Terinspirasi dari buku lawas karya Clifford Geertz : Abangan, Santri dan Priyayi, artikel ini saya tulis. Karya besar Anthropolog budaya dari Amerika Serikat yang menaruh perhatian besar pada kebudayaan masyarakat Indonesia ini begitu lekat dan kerap menjadi sumber rujukan sosial agama, budaya dan politik. Bukan bermaksud teoritis, namun kondisi sosial politik belakangan ini cukup menarik untuk ditelisik.
Saya bukanlah dalam kapasitas seorang Anthropolog. Meski saya pernah dengan sangat singkat mencicip pembelajaran di pasca sarjana Anhtropologi UI tahun 2007. Meski gagal secara formal akademik, namun minat saya untuk berada di tengah suasana budaya masyarakat Indonesia tidak serta merta memudar.
Tulisan ini pun terdukung oleh suasana kebatinan Pilpres 2019 yang memunculkan kandidat penuh kontrovesi dari segi sosial keagamaan , Prabowo Subianto.
Politik tidak akan bisa lepas dari struktur masyarakat. Apapun itu bentuknya, acapkali politik menjadikan masyarakat sebagai objek pencarian dukungan suara. Terlebih dalam sistem demokrasi langsung seperti sekarang ini. Keterwakilan suara dari beberapa struktur masyarakat begitu antusias dijadikan sebagai indikator kekuatan dukungan.
Sebut saja Emak-emak dan kelompok milenials ala Prabowo Sandi. Begitupun dengan Jokowi- Ma'ruf Amin yang tak kalah memiliki dukungan suara dari kalangan santriwan-Santriwati, hingga kelompok alumni perguruan tinggi dari berbagai daerah.
Jauh berbeda dengan kondisi yang dipaparkan oleh Geertz pada tahun 50-an, bahwa salah satu struktur lapisan masyarakat Indonesia, Jawa Khususnya santer disebut dengan "Abangan". Abangan dalam era itu menjadi kelompok sosial masyarakat yang patut diperhitungkan.
Namun kini, maraknya aliran Islam fanatik yang identik dengan HTI, kaum pengusung cita-cita khilafah yang banyak mendukung Prabowo membuat kelompok abangan kurang muncul ke permukaan sebagai entitas budaya sekaligus struktur sosial masyarakat yang patut diperhitungkan.
Abangan yang dalam kacamata saya mewakili unsur masyarakat asli Indonesia. Mereka yang mengenal Islam sebagai suatu keyakinan namun tetap menjalankan norma budaya lokal. "Abangan" terwakili dalam wajah sebagian "wong cilik" yang berjibaku di beberapa bidang profesi.
Sebut saja petani, tukang becak, sebagian perempuan di desa yang aktif sebagai ibu rumah tangga biasa hingga sebagian mereka yang menjadi pedagang konvensional di pasar tradisional. Wajah "Abangan" kerap kali membaurkan Islamisme, Hinduisme, hingga tradisi Animisme dalam satu sistem sosial. Relatif tidak ada pertentangan dalam diri "abangan".
Surga dan neraka bagi kelompok abangan bukan sekedar dogma agama yang mudah diucapkan. Melainkan cerminan dari sikap dan perilaku welas asih kepada sesama bahkan kepada hewan sekalipun. "Abangan" acapkali terpinggirkan karena sebagain masih mengganggap abangan sebagai kelompok menengah ke bawah.
Namun secara jumlah, kaum Abangan patut diperhitungkan sebagai struktur sosial yang dapat menentukan selisih angka kemenangan bagi kandidat Presiden 2019. Biar bagaimana pun, itulah struktur sosial yang asli dan alami terbentuk di Indonesia.
Bukan struktut sosial masyarakat yang justru banyak mengadopsi "Islam ke-Arab-araban" yang justru terkesan melahirkan tindakan radikal. Padahal Islam di Arab sana tidak sepenuhnya seperti dalam tafsir kalangan pendukung Khilafah Indonesia.
Struktur berikutnya adalah "santri. Sejak dulu hingga sekarang kelompok yang berdiam di Pondok pesantren di bawah asuhan Kyai ,alim ulama ini masih tetap berhasil mempertahankan entitas sosialnya. Santri begitu diperhitungkan suara politiknya. Saking besarkan ekpekstasi terhadap dukungan politik dari kalangan santri, maka istilah santri milenial pun dimunculkan.
Dalam kesejarahannya, baru kali ini santri identik dengan suasana gaya hidup berdasarkankan masa kekinian. Padahal selama ini pembagian kelompok santri hanya mengenal dua istilah saja yakni santri salafi dan santri modern.
Para kandidatpun berebut suara santri. Terlebih ada sosok Kyai di sebagai salah satu calon wakil presiden yang mendampingi Jokowi. Ya, nuansa keagamaan khususnya Islam begitu kuat mewarnai Pilpres 2019. Istilah Ijtima ulama pun muncul sebagai terobosan politik yang konon mendukung Capres 02.
Meski untuk yang kesekian kali fakta keagamaan capres 02 cukup bertentangan dengan kelompok Islam yang berada di belakangnya. Entah kenapa kalangan pendukung Ijtima Ulama seolah bungkam manakala Prabowo secara terbuka merayakan natal bersama keluarga besarnya. Benarkah Prabowo muslim? sebuah pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh yang bersangkutan. Yang jelas Prabowo bukanlah seorang "abangan" apalagi "santri".
Tidak etis memang mempertanyakan keislaman Prabowo. Andai Geerzt masih hidup, sosok Prabowo merupakan objek kajian yang menarik. Kira-kira Prabowo masuk dalam struktur sosial masyarakat keagamaan yang mana di Indonesia?. Bukan "santri" namun kenapa kelompok yang mengatasnamakan Itjima Ulama dan "Islam non Moderat" begitu mati-matian memperjuangkannya menjadi capres 2019?Sudahkah kita paham sejauh mana kadar ke-Islam-an Prabowo?
Hal sederhana saja, dalam hal kalimat tauhid yakni Syahadat. Sudahkan 100 % Prabowo di Jalan Tauhid, jika ternyata beberapa perilakunya jauh dari kesan taat garis vertikal-horizontal, Hablum minnallah dan Hablum Minnannas? Dalam hal Syariat, bagaimana shalatnya Prabowo? Atau hal kecil tata cara bersuci sebelum shalat.
Sudahkan tartil dan tumakninah berwudlu dikuasai oleh Prabowo. Tentu bagi Prabowo menguasai sekian hektar tanah jauh lebih mudah dibanding dengan menguasai cara-cara sederhana dalam peribadatan Islam.
Bukti lain, shalat Jumat ala Prabowo pun sempat menjadi trending topik di media sosial. Terang-terangan Prabowo mengaku tidak pantas menjadi Imam dalam shalat lantaran ilmu agamanya masih rendah.
Lantas apakah sosok capres 02 yang jelas mengaku memiliki ilmu agama rendah menjadi sedemikian digandrungi dan didukung habis-habisan oleh kelompok yang mengaku sebagai "paling Islam" di Indonesia?. Ironis bukan?
Referensi :
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews