Pancasila sebagai Titik Temu [1] Pahami 6 Nilai Inti Moral Publik

Bagi Indonesia, inti moral publik sebagai ikatan persatuan itu terkandung dalam Pancasila. Kelima sila Pancasila tersebut bisa dijelaskan dalam kerangka 6 nilai inti moral publik.

Senin, 12 Agustus 2019 | 07:41 WIB
0
1067
Pancasila sebagai Titik Temu [1] Pahami 6 Nilai Inti Moral Publik
ILustrasi Pancasila (Foto: thegorbalsla.com)

Pada 1 Juni 1945, dalam mengawali urainnya tentang dasar negara, Soekarno menyerukan “bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham”. Lantas ia katakan, “Kita bersama-sama mencari persatuan Philosophische grondslag, mencari satu ‘Weltanschauung’ yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.”

Kemudian, ia mengajukan lima prinsip yang menjadi titik “persetujuan” (titik temu, titik tumpu, titik tuju) segenap elemen bangsa. Kelima prinsip tersebut bernama Pancasila.

Demikianlah, dasar ontologis (struktur makna terdalam) dari keberadaan Pancasila adalah kehendak mencari “persetujuan” dalam menghadirkan kemaslahatan-kebahagiaan bersama (al-maslahah al-ammah, bonnum comune) dalam kehidupan kebangsaan Indonesia yang mejemuk.

Maka dari itu, setiap kali bangsa Indonesia kembali ke 1 Juni, setiap kali itu pula diingatkan untuk kembali menghayati struktur makna terdalam dari keberadaan Pancasila. Kembali mempertanyakan titik temu, titik tumpu, dan titik tuju kita bersama, di tengah kemungkinan keterpecahan, kerapuhan landasan, dan disorientasi yang melanda kehidupan kebangsaan.

Kedatangan Hari Lahir Pancasila setelah rangkaian panjang proses Pemilihan Umum yang melelahkan dan memecah-belah, mengajak kita melakukan introspeksi diri. Bagaimana menyikapi demokrasi secara lebih dewasa dan sehat. Tidak berhenti sekadar ritual perebutan kekuasaan lima tahunan dengan obsesi kemenangan sebatas mempecundangi lawan dalam kontestasi pemilihan umum. Yang dikehendaki, adalah praktik demokrasi yang bisa memenangkan dan membahagiakan seluruh bangsa Indonesia.

Pelaksanaan demokrasi yang bisa membawa kita ke arah perwujudan cita-cita nasional memerlukan landasan persatuan yang kuat. Dan untuk itu, kita harus bisa merawat modal sosial yang telah begitu susah-payah dibangun oleh para pendiri bangsa. Yakni, modal jaringan-jaringan konektivitas dan inklusivitas sosial yang mampu menyatukan keragaman kepingan-kepingan kepentingan pribadi dan kelompok ke dalam suatu komunitas persaudaraan bersama, yang menjadi tumpuan rasa saling percaya (mutual trust).

Untuk menjadi kekuatan kolektif yang kohesif, konektivitas dan inklusivitas ini harus diikat oleh kesamaan basis moralitas (shared values). Dengan kata lain, modal sosial itu harus tumbuh di atas modal moral. Alhasil, moralitas adalah apa yang mengikat dan menyatukan manusia secara sosial.

Jonathan Haidt mendefinisikan sistem moral sebagai “Sistem moral bisa didefiniskan sebagai seperangkat nilai, kebajikan (virtues), norma, praktik-praktik, identitas, institusi, teknologi, dan mekanisme psikologis yang saling terkiat dan bekerja secara bersamaan untuk menekan dan mengatur kepentingan pribadi yang memungkinkan terbentuknya masyarakat kooperatif” (Haidt, 2012: 314).

Dalam konteks moral publik, kesamaan itu bisa ditemukan dalam 6 nilai inti. Care (peduli terhadap bahaya yang mengancam keselamatan bersama), fairness (keadilan dan kepantasan), liberty (bebas dari penindasan dan pengekangan), loyalty (kesetiaan pada tanah-air, tradisi, institusi dan konsensus bersama), authority (respek terhadap otoritas yang dihormati bersama), sanctity (menjunjung tinggi nilai yang dianggap paling “suci”/utama).

Pancasila sebagai Moral Publik

Bagi Indonesia, inti moral publik sebagai ikatan persatuan itu terkandung dalam Pancasila. Kelima sila Pancasila tersebut bisa dijelaskan dalam kerangka 6 nilai inti moral publik.

Ketuhanan: Sanctity

Sila Ketuhanan mencerminkan nilai “sanctity” (kesucian). Bahwa setiap komunitas moral harus ada nilai yang “disucikan” bersama sebagai jangkar pengikat kohesi sosial. Pengertian “suci” di sini tidak harus dalam konotasi kegamaan, melainkan dalam arti nilai yang paling dipandang penting (dimuliakan). Pada warisan Sumpah Pemuda, nilai yang “disucikan” itu adalah spirit “gotong-royong”. Pada Pancasila, spirit gotong-royong itu tetap “disucikan”, namun ditarik secara vertikal ke hulu sumbernya dari pancaran sinar Ketuhanan. Bahwa segala keragaman yang saling bergantung (yang memerlukan gotong-royong) pada segala fenomena kehidupan ini merupakan pancaran (iluminasi) dari “Yang Tak Terhingga” (Tuhan), yang tidak bergantung.

Tentang Ketuhanan sebagai nilai yang “disucikan” bisa dijelaskan urgensinya sebagai basis sosiabilitas dengan meminjam pandangan Emile Durkheim. Menurutnya, Homo sapiens itu pada dasarnya adalah Homo duplex, makhluk yang eksis pada dua level; sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas.

Dalam relasi sosial, ada dua sentimen yang bisa dibedakan. Pertama, “sentimen sosial” yang mengikat hubungan seseorang dengan orang lain sebagai sesama warga (anggota kelompok). Hal ini termanifestasi di dalam komunitas, dalam hubungan hidup (antar-individu) sehari-hari. Level relasi ini masuk pada ranah profan. Kedua, “sentimen sosial” yang mengikat sesorang dengan entitas sosial secara keseluruhan. Hal ini termanifestasi terutama dalam hubungan antara kelompok (komunitas) dengan kelompok (komunitas) lain, yang bisa disebut sebagai relasi “antar-sosial”.

Di dalam relasi pertama, otonomi dan kepribadian seseorang masih relatif utuh, tidak terlalu kehilangan independensinya. Dalam relasi kedua, seseorang semata-mata bagian dari suatu keseluruhan, di mana otonomi dan kepribadian seseorang tunduk pada tindakan, pengaruh dan karakter keseluruhan, yang membentuk kohesi sosial. Dalam pandangannya, emosi kolektif ini menarik manusia sepenuhnya, meskipun sera termporer, pada level yang lebih tinggi, yakni ranah “suci” (sacred), dimana kepentingan kedirian pudar, sedang kepentingan kolektif menjadi dominan.

Durkheim meyakini, pergerakan manusia secara bola-balik di antara dua ranah (profane dan sacred) inilah melahirkan ide (keyakinan) tentang Tuhan, spirit, sorga, dan konsepsi tentang tatanan moral bersama. Dengan demikian, eksistensi agama dan Tuhan memiliki fungsi penting sebagai kekuatan integratif dalam relasi “antar-sosial”, dimana segala keragaman kelompok bisa dipersatukan secara sosial oleh spirit ketuhanan (Durkheim, 1992).

Gerak vertikal ke wilayah “suci” (sacred) sebagai basis sosiabilitas dalam masyarakat multiagama dan multikepercayaan masih menyimpan persoalan. Tuhan (keyakinan keagamaan) yang berbeda bisa melahirkan keragaman komunitas moral, yang menyulitkan integrasi nasional. Untuk mengatasinya, dalam Pancasila, gerak pendakian menuju ranah “suci” ini tidak berhenti pada stase “Tuhan kelompok” (tribal-communal god), namun ditarik lebih tinggi menuju “Tuhan universal” (universal god). Yakni, Tuhan welas-asih (rahman-rahim) yang menjadi titik-temua semua agama dan keyakinan.

Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan, “Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!”

Dengan demikian, Ketuhanan dalam Pancasila adalah ketuhanan yang telah direkonsiliasikan ke dalam “agama publik” (civic religion) yang bersifat inklusif. Untuk memperkuat aspek inklusivitas tersebut, sebutan pada “Yang Mahasuci” itu sendiri tidak menggunakan istilah yang punya konotasi kegamaan tertentu, melainkan istilah yang bisa diterima oleh semua komunitas agama (baik penganut monotheis maupun politheis). Istilahnya adalah “Tuhan” (Ketuhanan).

Sila pertama meyakini bahwa kodrat keberadaan manusia merupakan perwujudan istimewa dari semesta sebagai kristalisasi dari cinta kasih Tuhan (Yang Tak Terhingga). Meski merupakan perwujudan istimewa dari semesta, manusia tetaplah merupakan bagian dari semesta, yang dengan keistimewaannya itu tidaklah menghadirkan kerusakan (fasad) bagi kebersamaan, melainkah harus dapat menjaga harmoni (maslahat-manfaat) bagi kebersamaan. Sebagai bagian dari semesta, manusia bersifat terbatas, relatif dan tergantung, sehingga memerlukan keterbukaan pada sesuatu yang transenden dan menjalin kerjasama dengan yang lain. Keterbukaan pada yang transenden itu diperlukan untuk mencegak absolutisme (memutlakan hal-hal yang imanen), yang dengan itu paham persamaan manusia dan kerjasama dimungkinkan.

Kemanusiaan: Care and Liberty

Sila kemanusiaan mencerminkan nilai “care” (peduli terhadap bahaya/harm yang mengancam keselamatan bersama) dan liberty (bebas dari penindasan dan pengekangan). Bahwa komunitas moral diikat oleh kepedulian terhadap hak-hak dasar manusia (hak negatif dan hak positif), dengan menjungjung tinggi keadilan dan keadaban.

Sila kedua meyakini bahwa keberadaan manusia merupakan ada bersama. Manusia tidak bisa berdiri sendiri, terkucil dari keberadaan yang lain. Untuk ada bersama dengan yang lain, manusia tidak bisa tidak harus ada-bersama-dengan-cinta, dengan mengembangkan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Perjuangan kemanusiaan bangsa Indonesia, dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi.

Keluar, bangsa kita harus menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimilikinya untuk secara bebas-aktif ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’, sebagaimana tertera pada (aline 4) Pembukaan UUD 1945. Kedalam, bangsa kita harus menerima, apa yang disebut Muhammad Yamin, ‘benda ruhani berupa pengakuan dan pemuliaan hak-azasi kemanusiaan’ (Yamin, 1956: 186-187).

(Bersambung)

***