Social Justice Warrior

Partai lain korupnya sama, tapi tidak bisa menawarkan tokoh-tokoh yang bernanfaat untuk rakjat. Minimal kita menggunakan prinsip, mencari manfaat terbesar dan atau mudharat terkecil.

Senin, 28 Oktober 2019 | 07:28 WIB
0
344
Social Justice Warrior
Olustrasi Twitter (Foto: Kompasiana.com)

Dalam sebuah diskusi, saya dikomplen seorang teman, kenapa saya yang cenderung idealis ini justru terkesan membela parpol-parpol besar seperti PDIP, Golkar, Gerindra dan Nasdem kalo dilihat dari ukuran "besar" ownernya..

Padahal mereka isinya kelompok oligarki, pengusaha kelas kakap, yang berkongkalikong antara bisnis & kekuasaan negara. Pantasnya saya kaya SJW-SJW itu loh yang membela segala praktik ketidakadilan di muka bumi ini.. 

Kamu mau parlemen isinya akhi ukhti sholeh sholehah yang memegang kekuasaan dengan siddiq, tabligh, amanah, dan fathonah ?

Ha ya gimana mau begitu, sementara para emak bapak remaja putra dan putri yang tinggal di gang-gang, perumahan, di desa maupun di kota, para rakjat djelata seperti kita ini, memilih caleg berdasarkan besaran amplop yang diterima atau fasilitas-fasilitas lainnya, karpet masjid, jalan kampung, lapangan badminton, hewan ternak, dlsb..

Kamu pikir yang bisa memberikan politik uang segitu banyak siapa kalau bukan caleg kelompok pengusaha ?

Tanyakan pada hati nurani kalian sendiri, jujur, tidak pakai muna-muna, apa mau disuruh memilih orang asing yang tidak dikenal sama sekali, bukan kawan bukan saudara, tidak tahu track record dan kontribusinya pada masyarakat, tapi dengan tangan kosongan saja, cuma bawa poster & kalender mau milih mereka ?

Saya pernah ngobrol dengan tetangga yang diberi tugas mengumpulkan "massa". Bagaimana masyarakat tidak memilih para pengusaha, hawong mereka yang berani kasih amplop 500ribu hingga 1 juta. Sementara yang standar, bukan dari kalangan pengusaha besar, paling antara 100-200ribu.

Sementara caleg dari partai-partai gurem yang umumnya berplatform agama, gak usah direken, gak dilirik masyarakat, kecuali kawan & saudaranya saja, karena paling banter ngamplop 20ribu, maksimal sekali 50ribu, itupun untuk tokoh2nya. Uangnya tentu diterima, sambil pasang ekspresi merendahkan, "halah, cuma 20ribu"

Pertimbangan masyarakat bahkan dengan melihat kendaraan yang dipakai si caleg, kalau dari jenis dan merk tertentu yang mentereng dan mahal, semangat diajak kumpul-kumpul, baik untuk mendengarkan si calegnya atau para 'calo'nya.

Tapi kalau datangnya hanya dengan motor, tidak terlalu antusias. Ya lumayanan saja minimal dapat kaos dan kalender gratis.

Kecuali mungkin buat caleg yang sudah sangat dikenal masyarakat kiprahnya, seperti Budiman Sudjatmiko, Adian Napitulu, dlsb, tanpa pernah bertemu pun, dengan cuma melihat gambarnya di kertas suara sudah akan mencoblos mereka dengan harapan di senayan mereka akan bla bla bla..

Lalu dengan kondisi seperti di atas, kamu ngarep saya protes minimal membuat status bernada sinis kaya SJW-SJW itu karena isi senayan cuma kelompok pengusaha yang bakal ngerampok kekayaan Indonesia dan uang rakjat ?

Hambok kalo punya permintaan agak realistis gitu loh, saya bukan wonder woman yang bisa nyirep pikiran 180 juta rakjat pemilih supaya jangan milih pengusaha, caaak!

Tapi di luar itu, di antara partai-partai besar yang isinya kaum elit pebisnis, saya memandang PDIP masih lebih baik dari partai lainnya.

Karena cuma PDIP yang punya itikad baik melakukan kaderisasi dengan sistem yang cukup baik dan menampung orang-orang yang cukup berintegritas dan kompeten di situ. Seperti Risma, Ganjar, Ahok, Djarot, termasuk Joko Widodo.

Partai lain korupnya sama, tapi tidak bisa menawarkan tokoh-tokoh yang bernanfaat untuk rakjat.
Minimal kita menggunakan prinsip, mencari manfaat terbesar dan atau mudharat terkecil.

Dah itu saja. Saya orang yang realistis, yang sadar betul bahwa masih tinggal di zona +62, sebuah bangsa yang masih sakit.

Bukan cuma elitnya. Kita semua. Termasuk saya. Kadang-kadang...

***