Demo

Di tahun-tahun berikutnya, demo jadi kegiatan rutin di Jakarta. Selain mahasiswa, demo dilakukan oleh berbagai kelompok. Meskipun saya fokus di liputan ekonomi, tidak jarang juga meliput demo.

Senin, 23 September 2019 | 21:57 WIB
0
323
Demo
Demo anarkis (Foto: antarafoto.com)

Dalam sebulan terakhir banyak sekali video demo mahasiswa yang bersliweran di lini masa. Demonya soal macam-macam. Tapi sigma kesan saya atas demo-demo itu memuakkan.

Pada tayangan video tentang demo-demo mahasiswa itu saya melihat banyak hal yang tidak tidak semestinya dilakukan: anarkistik, destruktif, provokatif, dan hipokrit (misalnya bagi-bagi jaket almamater bodong, tanpa logo. Saya yakin, tidak semua yang demo pake jaket almamater itu adalah mahasiswa).

Tentu saja, demo sebagai ekspresi terbuka dari pemikiran, sikap, dan keberpihakan adalah bagian dari demokrasi. Demo adalah hal yang halal dalam demokrasi. Tapi dalam demokrasi atau bukan demokrasi, dalam demo atau bukan demo, siapapun pelakunya, tindakan destruktif adalah haram.

Saya jadi teringat waktu jadi mahasiswa di Bandung. Waktu itu paruh kedua dekade 1980an sampai awal dekade 1990an, banyak sekali persoalan publik, khususnya ‘ketidakadilan’ hukum yang terkait dengan hak rakyat. Misalnya penyerobotan atau pengambilalihan hak atas tanah rakyat oleh penguasa atau proxy penguasa dengan cara melanggar hukum. Kasus Tanah Badega – Garut, dan penyerobotan lahan pertanian milik petani di Cimacan – Cianjur yang dijadikan lapang golf.

Meski tidak sesering seperti saat ini, demo mahasiswa kerap terjadi. Heii ... di jaman Soeharto, jangankan ketika demo turun ke jalan, saat diskusi di kampus atau di kos-kosan saja sudah ditongkrongin intel. Apapun kegiatan mahasiswa, jika penguasa menganggapnya berpotensi mengganggu kamtib, bisa dihentikan kapan saja mereka mau. Melawan, pasti diangkut. Yang namanya ‘aparat’ waktu itu bukan hanya polisi, tentara Kodim atau Dinas Sospol pun bisa menahan orang.

Sebagai mahasiswa baru waktu itu (tahun 1987-1989) saya memutuskan untuk ikut gerakan mahasiswa melawan ketidakadilan itu. Meskipun hanya sekadar ikut, alasannya jelas: apa yang dilakukan penguasa adalah kesewenang-wenangan, abuse of power. Harus dilawan. Waktu itu saya paham betul, aksi-aksi mahasiswa tidak akan mengubah kebijakan penguasa.

Tapi tetap dilakukan. Jadi, meski sekadar ikut, tapi itu saya lakukan karena saya paham persoalannya dan saya ingin menunjukkan: saya berada di pihak mana. Yang justru ketar-ketir adalah orang tua, maklum bapak saya adalah pegawai negeri.

Selanjutnya saya memilih aktif di pers kampus, yang merupakan bagian dari gerakan mahasiswa. Tidak berarti ‘lebih aman’. Kontrol kekuasaan terhadap gerakan mahasiswa dilakukan secara komprehensif dan ketat, 24 jam sehari. Konten tulisan dalam majalah kampus, juga tidak luput dari pantauan penguasa.

Cara paling efektif dari penguasa memberangus pers mahasiswa adalah mengintimidasi pihak perguruan tinggi untuk tidak menurunkan anggaran untuk mencetak majalah kampus. Mengandalkan iuran sukarela dari mahasiswa hanya kuat satu dua penerbitan. Akhirnya mati.

Pun setelah lulus kuliah, saya terlibat dalam berbagai diskursus yang merupakan kelanjutan dari gerakan mahasiswa. Tahun 1993 saya diajak Kang Yudi Junadi ikut Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) di salah satu vila yang ngumpet (biar gak ketahuan aparat) di Cipanas, Cianjur.

Di acara itu hadir beberapa pemateri yang namanya sering saya baca di koran, antara lain Teten Masduki, Dindin S. Maolani, Amartiwi Saleh, Mulyana W. Kusuma, dan pada acara berikutnya hadir Bang Buyung Nasution. Itu pun sama, setiap kegiatan ditongkrongi intel.

Intinya, pada masa Pemerintahan Soeharto, represi kekuasaan sangat nyata. Kapanpun tentara atau polisi bisa menangkap siapapun yang diminta oleh penguasa. Orang itu bersalah atau tidak. Bergiat apapun (apalagi demo), sepanjang dianggap menentang kebijakan penguasa dalam cara apapun, sangat berrisiko. Tidak ada mekanisme kontrol sama sekali. DPR-MPR? Waktu itu tak seorangpun yang bisa duduk di kursi DPR dan MPR tanpa restu Soeharto.

Tahun 1994 saya lulus tes, dan jadi wartawan Bisnis Indonesia (tesnya tujuh tahap euy, dari September 1993 – Maret 1994. Tega bener Mbak Wiwin Rubay). Itu pun masih harus menunjukkan surat bersih diri dan bersih lingkungan dari Dinas Sospol, pernah mengikuti Penataran P4 100 jam, dan lain-lain. Tahun 1996 saya pindah ke Anteve.

Pada periode 1994-1996 di Jakarta kerap terjadi demo mahasiswa atau buruh. Namun hal yang disoal dalam demo itu tidak menyangkut kekuasaan Soeharto. Misalnya mengenai uang kuliah, upah, dan lain-lain. Tapi itu pun diawasi polisi. Kalau demonya sudah menentang kekuasaan Soeharto atau kaki tangannya, risikonya bisa seperti yang dialami Marsinah yang meninggal 8 Mei 1993.

Baru pada pertengahan tahun 1997 demo-demo mahasiswa yang langsung menentang kekuasaan Soeharto mulai marak. Depresiasi Rupiah yang berlanjut dengan krisis moneter dan krisis ekonomi adalah amunisi signifikan bagi gerakan itu. Memasuki 1998, kian marak. Persoalan yang dihadapi pemerintah makin kompleks, terutama dukungan Amerika Serikat terhadap regim Soeharto yang sudah berakhir. Soeharto jatuh.

Di tahun-tahun berikutnya, demo jadi kegiatan rutin di Jakarta. Selain mahasiswa, demo dilakukan oleh berbagai kelompok. Meskipun saya fokus di liputan ekonomi, tidak jarang juga meliput demo. Waktu itu, saya suka iseng. Orang yang saya wawancarai bukan pemimpinnya, tapi saya pilih secara acak.

Umumnya mereka cuma celingukan, tidak bisa menjawab karena tidak paham persoalan yang mereka demokan. Jangan-jangan mereka yang sekarang rajin demo itu juga sama, gak ngerti apa-apa tentang isu yang mereka soal. Kamfret!

***