebodohan mereka bukan pada IQ mereka yang rendah, tapi karena mengambil ustadz yang tidak kompeten untuk dirujuk perkataannya. Jadi seorang ustadz bodoh bisa menjerumuskan orang-orang pintar sekalipun menjadi bodoh berjamaah.
Saya ulangi, pemilih ABas adalah orang2 BODOH yang tidak pandai berhitung (kerugian yang dirasakan jutaan rakyat DKI).
Ada kampung nelayan modern di Jakut yang tidak terbangun.
Ada Giant Sea Wall yang tidak terbangun dan beresiko memperparah banjir rob.
Ada uang pajak ratusan trilyun dari lahan Pulau Reklamasi yang tidak ter'collect.
Ada rumah murah & layak huni (rusunawa) yang tidak terbangun.
Ada normalisasi sungai yang tidak dikerjakan dan menyebabkan banjir yang menimbulkan efek domino kerugian di berbagai aspek. Satu contohnya alat-alat medis vital di RSCM yang tidak berfungsi karena banjir, berapa orang yang berpotensi kehilangan nyawa akibat efek banjir RSCM ini ? Juga kerugian yang ditanggung tiap rumah tangga korban banjir, dst.
Itu baru sebagian kerugian yang harus ditanggung rakyat Jakarta secara keseluruhan akibat mereka yang ngesot ke TPS asal mencoblos.
Atau memilih tidak mencoblos, sehingga satu suara yang nilainya sangat berharga tersia-sia.
Karena itu, satu suara kita di TPS itu, tidak main-main, sangat menentukan hajat hidup jutaan orang.
Jika masih tidak dapat menyadari ini, lalu masa bodoh dengan politik, atau asal-asalan saja mencoblos tanpa mau menambah wawasan tentang ilmu politik, artinya benar anda adalah orang bodoh yang tidak pandai berhitung.
Jika anda tidak terima dikatakan bodoh silakan challenge saya..
Kedua, saya sering menyampaikan kepada beberapa influencer medsos tentang makna "popularitas" dalam kontestasi politik.
"Don't make stupid people famous"
Jangan terus mempopulerkan kebodohan peserta kontestasi politik sehingga kepopuleran mereka kelak tembus langit, lalu rakyat ngesot ke TPS memilih calon pemimpin bodoh ini.
Para influencer ini lalu memberi argumen, popularitas tidak ada hubungannya dengan elektabilitas.
Tidak mungkin orang yang popular bodoh lalu dipilih rakyat.
Saya akan membuktikan argumen para influencer ini salah! Popularitas jelas sangat berhubungan dengan elektabilitas.
Ilustrasi 1 :
Ketika seseorang terus menerus dipopulerkan melalui media publik (baik positif atau negatifnya), maka kepopuleran seseorang tersebut sampai kepada rakyat.
Tapi apakah informasi negatif atau positif nya sampai pada rakyat, belum tentu!
Di era post-post, rakyat mendengarkan informasi dari gaung suara komunitas mereka sendiri. Mereka tidak mendengar gaung suara di luar lingkaran mereka. Atau dalam bahasa kerennya disebut "echo-chamber".
Artinya, ketika seseorang terlanjur populer (karena terus menerus dipopulerkan), meskipun ia adalah calon pemimpin bodoh, ia masih sangat mungkin untuk dipilih rakyat, jika dalam "echo-chamber" yang digaungkan adalah polesan positif ybs.
Ilustrasi 2 :
Ketika rakyat ngesot ke TPS, lalu di kertas suaranya ada 10 kandidat, maka umumnya rakyat tidak akan memilih kandidat no.10, tapi nomor-nomor muda. Kenapa?
Karena nama-nama kandidat tersebut lebih populer atau familiar di telinga mereka. Bukan karena rakyat mengetahui kelebihan mereka.
Dan rakyat tidak memilih nomor 10 bukan karena mereka mengetahui kekurangannya, tapi karena nama kandidat tsb tidak atau kurang populer.
Jadi "popularitas tidak relevan dengan elektabilitas" ??
Jadi anda ingin tetap keukeuh mempopulerkan kebodohan calon-calon pemimpin bodoh ? Lalu kepopuleran mereka tembus langit??
Alih-alih mempopulerkan keunggulan calon-calon pemimpin cerdas.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews