"Belepot Ompol", Belajar Politik vs Omong Politik

Karena nama-nama kandidat tersebut lebih populer atau familiar di telinga mereka. Bukan karena rakyat mengetahui kelebihan mereka.

Kamis, 27 Februari 2020 | 13:12 WIB
0
290
"Belepot Ompol", Belajar Politik vs Omong Politik
Mencoblos di TPS (Foto: KPU Kudus)

Meskipun dengan resiko disebut 'buzzer', di masa Pilkada dan Pilpres kemarin saya gencar menyuarakan dua hal kepada publik:

Pertama, agar mulai peduli, belajar dan memiliki partisipasi politik dengan ngesot ke TPS.

Tentu ke TPS tidak asal nyoblos, karena itulah perlunya belajar dan menambah wawasan tentang politik, secara ilmu.

Catat, secara ilmu. Artinya tidak sekedar membaca sembarang ts 'ngompol' yang bersliweran di TL.

Mengapa ngesot ke TPS itu penting? Karena setiap satu suara kita itu menentukan nasib hajat hidup jutaan orang selain diri kita sendiri.

Salah mencoblos atau tidak mencoblos sehingga memberi ruang pemimpin yang salah untuk terpilih, maka kerugiannya akan ditanggung oleh jutaan masyarakat. Mungkin bukan anda, tapi orang lain.

Contohnya seperti terpampang pada gambar. Rakyat Jakarta telah mengambil keputusan yang fatal!

Seringkali pemilih Gubernur terpilih memberi argumen tentang prestasi-prestasi ybs, tapi prestasi2 tsb sama sekali tidak atau hanya sedikit berelevansi dengan hajat hidup seluruh rakyat Jakarta.

Sementara kerugian yang dirasakan jutaan rakyat Jakarta dengan terpilihnya ABas banyak sekali.

Dalam pandangan saya, sorry to say pemilih ABas adalah orang2 BODOH yang tidak pandai berhitung. Meskipun mereka berpendidikan atau nilai matematikanya A atau 100% sekalipun.

Karena kebodohan mereka bukan pada IQ mereka yang rendah, tapi karena mengambil ustadz yang tidak kompeten untuk dirujuk perkataannya. Jadi seorang ustadz bodoh bisa menjerumuskan orang-orang pintar sekalipun menjadi bodoh berjamaah.

Saya ulangi, pemilih ABas adalah orang2 BODOH yang tidak pandai berhitung (kerugian yang dirasakan jutaan rakyat DKI).

Ada kampung nelayan modern di Jakut yang tidak terbangun.
Ada Giant Sea Wall yang tidak terbangun dan beresiko memperparah banjir rob.
Ada uang pajak ratusan trilyun dari lahan Pulau Reklamasi yang tidak ter'collect.
Ada rumah murah & layak huni (rusunawa) yang tidak terbangun.
Ada normalisasi sungai yang tidak dikerjakan dan menyebabkan banjir yang menimbulkan efek domino kerugian di berbagai aspek. Satu contohnya alat-alat medis vital di RSCM yang tidak berfungsi karena banjir, berapa orang yang berpotensi kehilangan nyawa akibat efek banjir RSCM ini ? Juga kerugian yang ditanggung tiap rumah tangga korban banjir, dst.

Itu baru sebagian kerugian yang harus ditanggung rakyat Jakarta secara keseluruhan akibat mereka yang ngesot ke TPS asal mencoblos.

Atau memilih tidak mencoblos, sehingga satu suara yang nilainya sangat berharga tersia-sia.

Karena itu, satu suara kita di TPS itu, tidak main-main, sangat menentukan hajat hidup jutaan orang.

Jika masih tidak dapat menyadari ini, lalu masa bodoh dengan politik, atau asal-asalan saja mencoblos tanpa mau menambah wawasan tentang ilmu politik, artinya benar anda adalah orang bodoh yang tidak pandai berhitung.

Jika anda tidak terima dikatakan bodoh silakan challenge saya..

Kedua, saya sering menyampaikan kepada beberapa influencer medsos tentang makna "popularitas" dalam kontestasi politik.

"Don't make stupid people famous"

Jangan terus mempopulerkan kebodohan peserta kontestasi politik sehingga kepopuleran mereka kelak tembus langit, lalu rakyat ngesot ke TPS memilih calon pemimpin bodoh ini.

Para influencer ini lalu memberi argumen, popularitas tidak ada hubungannya dengan elektabilitas.
Tidak mungkin orang yang popular bodoh lalu dipilih rakyat.

Saya akan membuktikan argumen para influencer ini salah! Popularitas jelas sangat berhubungan dengan elektabilitas.

Ilustrasi 1 :

Ketika seseorang terus menerus dipopulerkan melalui media publik (baik positif atau negatifnya), maka kepopuleran seseorang tersebut sampai kepada rakyat.

Tapi apakah informasi negatif atau positif nya sampai pada rakyat, belum tentu!

Di era post-post, rakyat mendengarkan informasi dari gaung suara komunitas mereka sendiri. Mereka tidak mendengar gaung suara di luar lingkaran mereka. Atau dalam bahasa kerennya disebut "echo-chamber".

Artinya, ketika seseorang terlanjur populer (karena terus menerus dipopulerkan), meskipun ia adalah calon pemimpin bodoh, ia masih sangat mungkin untuk dipilih rakyat, jika dalam "echo-chamber" yang digaungkan adalah polesan positif ybs.

Ilustrasi 2 :

Ketika rakyat ngesot ke TPS, lalu di kertas suaranya ada 10 kandidat, maka umumnya rakyat tidak akan memilih kandidat no.10, tapi nomor-nomor muda. Kenapa?

Karena nama-nama kandidat tersebut lebih populer atau familiar di telinga mereka. Bukan karena rakyat mengetahui kelebihan mereka.

Dan rakyat tidak memilih nomor 10 bukan karena mereka mengetahui kekurangannya, tapi karena nama kandidat tsb tidak atau kurang populer.

Jadi "popularitas tidak relevan dengan elektabilitas" ??

Jadi anda ingin tetap keukeuh mempopulerkan kebodohan calon-calon pemimpin bodoh ? Lalu kepopuleran mereka tembus langit??

Alih-alih mempopulerkan keunggulan calon-calon pemimpin cerdas.

***