Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Rencana Besar untuk 2024

Prabowo harus kerja rodi demi diri dan partainya, sementara Jokowi harus mampu menyalurkan energi itu menjadi katalis penggerak roda ekonomi negara.

Senin, 28 Oktober 2019 | 07:16 WIB
0
470
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Rencana Besar untuk 2024
Prabowo Subianto (Foto: Tribunnews.com)

Mungkin ada yang bertanya kenapa Prabowo Subianto mau menerima tawaran menjadi menteri "bawahan" Jokowi? Tokoh yang dikenal temperamen dan berego tinggi itu kenapa tiba-tiba mau menerima ajakan gabung? Putus asa? Atau ada rencana di balik semua itu?

Salah satu kelemahan Prabowo adalah tidak punya pengalaman birokrasi. Faktor yang tampaknya penting sebagai syarat menapaki jenjang karir politik yang lebih tinggi. Simak kiprah Risma, Ganjar atau Ridwan Kamil, nama-nama yg santer disebut sebagai penerus Jokowi di 2024 ini adalah orang yang kaya pengalaman birokrasi. Publik kelihatan suka dengan figur seperti ini.

Wajar kalau Prabowo bersedia "sekolah" lagi. Tapi sepertinya bukan cuma itu.

Tahun 2024 persaingan terbuka lebar. Tidak ada lagi Jokowi, superstar asal Solo yg sukses menapaki karir birokrat dari level bawah sampai tertinggi, sekaligus punya basis massa yang kuat. Setelah eranya, semua calon dianggap sejajar. Kecuali satu. Jika 2024 Prabowo kembali tarung, peluangnya cukup besar. Dengan pengalaman 5 tahun "di kantong", pengaruh kuat di militer dan basis massa militan, ia jelas punya keunggulan. Apalagi jika ia bisa menggaet Anies Baswedan.

Percayalah, semarah-marahnya pendukung 02 saat ini, 5 tahun lagi, akan banyak pendukungnya yang maklum. Segudang alasan politik sampai agama bisa dicari. Kita sudah lihat bagaimana politik mampu mengemas Prabowo yang jauh dari citra agamis nampak "sangat islami" bagi sebagian orang. Jadi tak perlu heran.

Namun "membawa" Anies bukan tanpa resiko. Itu kenapa Sandiaga perlu kembali. Karena JKT1 perlu dijaga dalam genggaman. Walau status Jakarta nanti bukan ibukota, tapi posisi strategis kota dengan APBD yang nanti mungkin sudah tembus 100 T tentu tak bisa dilepas begitu saja.

Poros Prabowo-Anies-Sandiaga (PAS) untuk RI1-RI2-JKT1 kelihatannya jadi rencana besar Gerindra di 2024. Dan untuk mewujudkan ini, tentu sulit kalau 5 tahun ke depan harus jadi oposisi dan "berpuasa" kembali. Apalagi setelah habis-habisan di kemarin, harus ada strategi "pemulihan".

Saya yakin Jokowi bisa melihat ini. Begitu juga partai koalisi, yang dikabarkan kencang menolak Gerindra gabung. Tapi Jokowi bergeming, ia nampak lebih tertarik melihat potensi di balik semua itu demi stabilitas politik dan keamanan di periode keduanya.

Jelang usai perang Suriah diprediksi membuat mantan kombatan dan simpatisan ISIS mencari "rumah" baru.

Asia Tenggara, dan Indonesia salah satunya, dianggap tempat yang potensial. Soal KKB di Papua, sel tidur ISIS di berbagai daerah dan kalangan Islam konservatif yang berapa kali terlibat konflik horizontal adalah persoalan yang dalam 5 tahun pertama sangat mengganggu roda pemerintahan.

Dengan menyatukan keping tokoh militer dalam koalisi, diharapkan TNI-POLRI makin solid menghadapi potensi gejolak radikalisme dan keamanan seperti di atas. Bukan rahasia lagi banyak personil militer yang masih "tegak lurus" ke Prabowo. Termasuk beberapa ormas kegamaan yang selama ini mendukungnya. Dengan membawa Prabowo, kestabilan politik dan keamanan dapat lebih terjamin. Ini sangat penting.

Perhatikan Thailand dan Vietnam. Kini ekonomi mereka maju pesat. Sedikit banyak ini ditopang kestabilan politiknya. Keuntungan negara otoritarian adalah kecenderungan politik yang stabil. Malaysia dan Singapura belum bisa disebut negara demokrasi karena kultur semi otoritariannya masih kuat, tapi soal ekonomi mereka lebih maju. Demokrasi di Indonesia lebih baik dari mereka, tapi tidak dengan ekonominya.

Tentu saja kembali pada sistem otoritarian bukan pilihan. Karena itu, memperkuat koalisi dengan "merekrut" oposisi jadi opsi realistis demi menciptakan kestabilan seperti di negara otoritarian. Dengan meminimalisir gangguan lawan politik, "tangan gelap" yang biasa bermain diharapkan mereda. Harapannya pertumbuhan ekonomi membaik. Tanpa kestabilan politik, mustahil ekonomi bisa tumbuh. Turki sudah merasakan ini.

5 tahun ke depan, Jokowi ingin stabilitas politik tercipta sejak awal agar ia bisa langsung "gaspol" soal ekonomi. Ia pastinya sadar bahwa mengajak "musuh" ke dalam "rumah" layaknya memelihara macan. Tapi perlu diingat, dalam politik yang dicari adalah keseimbangan, bukan kesempurnaan/idealisme. Dan inilah keseimbangan itu. Jauh dari ideal karena memang tidak akan ada ideal dalam politik.

"Saya sudah ngga ada beban apa-apa" begitu kata Jokowi beberapa waktu lalu. Dan tampaknya itu mulai terlihat. Saya yakin PDIP sendiri mungkin awalnya keberatan dengan manuver prerogatif kadernya ini. Tapi PDIP tentu sudah hapal dengan gaya "bandel" si mantan tukang kayu sehingga semua pasti sudah dipetakan dengan baik. Apalagi partai Jokowi, PDIP, bukan partai kemarin sore. Mereka sudah kenyang dengan intrik politik di era orba sampai orde reformasi.

Gerindra tampaknya serius di 2024 dengan poros PAS barunya. Tapi di sisi lain, PDIP sudah siap lebih awal dengan keberadaan Ganjar, Risma, Emil Dardak, termasuk Ridwan Kamil, para penerus tongkat estafet Jokowi. Merekalah batu sandungan Gerindra, sebab mayoritas pendukung Jokowi tampaknya juga pendukung tokoh tersebut. Apalagi publik sudah banyak kenal dan tahu kiprah positif mereka.

Sementara bagi Prabowo, 5 tahun ke depan baru akan jadi ajang tes dirinya. Apakah ia "segarang" yang dicitrakan atau malah sebaliknya? Makin baik kinerjanya, makin baik juga peluangnya di 2024. Sebaliknya, dengan umur yang sudah tidak muda lagi, kegagalan kali ini bisa berarti kiamat karirnya.

Prabowo harus kerja rodi demi diri dan partainya, sementara Jokowi harus mampu menyalurkan energi itu menjadi katalis penggerak roda ekonomi negara.

Bukan hal mudah, tapi jelas tidak mustahil. Karena memang sudah "hukumnya", di alam rimba, macan memang hanya akan sudi tunduk kepada singa, sang raja.

***